Sepuluh tahun berlalu sejak aku meninggalkan kotaku. Aku mulai mempunyai akun Facebook. Aku membuatnya karena ajakan teman Friendsterku, teman kuliah yang bermigrasi ke Amerika. Laki-laki penduduk asli kota Pahlawan yang pertama memberi ucapan ulang tahun padaku.
Setelah berumur hampir seperempat abad, aku baru sadar bahwa ternyata aku orang yang mudah kagum dan tersentuh. Bukan karena aku haus perhatian, karena aku tak terlalu suka jadi pusat perhatian. Aku bisa mudah suka pada orang dan mudah pula lupa.
Aku lupa bagaimana ceritanya sampai semua teman-teman lamaku kembali memenuhi akun Facebook itu. Itulah kemajuan teknologi. Beruntunglah mereka yang ada di era serba digital. Mungkin perpisahan takkan semenyedihkan orang jaman pra modern.
Aku merasa telah melupakan Luka. Menetralkan semua perasaan yang pernah ada. Mana mungkin sepuluh tahun tak mampu menghilangkan perasaanku itu? Aku merasa sudah banyak kisah menghiasi hidupku, baik senang maupun sedih. Luka hanya sebagian kecil dari kisah itu, pikirku.
Kurasa benteng pertahanan hatiku sangat kuat untuk mengabaikan godaan kembali ke masa lalu. Merasa yakin, akhirnya aku menambahkan Luka ke daftar temanku di Facebook.
Aku mulai bekerja di kota Pahlawan yang mulai kucintai. Teman-teman kuliahku malah mulai meninggalkanku pulang kampung. Bahkan sebagian langsung menikah setelah lulus kuliah.
Selulus kuliah, aku sempat hampir menaruh hati pada Tinus. Ia selalu menelepon bercerita padaku sampai larut malam. Aku awalnya tak tahu statusnya, sampai suatu saat temanku bercerita padaku tentang pacar Tinus. Aku tahu yang kulakukan salah, tapi belum mampu mereduksi perasaan yang terlanjur datang.
"Ndah, Tinus itu pacarnya Yovita. Apa kamu tahu?" tanya Sarah padaku.
"Ga tahu. Kok ga cerita ya?" tanyaku.
"Ya ini aku kasih tahu, sebelum kamu terlanjur dalam menyukainya. Tinus memang menyenangkan, aku tahu dia tipemu banget. Tapi sebaiknya segera lupakan dia!" kata Sarah menasihatiku.
"Sebenarnya kami juga cuma berteman sih."
"Iya, tapi ga etis berbicara di telepon sampai larut malam dengan pacar orang. Sedangkan dia menelepon pacarnya hanya sebentar saja."
"Iya, tapi kan seharian ga berhenti bertukar kabar. Apa sangat bermasalah?"
"Yah, coba pahami! Kamu punya pacar, trus dia malah bicara lama sekali dengan cewek lain di telepon. Gimana perasaanmu?" tanya Sarah.
"Ya, ga suka sih. Cemburu dong pasti."
"Makanya, kalo ga mau dianggap merusak hubungan orang, lebih baik jangan ditanggapi!"
"Ya aku tahu."
"Yang nantinya punya image ga baik bukan cuma Tinus, tapi kamu juga."
Saat itu aku hanya mengangguk seperti orang dungu. Aku sedih, melarikan diri dengan mengikuti kegiatan komunitasku dan bertemu dengan Fendy. Akhirnya kami sering keluar bersama, dari sekedar makan malam sampai hang out bersama.
Kami menjadi lebih dekat setelah ia menceritakan masalah keluarganya, Mamanya sakit dan ia harus merawatnya sendiri. Ia anak tunggal, papanya pensiunan polisi. Aku melihat perjuangan hidupnya. Tanpa kusadari aku mulai peduli padanya.
Entah jenis kedekatan seperti apa yang aku jalani. Kami menghabiskan waktu dengan membicarakan banyak hal. Ia menceritakan sejarah hidupnya, masalahnya, pergumulan hidupnya. Persis seperti orang pacaran, tanpa sebuah pengakuan.
Di tempat kerja aku bersahabat dengan Arnold dan Kak Anna. Aku biasa mencurahkan isi hati pada Arnold karena kami kebetulan seumuran. Mungkin saja jika Arnold belum punya pacar, aku bisa saja naksir padanya.
Arnold kurang menyetujui hubunganku dan Fendy. Sebenarnya ia mendukungku dengan Tinus sebelum ia tahu Tinus sudah punya pacar. Arnold tak menyalahkan Tinus maupun aku, tapi ia juga menasihatiku yang masih bandel belum memutuskan hubungan dengan Tinus.
Suatu siang ia dengan serius menasihatiku tentang Fendy, "Aku kurang setuju, Ndah, kalo kamu sama Fendy. Aku kenal Fendy orang seperti apa, rasanya ga akan cocok sama kamu." katanya.
"Kok bisa kenal?" tanyaku.
"Dulu satu sekolah sama aku, trus kuliah sebentar, ga lanjut." katanya.
"Trus kenapa ga setuju?"
"Ya sifatnya. Bukan tipe pria apa adanya. Dia mementingkan gengsi. Sedangkan kamu suka kan tipe kayak Tinus. Orang sederhana, apa adanya. Aku sebenarnya mendukung kalian."
"Lha sudah ada yang punya. Masa aku mau rebutan, takut karma."
"Iya sebenarnya kamu atau dia ga salah. Kalian berkenalan di waktu yang ga tepat. Seharusnya dia yang mengendalikan perasaannya, jangan sampai seruwet ini."
"Ya aku salah, ga tanya dia punya pacar atau belum. Tapi apa salahnya punya teman beda gender selain pacarnya? Seperti kita ini, ga masalah kan?"
"Sebenarnya agak salah. Entahlah, kalian yang tahu."
Jam makan siang selesai, kami kembali ke ruangan masing-masing. Aku melanjutkan pekerjaanku. Sedangkan Arnold kembali mengawasi mesin.
Malam itu aku menganggur di kos. Iseng-iseng melihat Facebook. Ada Luka di daftar temanku setelah ia mengonfirmasi permintaan pertemananku. Kubuka-buka foto-fotonya, memang cakep orang ini. Belum terlihat ada foto berdua dengan pacar, tapi banyak fotonya bersama wanita. Mungkin dia menggunakan wajahnya yang tampan, mengembangkan potensi menjadi player. Mungkin sedari dulu dia memang player, aku yang tak menyadarinya.
Saat itu aku merasa masih sibuk mengejar mimpi. Jelas aku termasuk orang yang logis, setidaknya saat itu. Segala yang berlalu biarlah berlalu. Masih banyak yang bisa dikejar di sini. Ah, sudahlah. Toh kami semua sudah beranjak dewasa. Hidup masih panjang hanya untuk memikirkan yang telah berlalu. Aku pun menutup laptopku.
Selain Luka, aku berteman di sana dengan orang-orang yang pernah mampir di hidupku. Hidup di dunia maya mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan rekan kerja sedivisiku banyak yang menemukan pasangan hidup dari sana.
Aku dan Luka beberapa kali berbincang lewat chatting. Hanya saja karena kualitas sinyal yang jelek, kadang aku tak menanggapi kembali, bukan karena aku menghindar sebenarnya.
"Want to walk without looking back, want to close my eyes and stop thinking and do not care anymore, want to remove all the memory. And wanna say goodbye yesterday."
Aku mengunggah status saat aku lelah dengan kejadian yang melibatkanku di dalamnya. Lelah dengan kepura-puraan orang di sekitarku. Lelah dengan konflik kepentingan di kantorku. Lelah dengan segalanya.