Luka Ini Indah

L
Chapter #14

14. One Last Moment

Ternyata aku sedikit mudah lupa dengan segala yang aku alami di tahun akhirku di kota masa kecilku. Segala kenakalan di tahun akhir masa SMP yang kujalani. Aku tak begitu mengerti sepenuhnya apa yang mendasari aku melakukan tindakan konyol di waktu itu.

Di tahun pertamaku di SMA impianku ini, aku sudah menemukan banyak yang bisa diamati. Sekedar menyimpan kekaguman terhadap beberapa kakak kelasku. Banyak makhluk menarik di kota, meskipun menurut teman-temanku, seleraku termasuk jelek untuk menilai kadar ketampanan seorang pria.

Bila semua orang menaksir Handy yang mirip Jimmy Lin, aktor yang tenar waktu itu. Aku tak berminat ikut-ikutan naksir. Jelas kemungkinan keberhasilan rendah, untuk apa ikut-ikutan berjuang?

Aku cukup realistis menilai diri sendiri. Seseorang seperti aku, mungkin tak perlu muluk-muluk naksir cowok. Aku orang biasa, aku juga mempunyai tipe cowok yang sederhana, tak perlu berkesan 'wah' untuk dipamerkan.

Kebanyakan teman seangkatanku mulai berburu, istilahku saja sih, di awal kami memakai seragam putih abu-abu ini. Nita mulai menyukai Maximilian. Aku dan Novi, tentu kami polos. Sepolos anak desa. Novi sebenarnya cantik, entah mengapa ia tak percaya diri juga sama seperti aku.

"Kamu itu cantik, Nov, kenapa harus tak percaya diri?" tanyaku penasaran padanya.

"Entahlah. Ga percaya diri aja."

"Padahal dibandingkan yang pada kepedean itu, kamu jauh lebih cantik lho." ucapku.

"Menurutmu kan? Menurut orang lain belum tentu. Lha kamu sendiri kenapa ga percaya diri?"

"Ya kamu tahu lah, aku biasa aja, ga ada yang istimewa dari aku. Mau mulai suka orang sudah kalah mental duluan."

Aku, Novi, Kak Tere, Kak Yuli memang setipe. Kami jomblowati penunggu kos. Kak Tere adalah teman sekelas Handy, si cakep. Tapi baginya, Handy biasa saja, tak perlu sampai diidolakan. Nita sering meminta Kak Yuli mengenalkannya dengan Max, padahal setahuku, Kak Yuli juga suka padanya. Aku paham benar bagaimana perasaan Kak Yuli.

"Nov, kayaknya Kak Yuli itu naksir Max ya?" bisikku membuka diskusi kami.

"Iya." jawab Novi.

"Indah, Novi, kalian mau kenalan sekalian ga? Ayo biar aku ga malu sendirian." tanya Nita. Dalam hati, kalo malu ya ga usah kenalan. Aneh-aneh aja. Tapi terpaksa kami mengikuti.

Keesokan harinya, akhirnya kami bertiga berkenalan dengan Max. Ketika aku melihatnya, aku teringat pada Luka. Gaya dan wajahnya mirip, bahkan tinggi badannya pun sama. Tapi aku lebih tertarik pada Thomas, terlihat sederhana. Aku mengenalnya saat pembinaan OSIS. Kami memang saling mengenal, maka aku menyapanya.

Di sebelahnya ada Sugik, Kak Yuli mengenalkan padaku. Ketika itu kesan pertama melihatnya, ada sesuatu yang aneh di dirinya.

Aku bercerita pada Novi tentang Max, "Nov, aku kok malah teringat pada Luka ya pas kenalan sama Max. Mirip eh."

"Trus? Jadi ikutan naksir?"

"Ga bisa, ada yang berbeda dari mereka."

"Jelaslah, Max adalah Max, Luka adalah Luka. Ga ada orang yang sama di dunia ini." jawab Novi. "Kayaknya Sugik itu malah mengamati kamu. Naksir kali." lanjutnya.

"Orangnya aneh, serem deh." jawabku.

Kata Kak Yuli, Sugik memang agak mesum. Aku juga tak berminat berkenalan pada siapapun. Mungkin trauma dengan masa lalu.

Sepanjang tahun pertama aku bersekolah di kota ini, aku belum menemukan seseorang untuk benar-benar disukai. Sesekali aku masih merindukan Luka. Apalagi ketika Nana bercerita tentang dirinya.

"Ndah, aku kenalan sama adiknya Luka, beda banget sama dia, namanya Darius Aleksander Angkajaya. Jadi kalo kamu panggil Alex bisa jadi mereka noleh."

"Lha tapi kan bener sih panggilan Luka adalah Alex, masa adiknya juga dipanggil Alex?"

"Ga, adiknya dipanggil Ius." jawab Nana.

"Enak ya kamu masih ketemu sama dia."

"Kangen ya? Kusampaikan ya?"

"Ngawur. Jangan deh."

"Dia pernah ngomong sesuatu pas itu. Andai kamu ga keras kepala, mungkin sekarang kamu bisa sama dia."

"Kalo dia serius harusnya ga malah ngajak berantem dong, ya kan?"

"Ya sudahlah, malah bikin kamu emosi. Lagi pula aku juga ga balik sana kok, Ndah. Aku ga naik nih." kata Nana.

Aku terdiam saat itu, teringat segala pembicaraan kami tentang Nana. Kemudian Nana memberi aku nomor teleponnya. Bisakah aku perbaiki segalanya? Di sana dia pasti sudah bertemu orang lain.

Entahlah. Aku tak pernah mencoba menghubungi dia lagi. Tak pernah pula memikirkan tentang dia. Sampai suatu hari di bulan September, aku menunggu hujan di wartel dekat kosku. Aku tak mempunyai ponsel sehingga ketika perlu menelepon orang tuaku maupun temanku, aku harus ke wartel. Aku teringat hari itu ulang tahun Luka. Aku pun tergoda untuk meneleponnya.

Aku menekan nomor teleponnya dan tersambung. Seorang wanita mengangkatnya, kemudian memanggilkannya. Aku tak tahu persis apakah dia kos atau tinggal di rumah sendiri.

"Halo." ucapku ketika ia mengangkat telepon.

"Ya?" suaranya masih aku ingat.

"Selamat ulang tahun ya." ucapku sambil berdebar-debar.

"Oh, iya, makasih." ia tak menanyakan siapa aku. Apakah ia masih mengingat suaraku atau karena ia tak peduli pada orang yang menelponnya.

"Maaf ya waktu itu." ucapku setelah setahun lebih semua berlalu.

"Iya, kamu seenaknya sendiri sih. Jangan diulangi lagi ya." ternyata ia masih ingat suaraku.

"Iya. Maaf. Nana ga naik kelas, apa kamu tahu?"

"Iya, padahal aku sudah kasih tahu juga lho. Dia itu juga susah dinasihati. Salah pergaulan kayaknya."

"Yah maklum, dia baru bisa bebas di sana."

"Aku ajak ke persekutuan doaku tapi ga mau. Ya sudah, akhirnya dia sering keluar sama teman-temannya."

"Iya, bukan salahmu juga. Ya sudahlah. Maaf ya, dan makasih." ucapku.

Lihat selengkapnya