Deretan kelas di bagian utara gedung mulai lengang. Keriuhan para warga kelas putih abu-abu mulai lenyap. Kupandangi ruang kosong di sana yang kehilangan penduduknya. Baru kali ini aku merasa kehilangan setelah sekian tahun aku mengalami banyak perpisahan di gedung ini.
Terakhir kali aku sedih adalah saat perpisahan SD kali itu. Penyebabnya adalah aku harus berpisah dengan Ronny, teman beda gender yang pindah sekolah bersama Novi ke sekolah negeri favorit. Ronny selama setahun di kelas enam SD, usia yang terlalu dini untuk mengenal rasa suka. Apapun itu, aku sedih harus berpisah darinya. Sampai saat itu aku menulis puisi di buku harianku.
Juni 1997,
Ronny,
Berjuta harap kuingin bersamamu.
Berjuta harap kuingin di sampingmu.
Berjuta mimpi ingin kau kembali.
Aku sedih harus berpisah denganmu.
Kubaca kembali saat aku mulai menyukai Reynand, rupanya aku benar-benar lupa pada Ronny. Benar-benar konyol rasa cinta si monyet di SD itu. Tapi sekali lagi aku bukan monyet. Aku pun menyilang puisi menjijikkan itu. Puisi yang tercipta akibat cinta monyet yang aku alami. Sekarang pun ketika bertemu Ronny di swalayan kota kami atau di warung makan di sana, aku merasa konyol.
Setelah perpisahan SD itu aku tak pernah peduli siapa pun yang datang dan pergi di sekolah ini. Istilahnya mati rasa peduli terhadap penduduk gedung ini. Bahkan ketika Reynand lulus, aku justru merasa lega. Tak harus melihat wajah gantengnya lagi yang meresahkan seperempat makhluk bergender perempuan di angkatanku.
Mereka yang masih memperebutkan perhatian Reynand. Aku simpulkan, Reynand menyadari pesonanya. Ia terampil dan mahir menggunakannya untuk membuat para cewek terpikat. Untungnya aku tak lagi ikut-ikutan ketika tahu dia sudah ada yang punya. Kak Mayang, teman seangkatannya. Cantik, baik hati dan tentu saja pintar.
Tapi rasa kehilangan itu kembali menemuiku, aku sedih melihat deretan kelas kosong itu sekarang. Bahkan ketika aku melongok masuk, melihat bangku kosong dan papan piket itu membuatku sedih. Sebuah rasa yang tak seharusnya ada. Toh sebentar lagi aku juga akan pergi meninggalkan sekolah ini. Aku harus fokus agar tak kehilangan kesempatan bersekolah di kota.
Setapak demi setapak, sampailah pada hari kelulusanku sendiri. Aku sukses menjadi lulusan peraih nilai tertinggi, tentunya untuk standar sekolahku. Nilaiku sendiri sebenarnya biasa saja, mungkin aku hanya beruntung saat itu.
Aku dan Luka tak saling bertemu lagi. Terakhir aku melihatnya ketika pengambilan ijazah. Tak banyak yang kami lakukan. Hubungan kami hanya secara abstrak, tak kongkrit. Tak pernah bertemu di kehidupan nyata. Entah aku yang malu, atau dia juga pemalu.
Awal liburan kami masih beberapa kali berbincang, tentu lewat telepon juga.
"Halo, Indah, sudah persiapan mau keluar kota?" tanyanya.
"Belum, masih lama."
"Nilaimu bagus?"
"Lumayan. Cukuplah untuk mengejar Reynand." kataku setengah gila. Ia tahu aku suka Reynand sebelumnya, bukan suka, kagum.
"Iyalah. Katanya kamu pintar kan?"
"Kata siapa?
"Agnes bilang gitu."
"Ngapain ngobrolin aku?"
"Aku tanya. Habis kalo tanya kamu, pasti sombong deh jawabanmu."
"Enak aja. Ngomongin orang lain di belakang itu ga baik."
"Sama dong, kamu juga sering ngobrolin temanmu sama aku. Ga baik dong."
"Iya juga sih. Itu lain kasus, aku curhat."
"Kenapa curhat sama aku? Ga punya teman ya?"
"Ga ada yang bisa dipercaya."
"Wah, aku bisa dipercaya dong?"
"Lumayan. Tapi sebenarnya ga juga. Jangan-jangan kamu bocorkan juga ke Agnes?"
"Ga, tenang aja. Jarang kok ngobrol sama dia."
"Lha kamu sendiri nih gimana? Udah mantap jiwa-raga mau jadi mahasiswa? Kenapa harus pakai kata maha ya?"
"Ya biar keren, kan cara belajarnya udah beda. Siap, sesiap-siapnya dong. Udah pengen cepet-cepet kuliah."
"Nana tu mau sekolah di kota yang sama denganmu."
"Oya? Nanti kuajak jalan-jalan deh dia."
"Iya disenangkan tuh."