Beberapa saat setelah aku putus dengan Mario, sesekali aku teringat pada Luka. Mungkin memang aku masih menyukai dirinya atau mungkin hanya sekedar penasaran padanya? Dulu aku mungkin sibuk dengan orang di sekitarku sehingga menguburnya dalam-dalam. Aku mengunci rapat ruangan di hatiku agar rasa cinta pada Luka tak kembali keluar. Bagaimana pun sulit bagi kami melanjutkan segalanya.
Luka bukan orang yang serius padaku, jelas aku tahu. Lagi pula banyak orang yang bisa menggantikanku di sekelilingnya. Banyak cinta yang diterimanya. Ia juga berkali-kali mengatakan padaku bahwa aku bukan siapa-siapa baginya.
Entah mengapa aku begitu bodoh memikirkannya hanya karena sebuah pertemuan itu. Ataukah karena sekarang aku kesepian sehingga teringat padanya lagi? Iseng-iseng aku memata-matai akun Luka kembali. Aku melihat statusnya masih single, belum berubah. Tapi aku juga tak pernah mengganti status di media sosial. Bahkan ketika aku berpacaran dengan Mario.
Aku sedang menganggur ketika malam Valentine tiba. Menuntunku menulis status aneh. Lagu milik Rossa berjudul 'Ku menunggu'.
"Haruskah kubilang cinta. Hati senang namun bimbang. Ada cemburu juga rindu. Dan kau sudah ada yang punya. Kutetap menunggu."
Tak ada komentar di status gilaku, tetangga kosku berkomentar langsung, "Woi woi, Indah gila! Ngapain kamu?" teriak Kak Tina.
"Pengen karaokean." teriakku.
"Woi, kakak-kakak kos jomblowati, ga usah saling teriak-teriak gitu." teriak Eli.
"Yuk karaokean!" ajak Kak Tina.
Akhirnya malam itu, kami malah pergi karaokean. Kak Tina mengajak teman-temannya. Eli dan aku tak ada ide mengajak siapa pun.
Luka mengirimkan pesan di Berry hitamku, "Apaan sih, Ndah? Kalo orang sudah punya pacar ya jangan diganggu dong!" tulisnya.
"Eh, ada dirimu di sini. Kan hanya bikin status." balasku.
"Sama aja, aku cuma mengingatkanmu."
"Serius amat, aku ini mengajak karaoke, bukan nungguin orang putus."
"Apa kamu habis diputus? Trus sekarang stress diputuskan?"
"Ga dong. Aku stress tapi bukan karena putus kok!"
Tak ada balasan lagi. Aku tinggalkan benda kotak itu untuk berkaraoke. Aku cukup bersenang-senang dengan kegiatan karaoke menguras kantong itu. Sebenarnya aku memang hobi menyanyi. Temanku banyak yang memuji suaraku, bahkan Arnold suka mendengarkan aku bernyanyi kala itu.
Seminggu berlalu, hanya karena sapaan singkat dari Luka saat itu membuatku kembali penasaran padanya. Penasaran tipe ceweknya itu seperti apa. Akhirnya aku beranikan menanyainya lewat messenger populer kala itu saat aku lihat dia online.
"Kak, lagi ngapain?" tanyaku.
"Chatting." balasnya.
Melihat responnya menyebalkan, aku malas melanjutkan. Aku diamkan saja setelahnya. Melanjutkan obrolan gombal dengan Kenny, teman baru di kantor yang setengah gila tapi seru.
"Ada apa? Kok hilang." tanyanya lagi setelah beberapa saat.
"Gapapa, bosan aja."
"Bosan kok cari aku. Kangen ya?" candanya.
"Iya." balasku setengah serius.
"Serius ini, ngapain cari aku?"
"Gapapa beneran kok, mau menyapa aja, apa ga boleh? Ada yang marah ya?"
"Aneh!"
"Ngecek aja. Apa benar dimarahi?"
"Siapa?"
"Mana aku tahu?"
"Kalo sayang ya ga mungkin marah dong!"
Aku hentikan obrolan kami. Aku tak mau disebut pengganggu pacar orang. Sebenarnya aku berharap dia masih sendiri. Entah jenis perasaan apa ini? Aku sedikit egois, aku tak mau dia dimiliki siapa pun. Meskipun kami tak mungkin bersama, hanya menyapanya bisa membuatku bahagia.
"Heh, orang ga jelas! Habis menyapa trus ditinggal menghilang."
"Galau."
"Galau kenapa?"
"Nanti pacarmu cemburu."
"Oh, ga kok."
Berarti dia memang sudah punya pacar. Hmm, sedikit kehilangan, tapi memang sudah sewajarnya. Cewek yang terakhir kulihat itu benar-benar sayang padanya. Tak adil juga kalo disakiti, aku paham rasa sakitnya.
"Trus, ngapain menyapaku?" tanyanya lagi. Apa pula membuatnya mengejar jawabanku seperti ini? Apa ingin aku mengaku sedang memikirkannya?
"Sudah jadian sama Ineke?" tanyaku akhirnya.
"Belum."
"Tipemu itu seperti apa sih, jadi penasaran."
"Kenapa kok tanya gitu?"
"Penasaran aja."
"Kayak kamu. Hayo gimana?"
"Preeeeetttt!!!!" balasku walaupun sambil tersipu-sipu di depan Kenny dan Kak Anna.
"Kentutmu bau sampai sini."
"Biarin, hukuman buat orang tukang gombal."
"Salahmu ga mau jelaskan alasanmu bertanya."
"Sudah kukatakan, penasaran aja. Jadi, gimana, Kak?"
"Hmm, ya rahasia."
"Aish, sialan!"
Ia hanya membalasku dengan emotikon penuh penghinaan. Merayakan keberhasilannya membuatku kesal. Aku pun menyudahi pembicaraan tak ada hasil itu karena teguran Kenny, "Heh, diajak nongkrong malah sibuk chatting sama orang di dunia maya. Ga asyik ah!"
"Ye, urusan penting ini." balasku.
Sampai satu jam kemudian, "Beneran ingin tahu kah?" tanya Luka.
"Ga juga sih, lagi stress aja ingin gangguin orang."
"Kenapa sih? Ada masalah sama pacarmu?"
"Ga ada." jawabku berbohong. Jelas saja aku sudah putus dengan Mario.
"Andaikata kita berada dalam dongeng, bisakah aku menjadi malaikat yang merentangkan sayap untuk melindungimu?" tulisnya yamg membuatku berbunga-bunga sejenak.
"Wuish, kamu kok puitis gitu?" balasku.
"Itu latihan bikin puisi, lagi belajar merayu nih. Kira-kira mempan ga kalo aku bilang gitu ke cewek?" tanyanya.
"Mempan aja, tergantung ceweknya peka atau mati rasa." jawabku.
"Hari ini aku lagi ga bisa tidur. Kamu mendadak tanya hal aneh. Perasaanku jadi ga enak."