Andy nekad mendatangi kosku. Padahal aku sudah mengatakan bahwa Tante kosku galak, tak ada ruang tamu dan banyak alasan lainnya. Tentu saja teman-teman mendukungku untuk menerimanya jika ia menembakku. Padahal prinsipku adalah: Love when you're ready, not when you're lonely.
Sore itu ia benar-benar mendatangi kosku.
"Halo, Indah!" sapanya.
"Ya, Kak, apa kabar? Ga libur kok pulang?" tanyaku.
"Menemuimu."
Deg...deg... Tetap saja berdebar-debar walau aku tak suka.
"Walah, gombal. Hayo, bolos ya? Dikeluarkan nanti lho." jawabku asal menghindari pernyataan darinya.
"Lho, beneran ini. Aku kok merasa aku suka ya sama kamu. Kamu gimana?"
"Aku? Aku ga gimana-gimana. Aku suka sih temenan sama Kakak. Tapi ya sebatas teman."
"Ga mau dicobakah lebih dari teman, pacaran gitu?"
"Lebih baik kita saudaraan aja. Lebih abadi daripada pacaran. Iya ga?"
"Waduh, ini berarti aku ditolak dong. Hmm, tapi gapapa juga sih, ya udah kita saudaraan aja ya." katanya akhirnya.
Aku menyetujuinya. Seharusnya kalo memang serius itu ya seperti Kak Andy ini. Sedangkan Luka? Cuma tanya seperti itu trus menghilang. Ah ga serius banget! Mungkin memang ga serius, lalu mengapa aku mengingatnya lagi?
Aku dan Andy masih berkomunikasi setelahnya. Walaupun tak pernah lagi ada pesan romantis menjurus dari Andy. Tapi aku tak sedih sama sekali. Aku justru bahagia, tak terbebani titipan perasaan orang lain.
Andy mengenalkanku dengan temannya, Philip. Aku tahu Philip teman sekelas Kak Yuli sewaktu kelas tiga. Penampilannya cuek, bisa mengarah ke tak teratur. Orangnya sih menyenangkan, justru lebih menyenangkan daripada Andy.
Andy, Philip, Oki dan Markus sefakultas di universitas. Entah mengapa kakak kelasku semua mengambil jurusan itu. Sedangkan dengan Arie, aku masih sering bertukar sms lucu-lucu khas zaman itu. Sugik juga sering mengirimi pesan sejenis. Aku mungkin salah, tapi aku menanggapi mereka. Selama tak ada pengakuan, bagiku tak masalah.
Jika ada istilah friend zone, mungkin itu yang kualami. Bisa jadi aku dan Luka dulu juga hanya sebatas friend zone. Sepanjang tak merugikan siapapun bagiku tak masalah.
Hidup terus berlanjut, aku menamatkan SMA di kota itu lalu mencoba peruntungan baru di Surabaya. Aku menikmati menjadi pengembara. Pelan-pelan aku pun lupa pada kota kelahiranku.
Bersama dengan hilangnya ponselku, hilang pula kontakku dengan Arie dan Sugik. Pun demikian dengan Markus dan Matias. Beberapa kenalan salah sambungku juga. Ketika menyebut dari Salatiga, aku selalu berharap itu Luka. Tapi setelah kulogika, ga mungkin juga dia bisa mendapatkan nomorku.
Selamat tinggal masa lalu, aku membeli ponsel baru dan kartu bernomor Surabaya. Secara otomatis, aku kehilangan komunikasi dengan teman SMAku.
Menjalani hari kuliah yang awalnya aku agak ragu. Kakakku sudah lulus dan bekerja di Sukabumi. Otomatis aku sendirian di kota ini. Memulai kegiatan baru dan kehidupan baru.
Aku memang beberapa kali bertemu Markus, tapi yang selalu membantuku di kota ini adalah Philip, teman Andy. Setiap kali aku perlu bantuan, aku bisa minta tolong padanya. Lama kelamaan aku justru lebih dekat dengan Philip daripada dengan Andy.
Philip memang sedikit seenaknya sendiri menurutku. Mungkin kami setipe maka kami cocok untuk berteman. Saat aku semester pertama, ia sudah mempunyai pacar yang namanya mirip dengan sahabatku, Nana.
Ketika ia main di kosku, seorang kakak kosku mengenalinya sebagai pacar temannya. Kak Juli bertanya padaku, "Itu temanmu apa benar punya pacar namanya Nana?"
"Iya, aku pernah dikenalkan dengan Kak Nana." jawabku.
Philip memang sudah punya pacar sampai aku semester tiga, ia putus dengan pacarnya. Mamanya tak menyetujui hubungan mereka, apalagi ditambah pacarnya selingkuh dengan teman laki-lakinya.
Semenjak putus, Philip menjadi lebih dekat denganku. Aku menemaninya pasca patah hati karena aku tahu rasanya patah hati.
"Ndah, jalan-jalan yuk, bosan nih di kos." ajaknya kala itu.
"Ayo aja." aku mengiyakan ajakannya.
"Makan jagung bakar yuk di daerah Citraland."
"Buset ga kalah jauh itu makan? Tapi ayo aja deh! Yuk berangkat!"
Ngobrol ke sana ke mari ga jelas. Ia curhat tentang kisah cintanya yang kandas. Terkadang kami pergi berdua saja, kadang beramai-ramai dengan teman-temannya yang mayoritas cewek.
Aku juga heran, kenapa ia tak pernah mengajak Andy, Markus atau Oki. Jelas Oki pernah sekelas dengannya. Ia suka pergi mengajak Ira dan Ivon. Tapi aku tak pernah bertanya padanya.
Aku senang berjalan-jalan dengan Philip tanpa merasa ada yang janggal. Bagiku, berteman dengan makhluk beda gender adalah hal yang amat sangat biasa.
"Eh, kenalkan dong sama Sielly tuh. Cantik banget ya."
"Oooo dasar cowok, lihat yang bening langsung jelalatan." kataku.
"Lha ya normal dong. Toh aku juga ga punya gandengan. Cuma kenalan kan juga gapapa. Tapi caranya yang elit, jangan langsung maju. Aku kan pemalu."
"Halah, malu-maluin iya. Oke, nanti pas kita pergi aku ajak dirinya."
Aku mengajak Sielly setiap kami pergi. Aku dan Philip memang aneh. Banyak yang mengira kami pacaran. Tapi ketika itu hatiku masih tak berumah. Aku masih tak ingin berkaitan dengan urusan asmara. Kuakui memang kadang ingin punya pacar. Tapi selama ada Philip aku tak pernah kesepian.
Kami berpetualang ke mana-mana. Ia sangat menjagaku, juga selalu sopan padaku. Bersamanya aku bisa menikmati masa kuliah penuh kebahagiaan. Aku bisa berjalan-jalan sampai Tretes bersamanya, bisa juga berwisata ke kota-kota wisata di dekat sana.
"Ini ya, cuma makan ronde kita ke sini? Kamu pernah sebelumnya kah?" tanyaku.