Pagi setelahnya, aku melihat Luka menyeberang dari halte seberang. Ia menatapku dengan tajam. Nana pun merasakannya. Aku hampir menunduk ketakutan, seolah bersalah. Atau memang bersalah? Lalu mendadak aku menemukan keberanian untuk menatapnya balik. Lama kami berpandangan, sampai yakin ia menatapku.
"Apa lihat-lihat?" bentakku.
"Gapapa, ga boleh? Aku punya mata kok." jawabnya sambil berjalan cepat, mungkin kaget dengan bentakanku.
Nana hampir tertawa melihat kejadian aneh di depannya, "Buset, galak betul dirimu, Ndah." katanya.
"Lha iyalah, ngapain coba mengamati segitunya." jawabku tak terima.
"Lha tadi ngapain nunduk?" tanya Nana.
"Takut, karena memang bersalah. Semalam kutanya rumahnya, eh ga dijawab. Benar kata Nia, muter-muter aja." ceritaku.
Hari itu aku tak cari gara-gara dengan Luka. Malas juga berdebat. Sayangnya Nia dan Agnes malah menungguinya. Daripada bertemu dengannya, aku menuju kelas Evi. Lebih baik mendengar cerita kemajuannya dengan Dion yang kuperjuangkan dengan menukar rasa malu.
"Hai, Vi, gimana dengan Dion? Ada kemajuan?" tanyaku.
"Belum, coba deh kamu yang ngobrol sama Dion. Trus kasih pendapat." jawab Evi.
"Ngobrol apa aku sama dia?"
"Ya ga tahu, cari topik aja. Kamu pintar kok ngobrol sama orang baru, asal ga disuruh pidato aja." kata Evi.
"Ah, ogah, cari masalah baru namanya."
"Aku mau coba ngobrol sama Luka-mu."
"Aduuuuh, ga usah ditambahi embel-embel 'mu' segala deh!"
"Kayaknya lebih asyik."
"Awas galak, hati-hati!" kataku sambil tertawa-tawa membayangkan Luka menyalak.
Tak tahan dengan orkes keroncong di perutku, akhirnya aku memutuskan turun ke kantin. Memesan semangkok nasi soto, ditemani minuman teh segar di botol kaca. Tentunya aku tak suka makan sendiri, kuseret Nana yang katanya kenyang tapi malah tambah seporsi lagi.
Aku lihat si Luka mengamatiku. Membuat nafsu mengunyahku semakin menjadi. Kutatap balik, dia malah senyum-senyum puas. Istirahat jam kedua, aku duduk di bangku depan kelas, sedangkan Luka duduk santai di balkon yang terlihat dari tempat dudukku.
Begitulah dengan hari selanjutnya. Ia masih menatap penasaran padaku, sepertinya ia sengaja menghantuiku agar mengaku.
Hari kelima setelahnya, aku mulai tak tahan. Akhirnya meluncurlah pengakuan padanya.
"Apa sih?" tanyaku pagi itu saat bertemu dengannya di gerbang.
"Apanya yang apa?" jawabnya.
"Ya kamu itu, menyeramkan."
"Lha kenapa seram kalo ga salah? Hayooo."
"Iya deh aku mengaku, aku yang namanya Candra, lagi pula aku ga bohong kok, namaku memang Candra."
"Emang, aku tahu kok." jawabnya sambil tersenyum usil.
Ingin rasanya orang ini kupukul pakai penggaris kayu.
"Aku tahu itu kamu, kan yang suka sama namaku itu ya kamu itu. Mana ada yang sebut-sebut nama depanku kecuali kamu?" lanjutnya.
"Haish, ga seru." ucapku.
Luka hanya melambaikan tangan dan pergi meninggalkaku dan Nana dengan bengong.
"Lucu juga orangnya. Ini tipeku banget. Bisa diajak ribut." ucapku pada Nana.
"Ya ya, tipemu banget, seru. Hati-hati beneran jatuh cinta lho." pesan Nana mengingatkan.
Seharian aku menghindar dari sorotan Luka. Sibuk di kelas, sibuk tidur maksudku. Mengamati teman sebangkuku, Alvina. Tumben ga menghilang bersama Evelyn.
"Vin, ga ke kelas penyamun?" tanyaku.
"Kamu sendiri? Ga beredar di kantin?"
"Ngantuk."
"Ya sudah, tidur aja."
Alvina memang misterius. Dulu ketika masih berambut panjang cukup cantik. Sekarang tomboi banget, berfoto berdua dengannya serasa berfoto dengan cowok. Aura cantiknya lenyap, lebih ke arah cakep. Nana ke kantin bersama Evelyn. Pemandangan yang tak lazim bagiku. Mungkin lagi bertengkar.
Sepulang sekolah hari itu, aku berpisah dengan Nana dan Evi. Aku pergi ke rumah Sammy, mengambil baju mama. Aku melewati perempatan tempat pemberhentian bus. Dari jauh aku melihat sosok si Luka, aku yakin dia pun melihatku. Melintas di seberangnya, ia memanggil namaku.
"Ssst, sst, Can! Dari mana?"
Refleks aku pun menoleh tersenyum sambil mengepalkan jariku ke arahnya.
"Awas kamu ya!" teriakku.
Ia pun hanya tersenyum. Senyuman usil yang tak bisa kulupakan.