"Ndah, kata Evi, kamu sudah dikasih nomor telepon si Luka ya, ga kamu telepon tuh?" tanya Nana.
"Di rumah, Mamaku bakal ngomel dan mencuri dengar. Takut." jawabku.
"Ya sudah, telepon di wartel. Kutemani deh."
"Ada Mbak Sih, nanti dilaporkan juga."
"Mbak, wartel itu banyak, ngapain juga pilih yang dekat rumah? Katanya juara kelas paralel kok agak kurang kreatif ya."
"Nanti deh kalo aku minat, kutelepon dia." janjiku.
Hari itu aku kembali berpikir tentang rencana menelepon Luka, tapi aku harus berbicara tentang apa? Sepanjang hari itu aku kurang bersemangat. Agnes dan Nia terus membicarakan tentang David padaku. Padahal David juga bersikap biasa padaku. Memang orangnya suka senyum-senyum sendiri, kok malah banyak yang salah paham.
Aku lebih suka mengamati Luka diam-diam. Ia memang hiperaktif menurutku, suka melompati bangku padahal apa susahnya berputar sebentar? Tak sadar aku tersenyum setiap melihat tingkah nyeleneh yang dilakukannya. Ditambah hobinya kipas-kipas. Apa coba yang dilakukan sampai kepanasan? Ia menoleh ke arah kelasku, aku cuek karena merasa tak terlihat dari tempatnya duduk.
Sore itu, aku memutuskan akan menelepon dirinya dari wartel dekat rumah. Tentunya bukan milik Mbak Sih.
"Selamat sore, bisa bicara dengan Luka?" tanyaku pada suara di seberang sana.
"Ya?" jawabnya.
Aku bingung harus ngobrol apa dengannya sekarang? Masih berpikir sampai ia menyapa lagi.
"Iya, ini siapa?"
"Eh iya, ini Candra." jawabku menggunakan nama tengahku yang tak lazim.
"Yang bener?"
"Iya beneran. Kenapa?"
"Kamu kayak seseorang yang suka banget sama nama depanku."
"Siapa?"
"Ya itu, aku lupa namanya." katanya sambil tertawa.
Mungkinkah itu aku? Dia lupa padaku? Atau memang tak tahu namaku?
"Bisa ya lupa sama teman sendiri? Ckckck..."
"Siapa yang bilang dia temanku?" tanyanya.
"Ooo, kalo bukan trus siapa?"
"Siapa ya, bukan siapa-siapa juga sih. Kenapa?"
"Memang siapa namamu?"
"Benar juga sih namaku memang Luka, tapi ga ada yang panggil gitu, jadi agak aneh."
"Trus dipanggil apa?"
"Setahumu aku dipanggil apa?"
"Ga tahu, Alex kali ya?"
"Betul, lalu kenapa ngotot amat ganti panggilan?"
"Ya gapapa, ga ngotot juga. Biasa yang dipakai itu nama depan."
"Kamu kelas berapa? Masa namamu beneran Candra?"
"Benar kok, emang kenapa kok ga percaya?"
"Ooo gapapa, aku rasanya tahu kok kamu yang mana."
"Ya gapapa emang kalo tahu kenapa? Ga ada masalah."
"Ya memang ga ada."
"Ah ya sudah deh. Kapan-kapan aku telepon lagi."
Aku harus segera menutup telepon karena uang yang kubawa hanya 2.000 dan tagihan hampir mencapai nominal itu.
Mungkin ia terbingung-bingung dengan pertanyaan ga penting dariku. Aku pun bingung dengan kata-kataku sendiri. Aku juga takut ketahuan sebenarnya.
Sepulang dari sana aku mampir ke rumah Nana bercerita padanya tentang kegilaan hari ini.
"Na, Nanaaaaa, aku hampir gila. Aku mana pernah menelepon cowok duluan kayak gini? Ah, aku pasti gila sekarang." kataku.
"Oya? Ngomong apa kamu? Ikutan ah. Minta nomornya."
"Ya deh sana, teleponlah. Sini kukasih nomornya." kataku.
Aku berbaring di kamarnya yang luas, Nana tak punya kamar pribadi. Ia tidur bersama nenek dan sepupunya. Dan tentu saja aku juga tidur di ranjang entah milik siapa.
"Halo, dengan Alex bisa?" kata Nana santai tak terlihat grogi sama sekali.
"Ya?"
"Oh, kamu sendiri? Aku Dewi, mau kenalan boleh?" kata Nana lancar.
"Ini apa-apaan ya? Tadi Candra, sekarang Dewi, ngerjain ya?"