Luka Ini Indah

L
Chapter #18

18. Tentang Luka

Aku hanya siswa biasa di sekolah ini. Namaku : L. Aleksander Angkajaya. Mungkin aku ingin menyembunyikan tulisan namaku yang salah itu, maka aku dipanggil Alex. Aku mempunyai masa lalu yang tak perlu dibanggakan, bahkan masa depan pun aku tak tahu mau jadi apa. Aku cuma berusaha menjalani hidupku sebaik-baiknya.

September 1999

Aku mulai bosan dengan kehidupanku di desa ini. Tak ada sesuatu yang spesial di sini. Bisa dikata aku ingin segera pergi dari desa ini. Ini ulang tahunku yang ke-17, artinya aku sudah cukup dewasa.

Pagi itu aku melihat adik kelasku, kalau boleh aku sebut demikian. Ternyata tiga tahun di sini aku masih kurang wawasan. Aku tak pernah merasa melihat mereka. Entah karena aku yang terlalu cuek atau aku memang tipe setia tak pernah melirik kanan-kiri.

Ada yang cantik, yang hampir tak kutemukan di seantero sekolahku. Ada yang keren, walaupun tomboi tapi tetap menarik. Ada yang judes, tapi selalu terlihat ceria dan baik hati. Aku hanya tertarik melihat mereka, tanpa ada keberanian berkenalan dengan anak-anak itu.

Suatu siang, aku pernah berpapasan dengan seorang siswi dari SMP itu yang memandangiku seperti makhluk asing. Aku tak tahu siapa dirinya. Hanya merasa aneh dengan tatapannya. Apa yang salah denganku sampai diamati begitu?

Dia yang begitu kurang ajarnya menertawakan namaku. Tapi anehnya aku justru tak bisa marah padanya. Aku biarkan saja dia tertawa berlebihan seperti itu, yang entah bagaimana juga membawa sedikit kebahagiaan dalam diriku.

Mana ada orang sepolos itu mengajak kenalan kakak kelasnya hanya demi taruhan ga penting kalo bukan dirinya? Entah bagaimana kadar kewarasannya saat itu? Bahkan temanku pun sering menggodanya, mengatakan menyukainya secara terang-terangan, padahal setahuku temanku sedang pendekatan dengan anak kelas IPS.

Aku mengingatnya sebagai seseorang yang sering berlarian seperti anak SD, yang takut pada jarum suntik sekecil itu sampai melakukan hal konyol dengan memeluk erat perawat pria di sampingnya. Memaksaku untuk berkomentar sinis padanya karena melihat kelakuan kekanakannya. Entah dia bodoh atau gimana?

Aku tak mengerti, yang jelas tampak aneh di mataku. Hal tak masuk akal, takut berlebihan pada sesuatu yang biasa saja. Tetapi responku malah justru tersenyum mendengar jawabannya. Aku sering melihatnya menatap kosong ke arahku. Tanpa sadar aku pun tertular untuk menatapnya.

Dia yang polos menanyakan namaku yang tak pernah kugunakan. Yang tetap tertawa bahkan ketika aku mulai merasa kesal. Tapi melihat kepolosannya meminta maaf padaku, aku tetap tak bisa marah padanya.

Aku suka menggoda dirinya dengan melambaikan tangan padanya. Aku senang melihat ekspresi malu-malu dari dirinya. Walaupun sebenarnya aku menyukai temannya, tapi aku senang saja menggodanya. Entah aku mempermainkan dirinya atau hanya mempermainkan diriku sendiri.

Ketika temanku berkata menyukainya, entah mengapa aku merasa tak rela. Apalagi aku tahu temanku tak benar-benar serius dengannya. Rasanya ingin melindunginya, walau tak tahu caranya. Dia bukan seperti kebanyakan cewek yang aku kenal. Seharusnya dia merasa terbang melayang dengan rayuan temanku yang hampir tiap saat merayunya. Tapi dia cuek saja. Aku sedikit merasa lega.

Rasanya anak-anak SMP itu memang suka mengerjai aku. Entah siapa saja yang menerorku. Tapi hanya dia yang masih memanggilku dengan tak lazim. Mungkin dia berpikir aku tak akan tahu. Padahal dari awal aku tahu cuma dia yang bangga sama nama depanku. Eits, bukan bangga, suka memanggil dengan nama itu. Menerornya menjadi semakin menyenangkan.

Mengamati mereka saat olahraga menjadi kebiasaan kami. Tunggu, aku bukan mesum, cuma memang menyenangkan saja melihat anak-anak itu. Terlebih ketika aku melihatnya grogi kuamati, benar-benar hiburan baru bagiku.

Ketika itu, temanku banyak yang berkenalan dengan Nancy. Si cantik penghuni kelas seberang. Aku kurang berminat, aku iseng menanyakan si tomboy. Aku menitipkan salam untuk cewek yang membuatku kagum itu. Rupanya semua bersemangat menyampaikan salamku.

Siang itu aku kembali bertemu dengan dia, si lucu target keusilanku. Entah mengapa hari itu ia terlihat tak bersemangat. Sepertinya dia sudah punya pacar, mungkin ada masalah dengan pacarnya. Aku menyapanya, tapi ia terlihat sedih. Dan aku? Tiba-tiba aku tertular aura sedihannya.

Lama aku tak bertemu dengannya. Ya jelaslah, liburan akhir tahun. Tapi aku kehilangan dirinya. Sekarang justru aku penasaran dengan tingkahnya. Ia sering meneleponku, hanya mengajak ribut tak jelas. Esoknya aku melihatnya tersenyum penuh makna, yang aku tak tahu maknanya. Dia bersama pacarnya yang mengamatiku. Lumayan juga pacarnya, setidaknya seleranya bagus juga.

Ternyata ia menawarkan bantuan untuk berkenalan dengan Alvina. Cewek yang menarik perhatian bagiku karena penampilan ekstrimnya. Aku pun memberanikan diri menanyakan nomor teleponnya. Dan ternyata, cowok yang sering aku jumpai bersamanya bukanlah pacarnya. Aku merasa sedikit aneh di hatiku, aku lega sekaligus senang dengan kabar itu.

Aku mencoba menelepon dirinya, Papanya yang mengangkat. Entah mengapa aku sedikit grogi. Aku mencari bahan obrolan hanya untuk mendengarkan suaranya. Aku bertanya tentang Alvina, yang aku yakin dia ga terlalu kenal. Ia menjelaskan sesuatu, ada hal yang ia sembunyikan. Aku menangkap dari nada suaranya suatu perasaan takut kehilangan.

Mulai hari itu, aku semakin suka mengganggunya. Aku suka menarik tas ranselnya, menggodanya sambil terus mengamati ekspresi wajahnya yang kadang kesal, kadang tersenyum malu-malu. Aku menunjukkan Jeany padanya. Aku pelan-pelan mulai percaya padanya, aku juga belajar terbuka padanya. Tetapi dia mulai menghindari aku, aku tak mengerti kesalahanku.

Aku merasa dia menyukaiku dan seharusnya aku menjauhinya ketika itu. Tetapi sayang, aku justru maju mendekat padanya. Makin lama aku justru merasa tak sanggup kehilangan dirinya. Perasaan aneh ini muncul tiba-tiba.

Aku sedikit malu pada keluargaku. Tiap dia menelepon, mamaku, nenekku, bahkan pembantuku tersenyum penuh arti. Bahkan ketika liburan tiba, kakakku dan adikku penasaran apa saja yang aku bicarakan dengannya.

Bukan tanpa alasan, pembantu kami sering menceritakan kegiatanku akhir-akhir ini. Semua menganggap aku pacaran dengannya. Mungkin ekspresiku terlihat bahagia ketika ngobrol dengannya.

Lihat selengkapnya