Aku datang ke kota tempat Luka tinggal, mendatangi undangan pernikahan temanku. Memang begitu banyak undangan sekarang, dan aku masih sendiri. Lama-lama pasti ditanya pertanyaan klasik 'kapan nyusul?'
Aku sudah meminta tolong pada Luka untuk memesankan hotel dan menitipkannya pada Philip. Pagi itu, aku bersama Melisa sampai di stasiun di kota itu. Kami sengaja mengambil perjalanan subuh agat bisa mengikuti acara pemberkatan nikah sahabat dekat kami ketika kuliah.
Membawa barang bawaan kami ke gereja demi melihat momen sahabat kami itu mengucap janji suci. Entah mengapa suasana sakral penuh haru itu membuatku dan Melisa ikut meneteskan air mata.
"Mana temanmu yang katanya mau jemput, Ndah?" tanya Melisa.
"Tunggulah dengan sabar, namanya juga minta tolong." jawabku.
Aku tak sabaran, Melisa lebih tak sabaran dariku. Setelah acara pemberkatan nikah itu, kami masih menunggu di halaman gereja. Bahkan pengantin sudah meninggalkan lokasi.
"Hoi, Ndah! Di sini." Philip melambaikan tangan padaku. Di sebelahnya ada seorang cewek, pacar barunya. Aku pangling dengan dirinya yang tak sekacau dulu, meskipun tetap tak terlalu rapi. Setidaknya rambutnya sekarang lebih tertata, tercukur rapi.
"Heh, tumben ingat cukur rambut segala?" candaku.
"Hai, Indah. Kamu mantannya Philip ya katanya?" sapa cewek yang duduk di samping Philip itu.
"Bukan, mantannya punya nama yang memang sama dengan namaku." jawabku. Mantan Philip yang terakhir memang bernama Indah, mereka sudah hampir menikah tapi batal.
"Oooh, maaf, aku kira kamu. Jarang soalnya Philip ini perhatian sama teman. Cuek banget orangnya." kata Febe.
"Santai aja. Gapapa, berarti aman, Kak. Cuma perhatian sama kamu. Oya, ini Melisa, temanku." jawabku. Melisa tersenyum pada mereka berdua.
"Biasa nih si Febe, asal jeplak." kata Philip.
"Hush, sama pacar seenaknya ngomong nih!" kataku.
"Gapapa, aku kebal kok." kata Febe sambil tersenyum. Kuamati Febe memang lebih ramah daripada mantan Philip sebelumnya. Kurasa aku lebih cocok dengannya.
"Oya, makasih nih udah menjemput kami." kataku berbasa-basi.
"Santai saja, mumpung aku di sini. Nanti sore aku sudah pergi lagi, ada urusan kerjaan." jawabnya. "Oya, nih vouchermu. Temanmu minggu lalu ke rumahku, antar voucher. Teman apa teman, hayo?" lanjutnya.
"Teman. Kenapa memang?" tanyaku.
"Kok tumben minta tolongnya sama teman cowok. Biasanya kan sama teman cewek."
"Karena teman cewekku yang satu udah nikah, satu sibuk kerja, satunya mau nikah bulan depan. Kamu juga sering hilang. Ya udah minta tolong yang di sini terus." jawabku.
"Setahuku dia pas antar itu katanya habis dari luar kota. Hayo, ada apa tuh?" kata Philip menggodaku.
"Halah, biarin." jawabku.
"Cakep kok, Ndah. Boleh deh dikejar!"
"Ogah! Masa cewek mengejar cowok?"
"Bukan cewek mengejar cowok, tapi cewek mengejar cinta. Gapapa kok, sah-sah aja. Apa salahnya kamu tunjukkan padanya?" kata Philip sok menasihatiku.
"Aku ga kuat mental mengejar orang seperti dia." jawabku.
"Mau cari yang kayak apa lagi sih, Ndah? Kalo iya katakan iya, kalo ga katakan ga, selebihnya berasal dari si jahat lho, hayo."
"Entah, aku juga ga tahu." jawabku asal.
"Sepertinya cowok itu baik juga. Pulang kerja, habis dari luar kota kan capek. Harus mengantarkan titipanmu pula. Dia sempatkan mencarikan, membelikan dan mengantarkan. Artinya dia bersedia kamu repotin, baik lho." kata Philip lagi.
"Aih, ga usah promosi. Dia itu sudah laku keras, ga usah ditawarkan padaku. Ada juga aku bakal ditolak sama dia kalo nekad menyatakan."
"Begini ini cewek. Mau tapi malu. Sukanya memancing, begitu ditanggapi malah menghilang." kata Philip lagi.
"Ya salah cowoknya ga pintar membaca isyarat." kata Febe.
"Nanti terlalu berinisiatif, ternyata terjebak di zona pertemanan. Kan cowok juga punya perasaan, Yang." balas Philip.
Sampai di hotel, aku dan Melisa turun di lobby. Setelah check in, kami menuju kamar.
"Siapa sih orang-orang yang disebut tadi, Ndah?" tanya Melisa.
"Philip yang tadi, itu sudah kayak saudara buat aku. Dari awal kami kenalan sampai sekarang aku hobi merepotkan dirinya." jawabku.