Evi mendapatkan nomor telepon Dion. Tentu saja mereka berbincang-bincang lama melalui telepon.
"Ndah, kamu ga mau kenalan sama salah seorang dari mereka kah?" tanya Evi padaku sore itu.
"Entahlah, aku terlalu malu memulai pembicaraan dengan mereka. Lagi pula ga nyambung rasanya mau ngobrol." jawabku.
"Pasti seru kalo bisa ngobrol sama mereka. Syukur-syukur bisa jadian sama mereka." kata Evi lagi.
"Astagaaaa. Niatnya cari pacar nih?"
"Bonus dong, berteman dulu baru nanti lanjut kalo cocok. Gitu lho, Ndah."
"Trus kenapa harus telepon di wartel ini?"
"Kalo di rumah nanti didengarkan sama yang lain. Malu juga."
"Tapi gapapa ya cewek cari-cari cowok gini? Apa ga memalukan?"
"Ah, kamu, kuno."
Aku tak menjawab, karena ucapan Evi ada benarnya. Kami hidup di era pra-modern, masih belum sepenuhnya modern kala itu. Warung-warung telepon masih menjamur di mana-mana. Telepon umum koin pun masih ada di beberapa sudut kota.
Aku masih belum tertarik untuk mencoba menelepon dirinya. Entah bagaimana asal muasal biodata para makhluk putih abu-abu itu bisa beredar di kalangan kami. Menurut analisa mandiriku, memang sekolah kami kekurangan kegiatan sehingga membuat siswanya menjadi semi pengangguran.
Padahal aku sudah menyibukkan diri dengan les Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, Pramuka, nongkrong di kos Agnes untuk mengusir rasa penasaran di hatiku.
Bulan November tahun itu, nenekku sakit keras. Aku mengikuti mamaku menjenguknya di Surabaya. Nenekku semula tinggal bersama Pamanku di sebuah kota berkembang di lereng Gunung Kelud.
Semasa TK, aku sering meninggalkan sekolahku. Bahkan di hari efektif sekolah hanya untuk berlibur ke rumah nenek. Bahkan sampai enam tahun di bangku SD aku masih saja mengarang dengan judul 'Berlibur Ke Rumah Nenek' sampai seluruh guruku mungkin hapal isi karanganku yang itu-itu saja.
Saat kakak sepupuku kuliah ke Kota Hujan, nenek mulai kesepian. Ia pindah ke rumah Bibi di Surabaya. Bibiku mempunyai rumah yang cukup sempit untuk ditinggali beramai-ramai. Mungkin karena sempitnya itu, terasa ramai.
Orang semakin tua, ternyata memang akan semakin kesepian. Anak-anak sibuk dengan pekerjaan mereka, cucu-cucu pun sibuk dengan urusan masing-masing.
Kesepian membuat sistem imun menurun, nenek menjadi sakit-sakitan. Dan saat ini dirawat di rumah sakit. Mamaku tak mempunyai cukup dana untuk membantu pendanaan, maka ia menawarkan diri untuk menjaga nenek. Biasanya aku ditinggal sendiri bersama Papa di rumah. Tetapi kali itu, ia mengajakku karena kondisi nenek semakin kritis.
Tiga hari aku membolos sekolah dan aku yakin tak seorangpun menyadari. Siang itu hari hujan, sejuk menaungi kotaku. Aku turun di pemberhentian bus antar kota dekat gelanggang olahraga di kota kecil itu.
Naik becak untuk menuju rumahku. Aku melihat jam, sama dengan jam pulang sekolah. Aku menoleh ke kanan-kiri, berharap melihat Luka yang berjalan pulang seperti biasanya. Tak kutemukan pula, walau rute yang aku lewati sama dengan rute yang biasa ia lewati.
Mama bertanya, "Cari siapa sih?"
"Oh, ga, biasanya ada teman-teman lewat sini jam segini."
Pulang dari mengunjungi nenek, aku diberi sebuah kaset berisi lagu-lagu Mandarin populer kala itu. Lagu dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku suka dengan nadanya, walau tak paham maknanya. Kakak sepupuku memberikannya untukku, entah karena aku menanyakannya atau untuk menambah koleksi lagu galauku kala itu.
Mereka jelas memahami maknanya karena mereka kursus bahasa Mandarin di sana. Sedangkan aku, karena lagu itu maka aku berminat belajar atau setidaknya mengerti artinya.
Sampai di rumah, hujan mengguyur kotaku lagi. Aku menelepon Nana, menanyakan kabar sekolah, "Na, ada kejadian apa selama aku ga masuk?" tanyaku.
"Kejadian apa ya? Paling Evi tuh yang jadi sering ngajak nongkrong bareng anak-anak SMA itu. Aku malah merasa ga nyaman." jawabnya.
"Untung aku ga masuk. Ada si itu juga ga?"
"Iya jelas. Orangnya konyol, seru juga lho. Yakin kamu ga mau kenalan?"
"Ga yakin, tapi malu juga."