Luka Ini Indah

L
Chapter #10

10. Penasaran

Tepat di hari kedua di tahun baru itu, nenekku telah pergi untuk selamanya. Selesai pemakaman, aku masih tinggal di sana, sekolah belum mulai sejak libur lebaran. Kata-kata Nana ketika SD kembali terngiang, "Kalo bagiku, lebih baik mamaku pergi daripada menderita di dunia ini."

Kata-kata yang terlalu dewasa bagi anak seusia kami kala itu. Kami belum lulus SD saat itu. Tapi harus mengikhlaskan kepergian ibu di saat kita masih membutuhkan kasihnya. Tentu bukanlah hal yang mudah. Aku benar-benar salut pada Nana. Mungkin nilai akademis Nana tidaklah bagus, tapi soal kehidupan, aku yakin mentalnya lebih kuat daripada aku.

Malamnya aku mendengarkan lagu-lagu bernuansa melankolis, mengingatkan kembali pada dia yang aku suka. Aku yakin dia tak pernah kehilangan diriku, kehadiranku antara ada atau tiada dalam hidupnya. Tapi kehadirannya selalu ada di hidupku, setidaknya di masa itu. Ah, lelahnya menyukai orang itu. Memang benar kata Mamaku, "Wanita itu lebih baik dicintai daripada mencintai."

Ketika aku mulai bersekolah kembali, Nana bertanya padaku, "Sedih ya, Ndah?"

"Sebenarnya ga terlalu sih, toh kami juga sudah menduganya. Lagi pula aku kan ga sering ketemu." kataku. Aku masuk sehari lebih lambat dari yang lainnya.

"Si Luka kemarin menanyakan keberadaanmu lho. Katanya kok tumben ga kelihatan." ucap Nana.

"Halah, aku ini antara ada dan tiada baginya. Dia hanya berbasa-basi aja. Toh dia juga suka sama Alvina. Kalo pun tak bersama Alvina, ada Agnes juga yang suka padanya."

"Oya, Agnes?"

"Ga bilang sih, tapi terlihat dari senyumnya, dari tatapan matanya."

"Wah, kamu juga kelihatan dong berarti." katanya.

"Iya kali, makanya dia ga mau titip salam untuk Alvina padaku. Takut aku sedih atau kalo jahat, takut kehilangan fans."

Teeet...teeet...

Bel tanda istirahat usai berbunyi. Kami mengikuti pelajaran kembali di kelas masing-masing. Entah kelelahan atau kemalasan yang melandaku. Aku menguap berulang kali sampai air mataku ikut keluar. Suara Bu Ika mengajar Bahasa Jawa membuatku terbuai.

Alvina mengajakku ke toilet, kami selalu merasa seram jika ke toilet sendirian. Suasana dan kondisi yang mengerikan membuat kami selalu rombongan jika menuju sana. Apes bagiku, untung bagi Luka. Kami bertemu juga di sana. Entah mengapa aku justru tersenyum usil padanya sambil mengisyaratkan tentang Alvina.

Dia hanya bingung dan terdiam. Padahal aku sungguh-sungguh merasa bahagia. Memang hal aneh, seharusnya aku merasa sedih. Keusilan terbersit di pikiranku. Nanti kutanya saja di telepon. Sudah kurencanakan untuk menelepon interogasi dirinya. Aku memang sedikit rumit. Aku bisa bahagia, tepatnya berpura-pura bahagia ketika orang yang aku suka menyukai orang lain.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini, tapi ceritaku sebelum-sebelumnya selalu demikian. Maklum saja, mereka datang dari kalangan teman-temanku, jadi mudah saja mengalihkan perasaan dari satu orang ke orang yang lain.

Petang itu, aku meneleponnya kembali, "Halo, selamat malam, bisa bicara dengan—" belum selesai bertanya tapi sudah dijawab.

"Apa?"

"Kaget. Semangat amat."

"Daripada kamu sebut sebut namaku."

"Ya memang namamu itu kan, salah?"

"Gantilah! Panggil yang biasa aja. Gatal juga nih telingaku lama-lama."

"Ya itu namanya telingamu kotor. Dibersihkan dong."

"Enak aja. Bersih gini kok."

"Masa aku tahu bersih atau ga."

"Masa mau lihat juga?"

"Ga dong, ngapain, aku bukan pengangguran."

"Ya kamu kan emang lagi nganggur sekarang. Kalo sibuk masa telepon aku segala?"

"Ga dong, masa sibuk kok teleponan."

"Kenapa?"

"Nah benar, lupa sekarang, aku mau apa ya tadi?" memang suaranya mengalihkan konsentrasiku.

"Mana kutahu."

"Indaaahhhh, kamu telepon siapa? Jangan lama-lama, Mama mau pakai." ditambah suara mama menggelegar meneriaki aku.

"Ya sudah, lupa nih." kututup teleponku langsung tanpa menunggu responnya.

"Telepon siapa sih? Lama banget." kata mamaku.

"Teman."

Lama setelah itu, aku baru teringat tujuanku tadi adalah menanyakan tentang Alvina. Bodohnya bisa terlupakan karena perdebatan tak penting itu.

Hari berikutnya, aku bertemu dengannya. Jelaslah, pasti akan selalu bertemu. Orang selingkungan ya itu itu saja. Aku mengamatinya, tapi tak berbicara sambil tersenyum karena melihat Alvina lewat di depannya. Nana melihatku, merasa aneh dengan kelakuanku barusan. Mungkin merasa aneh dengan kelakuanku juga. Luka melihatku seperti meminta penjelasan. Dan aku, berlalu begitu saja tanpa sepatah kata.

"Kamu memang aneh kok, Ndah." kata Nana akhirnya.

"Aneh? Iya kali."

"Ga menyanggah? Kalo aku nih ya, setidaknya kalo aku suka, aku ga akan nyomblangin dia sama yang lain. Jadi jelas, ini lho aku. Aku suka sama kamu." kata Nana.

"Ah, aku belum tentu suka. Bisa aja aku cuma suka cari musuh." kataku mengelak.

Kami berpisah menuju kelas kami masing-masing. Rasa penasaran itu masih ada. Aku menelaahnya, apakah aku benar-benar penasaran atau cemburu?

Aku melihat Alvina di sebelahku. Yah, dia lebih segalanya dariku. Biarkan sajalah, toh juga aku biasa tersisih atau setidaknya merasa tersisih. Satu-satunya kelebihanku saat itu, aku cukup pintar untuk mencari beasiswa. Merasa kupandangi, ia menoleh, "Ngapain sih, Ndah. Kamu kok aneh rasanya."

"Aku? Aku lagi lihat sebelahmu itu lho, si Galih. Dilihat-lihat kok imut." kataku menggombal.

Jelas si Galih mendengarku. Galih ini sebenarnya cakep, hanya pendek dan pemalu. Jelas bukan tipeku sama sekali.

"Nah, Lih, Indah mulai naksir dirimu tuh." kata Vina.

Galih bergumam tak jelas, makin seru untuk digoda, mengalihkan perhatianku sejenak.

"Udah, kamu sama Manteb aja tuh, daripada gangguin aku segala." ucap Galih pada akhirnya.

"Lho, mengagumi kamu kok disuruh sama orang lain ini gimana sih?" aku juga bisa segila ini kalo ga ada perasaan apa-apa. Galih salah tingkah sendiri. Sandy memukul pundakku dengan buku paket di tangannya.

Lihat selengkapnya