Aku jarang bercerita kepada siapa pun, tentang rasa, tentang rindu dan tentang kami. Tak seorang pun tahu, aku selalu menyembunyikannya dalam hatiku. Mamaku tak pernah tahu, mungkin ia hanya menebak, tetapi tak tahu pasti. Papaku? Mungkin bisa juga tahu.
Bahkan Nana sekalipun tak mengetahui kalo kami sering, bahkan terlalu sering berkomunikasi. Teman-temanku tak satu pun tahu apa yang terjadi padaku.
Awalnya kami mungkin menganggap ini sebagai kegiatan pengisi waktu sekolah kami yang hampir usai. Entah mengapa juga aku terjerumus dalam kegiatan tak berguna ini. Memang bukan aku yang biasa.
Sampai suatu hari, Luka meminta kembali nomor Alvina padaku lewat telepon hari itu.
"Minta nomor telepon Alvina dong!" katanya.
"Lho, bukannya sudah aku kasih dulu?"
"Hilang."
"Aih, 4243255. Ada apa emang?"
"Kamu ada kasih nomor telepon rumahku sama dia?"
"Iya, beberapa hari lalu dia minta nomormu. Kukasih aja biar licin tuh jalan kalian."
"Ya itu, aku disuruh meneleponnya. Entah kenapa."
"Ya ya, ya udah lho, telepon aja!"
"Oke, nanti kuceritain."
"Ya, baiklah."
Mungkin memang saatnya melupakannya. Apakah aku rela? Jelas tidak. Tetapi, kita tak akan pernah kehilangan sesuatu yang memang bukan milik kita. Aku kembali bersembunyi di kamar sambil berbaring di lantai, dingin sedingin hatiku. Mungkin menunggu telepon darinya yang tak kunjung ada.
Beberapa hari aku tak lagi berkomunikasi dengannya. Siapalah aku, mungkin hanya angin lalu.
Suatu malam, ia meneleponku, "Halo, Indah, ternyata Alvina itu mau minta tolong tapi ketika kami sedang bicara, teleponnya direbut mamanya."
"Ya gapapa kan, sekalian kenalan sama calon mertua." jawabku.
"Enak aja. Aku diomelin, dituduh macam-macam malahan kok."
"Kok bisa?"
"Entah, katanya jangan ganggu anaknya! Jangan kirim pesan ga sopan ke ponsel anaknya! Katanya aku tukang merusak anak orang. Anak yang ga diajari sopan santun."
"Lho, kok aneh? Masalahnya apa ya?"
"Entahlah, ga tahu juga."
"Trus kamu bilang apa?"
"Diam aja, bingung, kaget."
"Duh, kok bisa gitu lho."
"Entahlah, ga bisa ngomong, malah aku bilang iya."
"Haduh, gimana sih? Ya ditelepon balik, bilang kalo kamu ga mengerti maksudnya."
Kami terdiam, aku merasa dia sedikit menahan emosi, suaranya agak bergetar. Aku pun ingin menangis mendengar ceritanya. Mendengarnya dimanfaatkan oleh pujaan hatinya.
"Aku kan ga tahu cerita awalnya gimana, nanti Alvina dimarahi? Ah ga penting juga, ga kenal aja kok. Yang penting aku ga melakukannya juga. Toh aku juga ga kenal sama mamanya." katanya.
"Hmm, aku kok ga terima, tapi ya sudahlah. Yang mengalami toh ya kamu. Kalo kamu mau aja dimanfaatkan ya sudah."
"Heh, kok dimanfaatkan gimana? Cuma berniat membantu."
"Ya sudahlah. Kamu yang mengalami kok."
Mamaku mondar-mandir seperti biasa. Aku sadar sudah cukup lama kami ngobrol. Tapi kali itu aku menunggu Luka memutus teleponnya jika sudah merasa lebih baik.
"Aku juga sebenarnya ga suka suka amat sama Alvina. Masa kamu percaya aku suka sama dia?" katanya.
"Masa? Kalo ga suka ga mungkin sampai berkorban begitu. Lha kamu aja bisa kepikiran, kasihan kalo Alvina dimarahi mamanya. Apa coba kalo bukan suka?"
"Ga tuh, salah. Aku kan polos."
"Apa? Polos dari mana? Aku yang salah dengar atau kamu yang salah ngomong?"
"Lho ga percaya, ya sudah."
"Kamu? Ga mungkin kamu polos."
"Ah, kamu dibilangi ga percaya sih. Aku cuma ga bisa berpikir waktu itu. Padahal aku marah banget dibilang kayak gitu."
"Daaaan kamu ga bisa bicara, karena pikiranmu tertuju pada Alvina. Cie, kisah kasih di sekolah beneran."
"Apaan juga ciee ciee?"
"Cie, memang kayak puisi, berkorban buat dia yang kamu cinta. Wuish. Kereeeen." kataku walau dalam hati aku marah padanya.
"Ah, kamu dijelaskan ga percaya sih. Eh, kayaknya udah malam, ngantuk. Udahan dulu ya. Bye."
Malam itu aku tak bisa tidur, entah mengapa justru aku yang memikirkan dirinya. Aku merasa sedih untuknya, membayangkan jika dia yang aku suka justru dituduh untuk sesuatu yang tak dia lakukan. Entah mengapa citranya di mataku adalah seorang laki-laki yang baik, walaupun sebenarnya aku tak benar-benar mengenal dirinya.
Mamaku menanyaiku, kenapa Luka sering menelepon aku. Aku jawab curhat tentang Alvina. Mamaku percaya bahwa aku tak ada perasaan apa-apa padanya. Aku berhasil membohongi semua orang termasuk diriku sendiri saat itu. Itu pertama kalinya aku mendekati seorang laki-laki, berjuang untuk menunjukkan perhatianku dan menangis bersamanya saat dia bersedih.
Aku terlalu sering menghabiskan waktu mengobrol dengan dirinya. Bahkan ketika hari libur pun aku berbicara dengannya lewat telepon. Tak seorang pun tahu aku benar-benar memikirkannya. Aku sering menulis segala percakapan kami di buku harianku.
Siang itu, hari Minggu, aku menelepon dirinya menanyakan kabarnya.
"Halo, gimana jadinya? Sudah memutuskan untuk menjelaskan pada mamanya? Atau meluruskan masalah dengan Alvina?"
"Ah, ga usah, biarkan aja." jawabnya.
"Setidaknya kamu kan tahu ceritanya, tanya gih!"
"Kok kamu yang penasaran. Aku aja santai."
"Masa?"
"Iya." terdengar ia sedang tak konsen. "Ini lho aku ditertawakan adikku. Dikira aku ngobrol sama pacarku. Ga percaya kalo aku ga punya pacar." lanjutnya.
"Ya ga maju-maju sama Alvina sih. Malah dimanfaatkan gitu. Bodoh ga sih?"
"Eh, kok aku dikatai bodoh?"
"Lho tanya dong dirimu sendiri, bodoh ga hal yang kamu lakukan?"
"Ga, dari mana bodohnya? Justru aku baik kan?"