Lepas hari itu, aku mencoba menjauh dari Luka, walaupun ternyata tak bisa. Aku tak menelepon dirinya selama beberapa hari. Kami masih sering bertemu di sekolah. Kadang jika terpaksa, kami masih sering bertukar senyum. Yah, sekedar basa-basi.
Sesuai perkiraanku, aku tak pernah ada di hidupnya. Ia hanya terpaksa 'menerima' kehadiranku di hidupnya. Aku yang memaksa masuk tepatnya. Aku masih belum bisa sepenuhnya melupakan perasaanku padanya. Suatu sore aku berbaring di kamarku mendengarkan kaset grup band 911 dari mini compo milikku, hadiah juara kelas satu dulu dari mamaku. Papaku memanggil, ada telepon untukku.
"Siapa, Pa?" tanyaku.
"Ga tahu, Luka atau Lukas gitu. Papa ga dengar jelas." jawabnya.
Deg...deg... tiba-tiba irama detak jantungku tak beraturan. Tumben dia meneleponku.
"Halo?" suaraku menjadi serak juga.
"Lagi ngapain?"
"Dengar musik."
"Nganggur kan?"
"Emmmm, ga juga sebenarnya. Kenapa?"
"Repot?"
"Ga juga. Kenapa sih?"
"Gapapa, mau ngobrol-ngobrol aja. Aku yang lagi menganggur, bosan."
"Mau ngobrol apa?"
"Itu temanmu, siapa namanya?"
"Alvina maksudmu?"
"Iya benar."
"Ooo aku tahu, pasti mau cari info ya. Wah, ternyata kamu ga berani maju nih padahal sudah aku kasih nomor telepon."
"Yeee, bukan gitu juga kali. Semakin banyak info kan semakin bagus."
"Trus mau info apaan?"
"Sebanyak yang kamu tahu. Sepengamatanku, kamu jarang bareng sama dia."
"Ya memang, ga level mungkin baginya bareng aku. Dia kan banyak ngobrol sama Evelyn, anak kelasnya Nana. Selevel tuh mereka."
"Teman kok pake level-levelan segala. Masa dia gitu?"
Aku menjaga pamor Alvina agar tetap positif. "Aku yang merasa gitu. Dia ga gitu."
"Yang benar?"
"Iya benar, aku yang merasa aja, dianya ga gitu kok."
"Kenapa kamu merasa gitu?
"Ya gapapa, latar belakang keluarga kali ya atau apa ya? Ah, entahlah, aku juga ga tahu alasannya."
"Ga perlu minder gitu, Ndah. Teman itu seharusnya saling memahami, saling menerima."
"Masa aku minder? Ga juga ah. Sok tahu ini. Udah kamu mau info apaan sih, bikin bingung aja."
"Sudah aku bilang sebanyak yang kamu tahu, ya apa aja terserah."
"Hmm, sebenarnya lebih baik kamu kenalan sendiri deh. Yang aku tahu dia kaya, punya adik cantik banget, itu lho yang rambutnya panjang banget di kelas dua. Kakaknya sepantaran kakakku, cantik juga. Sering ditinggal mamanya. Apa lagi ya?"
"Berarti sama papanya aja?"
"Sama pembantunya, asisten kepercayaan mamanya. Dulu sama nenek dari papanya. Sejak pisah, mereka pindah rumah yang sekarang ditempati ini."
"Ooooh, senasib denganku berarti."
"Oya? Hmm, memang jodoh deh."
"Ya ga deh, jodoh emang harus berlatar belakang sama?"
"Entah, ga paham juga. Trus kenapa ortumu pisah? Kamu ikut siapa?"
"Ga ngerti, ya katanya mama ditinggal gitu sih. Memang anak-anak ga paham hal-hal gitu. Aku juga ga paham. Aku tinggal sama mama dan nenekku."
"Ooo iya ya, ga ngerti. Ya sudah ga usah dipikirkan. Maaf ya tanyaku ngawur."
"Ga juga. Santai aja."
Sebenarnya banyak tanya yang ingin kusampaikan, tapi bibirku tak mampu berucap.
"Nah, jadi rumahmu dekat mana? Aku pernah tanya deh sebelumnya." kataku asal daripada saling diam.
"Dekat pasar, emang kamu tahu desaku?"
"Tahulah, waktu kecil aku diajak papa ke sana cuma buat makan sate kambing. Habis itu aku ngeri makan sate kambing karena lihat dagingnya digantung gitu. Tahu kan warung dekat stasiun?"
"Tahu, langganan mamaku. Aku kok biasa aja ya, enak kok."
"Enak, tapi makan di depan daging yang digantung gitu. Hih, ga deh."
"Ga usah dilihat dong. Gampang."
"Terlanjur terekam di memori otakku. Di sini juga ada penjual sate kambing, enak juga. Tanpa menggantung daging, tapi sejak makan di tempat dekatmu sana. Aku jadi ga doyan juga."
"Ah, aneh. Kok mainmu jauh juga ya sampai ke sini."
"Papaku petualang, suka jalan-jalan."
"Iya, sampai tahu pabrik garam segala."
Kami terdiam sejenak. Aku juga bingung mau ngomong apa. Rasanya aku lebih banyak bicara daripada dia.
"Kamu apa belum punya pacar? Kok sampai naksir segala sama adik kelas? Eh, bukan ya, sama anak kecil katamu." lanjutku.
"Ada teman dekat. Katamu kamu ga kecil tuh."
"Oya? Kok ga dijadikan saja."
"Suka-suka aku dong. Kok kamu yang mengatur?"
"Heh, ga mengatur tapi menyarankan. Duh, capek deh."
"Ya udah tutup aja teleponnya kalo capek."
"Ya kan yang telepon kamu, ya kamu aja yang tutup duluan."
"Yang capek kan kamu, tutup aja dulu."
"Hih, menyebalkan. Kamu itu ada yang mau ditanyakan lagi ga? Kan yang ada perlu info kamu."
"Ga ada. Nanti kupikirkan lagi."
Dan kami sama-sama diam lagi tanpa ide bicara, dan telepon masih menggantung.
"Kok diam aja?" tanyanya.