Luka Ini Indah

L
Chapter #17

17. Cinta dalam Hidupku

Teman-temanku mulai memiliki gadget baru berupa Berry hitam. Jika dulu berkenalan meminta nomor telepon serasa memalukan, maka di saat ini sibuk bertukar PIN BBM. Hal yang wajib kala itu. Terlihat keren saja bertukar PIN. Padahal benda baru itu harganya cukup mahal dengan kelebihannya hanya pada messenger.

Arnold kembali menanyakan perkembangan status kisah asmara yang tak jelas milikku. Tentu saja lewat pesan Berry hitam. Tak lagi zaman berkirim sms.

Arnold : Gimana, Indah? Ga sama Fendy lagi?

Aku : Sudah lelah. Ga suka aku digantungkan gitu.

Arnold : Yang biasa komen itu kok juga ikut hilang?

Aku : Luka maksudnya?

Arnold : Iya, unik ya namanya.

Aku : Udah punya pacar kali.

Arnold : Terus kamu sama siapa nih sekarang?

Aku : Ga ada.

Arnold : Mario tuh, udah lumayan dekat.

Aku : Takut, Nold.

Arnold : Kamu sama Kak Anna sama aja. Ruwet.

Aku : Masa sih?

Arnold : Tanya hatimu deh!

Selama vakum dengan Fendy, aku menghindari segala acara yang memungkinkan aku terlibat dengannya. Aku juga harus membereskan kekacauan antara Nina dan Herry. Yang jelas aku harus meminta maaf pada Herry. Aku, Alex, Deasy, Aldi sering mencomblangkan mereka sampai kesalahpahaman terjadi.

Herry marah padaku. Entah karena sebab apa aku pun tak jelas. Kata Herry terakhir padaku.

"Indah, aku ga pernah ikut campur masalah kisah cintamu dengan Fendy kek, Mario kek, Timmy kek, Happy kek. Kamu kok reseh banget sok mengaturku."

"Siapa juga mengatur? Aku kan cuma bilang, kamu ama Nina itu cocok. Kalo kalian ga merasa ya sudah. Kalo bisa jangan menggantung anak orang deh!" jawabku.

Lalu Herry menjauhi Nina, Nina menjadi sedih dan aku pun menjadi sedikit bermusuhan dengan Herry. Padahal aku tak bermaksud mengurusi mereka. Hanya menyuarakan apa yang selalu Nina pikirkan.

Pelajaran berharga bagiku, tak perlu ikut campur urusan orang lain. Bahkan sahabat dekatmu sekalipun. Mereka tak meminta bantuan artinya mereka merasa baik-baik saja dengan kondisi itu. Justru dengan kehadiran saran dan nasihat tak perlu yang kita berikan, malah mengacaukan segalanya.

"Sudahlah, Nin, melangkah maju aja." kataku kala itu.

"Sebenarnya Herry pernah ngomong sama aku, dia sayang sama aku. Katanya aku yang paling memahami dia." cerita Nina yang belum aku dengar.

"Lha kok aku baru tahu. Pantas aja Herry emosi gitu aku hakimi seenaknya diri."

"Yah, waktu itu aku bilang sama dia, aku mau ditembak di tempat lain yang menurutku romantis."

"Eaaaa, kan kamu juga tahu kondisi ekonominya Herry, Non. Ya berat dong kalo tempat romantismu ada di luar negeri gitu." jawabku.

"Yah, aku menyesal sih, tapi kalo dia serius kan seharusnya berusaha."

"Yaaah, relatif. Aku juga ga mengerti syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh pria untuk serius pada wanita. Ada tipe yang ngotot mengejar orang, ada tipe yang santai, ada tipe yang mudah menyerah."

"Hmm, lagi pula aku juga mau pulang kampung, Buk. Mungkin di sinilah kami harus berpisah."

"Bukankah sebelumnya dia juga pernah ke rumahmu?"

"Ya dong."

"Dibawa dalam doamu aja deh. Kali aja memang kamu jawaban doanya dan dia jawaban doamu. Maaf ya aku mungkin terlalu ikut campur."

"Ya aku juga minta maaf, melibatkanmu di masalahku. Padahal masalahmu sendiri sudah banyak."

Beberapa minggu setelah pertengkaran tak perlu itu, aku berpisah dari Nina. Ia pulang ke rumahnya di Gorontalo. Menyembuhkan luka patah hatinya dan memulai hidup barunya.

Aku mulai merasa sendiri sepeninggal teman-teman hedon yang biasa mengajak jalan-jalan setiap saat. Teman komunitas sudah aku jauhi, sekarang tersisa aku sendiri di sini. Arnold sebentar lagi juga akan meninggalkanku. Dia mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Sebulan sebelum pengunduran dirinya, kami berjalan-jalan keliling kota, melintasi jembatan icon Kota Pahlawan.

Arnold tahu aku sedang dekat dengan Mario sekarang. Entah sebagai teman atau sebagai pacar, itu yang belum pasti.

"Indah, kamu tahu ga alasan aku mengundurkan diri lebih cepat dari perkiraanku?" tanya Arnold.

"Ga tahu, aku juga kaget. Kamu kan orang yang suka berestimasi, semua serba terukur dan terencana. Kok malah mendadak mengajukan pengunduran diri?"

"Ya begitulah."

"Apa ga tahan sama bos? Udah kalo ikut orang ya resikonya memang gitu. Ga cocok sama kebijakannya."

"Itu ga seberapa sih sebenarnya. Tapi memang kan kamu tahu aku ga berencana lama-lama kerja ikut orang."

Lihat selengkapnya