Aku dan Evi mengikuti les di rumah Pak Joko. Guru Matematika dengan gaya mengajar santai. Penyampaian materinya mudah kupahami. Aku jadi mulai mencintainya, maksudku mencintai Matematika sejak diajar olehnya.
Sebelumnya bagiku Matematika adalah musuh terbesar yang harus dimusnahkan. Entah otakku yang tolol atau memang aku tak berbakat di bidang hitungan, kecuali menghitung uang jajan. Aku membencinya sepenuh jiwa raga pada waktu SD.
Matematika membuatku menerima banyak hajaran dari mama. Di matanya, segala pelajaran jantungnya adalah Matematika. Belakangan ini baru kuketahui, memang segala jantung ekonomi butuh hitungan, tapi tak butuh sin cos tan juga kali ya?
Pulang dari les, Evi memberikan nomor telepon rumah seseorang. Aku tak tahu nomor siapa.
"Untuk apa ini, Vi?" tanyaku
"Untuk pendekatan sama Luka-mu."
"Aish, ngapain pula? Aku ga berani ah."
"Kalo diam aja, disambar orang nanti. Udah, maju!"
"Masa cewek maju duluan? Jaman apa ini? Bisa digantung sama Mama nanti aku."
"Jaman emansipasi, buat apa Ibu Kartini berjuang kalo kamu pasif gitu. Menunggu dia maju? Emang kamu seistimewa apa?"
"Waduh, apa ya? Ya mungkin Ibu Kartini berjuang demi kamu. Nah, justru itu, aku ga ada istimewanya, malas ah maju segala. Kalo ditolak maka maluku bisa bergeser dari Indonesia Timur ke mukaku."
"Ayolah, kawan, berjuanglah! Paling ga kenalkan dirimu kalo ga berani menyatakan perasaanmu." Evi masih membujukku.
"Kan sudah kenalan, Mbak. Trus ya sudah, ga berlanjut berarti tak ada apa-apa. Suka itu kan aku yang rasa. Dia ga sama sekali kok."
"Makanya toh, Mbak, ayo, usaha!"
"Kupikirkan dulu deh. Btw, kamu bisa dapat nomornya dari siapa?"
"Perluas jaringan dong! Aku sudah kenalan sama Dion dan Romy."
"Aku juga sudah kenalan."
"Ah, kamu cuma tahu nama, bukan kenal."
"Ya ya ya, baiklah. Tanpa kenal aja aku bisa suka ya sama seseorang. Bodoh juga. Yuk ah, pulang."
"Yuk, ke wartel dulu. Kuajari caranya menelepon yang baik. Kerjain dulu."
"Nah seru tuh kalo ngerjain orang. Ikutan aku. Siapa kali ini yang mau kamu kerjain?"
"Ya Luka-mu itu."
"Aduh, jangan dipanggil gitu deh, aneh namanya. Panggil nama panggilan saja."