Luka Ini Indah

L
Chapter #22

22. Pengakuan Luka

Setelah pertemuan penuh kejutan kami saat itu, aku ingin memperjelas tentang perasaan yang aku miliki. Setidaknya yang pernah aku miliki dengannya. Aku memberanikan diri menggandeng tangannya ketika itu untuk melihat seberapa kuatkah perasaan itu? Tapi dia tak terganggu dengan hal itu.

Tangan mungil miliknya yang dingin, terasa lembut untuk kugenggam. Inilah kali pertama aku menggandeng seorang wanita. Sebenarnya siapa yang lebih grogi kala itu, aku atau dia? Mungkin ia bukan grogi, hanya merasa risih padaku karena di hatinya telah terisi seseorang dan aku menggandengnya ala playboy.

Ia selalu berkata aku adalah seorang playboy. Seseorang yang tak serius, suka melarikan diri, lengkap sekali citra negatif yang melekat padaku. Aku bukan ga serius. Aku ga berani mencintai dirinya, ga berani mendekatinya. Apalagi menyatakan perasaan karena aku takut ga bisa membahagiakannya.

Mencintai seseorang membutuhkan banyak keberanian. Itu adalah sesuatu yang tak kupunya. Aku sedih melupakan kisah kami sebenarnya. Tapi kukira itu yang terbaik. Aku mungkin mencintainya atau hanya sekedar butuh pengakuan darinya, entahlah?

Indah adalah cinta yang paling ingin kusimpan. Ketulusan dan keberanian dalam dirinya membuatku merasa beruntung bertemu dengannya. Aku mungkin sibuk berkhayal bahwa dia selalu di sana menungguku. Aku juga terlalu yakin sepanjang jalannya hanya menoleh padaku. Tapi itu hanya pemikiranku. Toh dia tak pernah kembali lagi.

Aku dan dirinya selalu bertemu di waktu yang tak tepat. Ia menceritakan sebuah trauma di masa lalunya. Ketika seseorang meninggalkan dirinya yang tak paham perasaannya sendiri. Seseorang yang memberinya sebuah pertanyaan ambigu. Seseorang yang membuatnya mengalami penyesalan dan kehilangan. Aku tak berharap seseorang itu adalah aku, walaupun aku merasa itu adalah aku.

Dia berkata terlalu sibuk mengejar mimpi. Aku rasa kami sama, berlarian mengejar mimpi yang entah apa. Mungkin kami terlalu berharap akan bertemu seseorang yang lebih baik, tanpa sadar kami telah membuang hal terbaik yang diberikan pada kami.

Aku mengunjunginya saat menghadiri pernikahan Sherly. Ia terus bertanya tentang tipe cewekku, bahkan meminta foto pengantin padaku. Aku tak paham apa maksudnya. Yang jelas, aku tahu Sherly pernah menjadi rekan kerjanya. Kisah antara aku dan Sherly juga terlalu rumit untuk kuceritakan pada Indah.

Aku dan Sherly bertemu saat malam Natal beberapa tahun lalu. Tanpa sadar ketika berkenalan, aku menyebut nama Indah dan Sherly menceritakan segala yang diketahuinya tentang Indah. Ketika itu aku yakin Indah tak lagi mengingatku.

Sambil melangkah melupakannya, aku justru semakin tertarik berkenalan dengan Sherly. Sebelum akhirnya aku harus patah hati karena dia sudah punya pacar di luar kota. Tingkah Sherly yang kelewat mesra denganku membuat kesalahpahaman di antara kami. Seolah berdiri di dua perahu, ia tak juga melepaskanku. Sherly jelas takkan memilihku karena kekasihnya jauh lebih baik dariku. Kaya, tampan dan suskes, idaman para wanita. Daripada menjadi kekasih bayangan, aku memilih menjauh darinya.

Lama tak berkabar, Sherly mengirimiku undangan pernikahannya. Sebenarnya aku setuju dengan Indah, tak ingin datang karena ga ada yang kukenal di sana. Nyatanya, aku tetap datang karena ingin menemui Indah. Memang alasan yang aneh.

Sebenarnya aku takut membuatnya menyesal lagi, tapi aku masih menunggunya. Jika ia benar-benar menemukan kebahagiaannya, meski bukan bersamaku, aku baru akan melepaskannya. Sayangnya, aku tak bisa mengatakan padanya. Kami seperti menemui jalan buntu. Masing-masing telah memiliki dunia dan kehidupan sendiri. Waktu telah mengubah kami.

Apa arti hubungan ini di hidupnya? Kapan kami bisa saling jujur, bahkan hanya pada diri kami sendiri? Aku bukannya tak mau membicarakan alasan aku belum menemukan seseorang. Aku hanya tak mencari seseorang itu.

Saat keluargaku menanyakan hubunganku dengannya kala itu, mereka tak percaya kami hanya sebatas saling peduli. Mungkin mereka benar, kami memang saling mencintai saat itu di usia yang terlalu muda untuk memahami arti cinta dan kehilangan.

Kami hanya saling mengabaikan perasaan dalam hati kami, tanpa mencoba mengonfirmasi pertanyaan itu. Aku memilih tak bersama siapapun. Semua salahku, terlalu angkuh. Keangkuhan itu sebenarnya cuma topeng untuk menutupi diriku yang sesungguhnya masih peduli padanya.

Aku bertanya-tanya dalam hatiku, sampai sebuah pesan masuk ke messenger milikku, "Kak, lagi ngapain?" tulis Indah di sana.

"Lagi mikir." balasku.

"Yah, ga seru. Malas ah!"

"Mau ngapain sih?"

"Mau merepotkanmu."

"Ah, malas deh."

"Tolong dong pesankan hotel di sana! Jangan yang mahal, jangan yang horor dan jangan yang biasa dipakai gituan!" tulisnya membuatku tertawa.

"Gituan itu maksudnya apa?"

"Ya gitulah, masa ga tahu? Harus dijelaskan dengan vulgar?"

"Iya dong, apa pula maksudnya gituan? Lagi pula mana aku tahu di dalam kamar para tamu berbuat apa dan dengan siapanya? Aneh-aneh aja kamu ini!"

"Ya yang ga terkenal sering dipakai buat kencan satu malam dong!"

"Apa pikirmu aku tahu tempat mana yang dipakai atau ga?"

"Ih, cerewetnya! Cariin dong!"

"Yang bisa dipakai kencan satu malam?"

"Aish, sialan! Bukan, yang reputasinya bagus, harga terjangkau dan ga horor."

"Buat apa sih?"

"Buat menginap dong, masa buat kerja?"

"Yah kali aja kerja sampingan. Heh, kerja yang halal lho ya!"

"Aish, sialan beneran kamu!"

"Buat kapan? Ngapain menginap segala?"

Lihat selengkapnya