Aku yang meminta Luka menjemputku, tapi ketika kereta sudah benar-benar berhenti mendadak aku tak berniat turun. Orang di sebelahku, teman seperjalananku bahkan sampai mengingatkan, "Mbak, sudah sampai lho."
"Iya, Bu." balasku. Jelas aku tahu sudah sampai, tapi aku ingin kabur, kembali lagi.
Kutarik tas troliku dengan langkah gontai. Haruskah aku menemuinya? Salahkah aku menghubunginya lagi? Benarlah dugaanku, sampai di depan pintu keluar, aku melihatnya bersama seorang wanita. Bukan Ineke yang pernah aku lihat rasanya.
Aku rasa aku tak akan pernah mengucapkan perpisahan dengan benar. Sekarang aku cukup tahu, dia memang serius ketika mengatakan padaku sudah menjadi milik orang lain. Saat itu ia membohongiku untuk mempermainkan perasaanku.
Luka melambaikan tangan ke arahku. Tentu saja aku sudah melihat dari tadi, hanya saja aku menyibukkan diri menoleh kanan-kiri. Penampilanku jika dibandingkan cewek yang berdiri di belakangnya, jelas jauh. Jauh lebih keren dirinya maksudku.
Jelas juga bagiku, seorang sepertinya mana mungkin akan memilih seseorang seperti aku. Aku yang jauh dari sentuhan alat make up, aku yang ga pernah mengikuti trend fashion terbaru, aku yang tak mengerti dunia modern. Tapi yang keterlaluan, mengapa juga harus sekarang dikenalkan? Aku tahu, mungkin agar aku sadar tak perlu mengharap apa-apa.
Tunggu, bukankah aku sudah pernah bilang, jangan terlalu perhatian padaku daripada aku salah paham? Aku sudah memberi peringatan tegas deh padanya. Ah, sudahlah, semua sudah terjadi.
Cewek di sebelahnya mengamatiku, entah mengapa juga pakai mengamatiku. Tenang aja, aku ga hobi merebut pacar orang dan ga mungkin juga pacarnya tertarik padaku. Aku menyeret si Luka sambil bersiap mengomel, "Nyonyamu serem. Kok ga kamu kenalkan daripada aku dipelototi gitu? Hmm, tapi bagus juga seleramu!" kataku sambil mengacungkan jempol.
Dia melirik bingung padaku, "Maksudmu?" tanyanya.
"Itu lho yang bareng sama kamu. Hayo, masa yang ini ga berstatus juga?" tanyaku.
"Ah, kamu kayak ga tahu aja. Nanti aja kenalan sendiri." jawabnya kemudian.
Enak aja kenalan sendiri! Kalo ga diajak bicara ya diam aja dong. Batinku saat itu. Lalu aku membuka pintu belakang sambil mengangkat tasku.
"Trus kalian semua di belakang gitu?" tanyanya pada kami berdua.
"Kamu aja di depan, Kak." kata cewek itu.
"Kamu aja deh aku jaga barangku. Lagian aku turun duluan kan nanti." tolakku. Enak aja dipanggil 'Kak'. Bukannya lebih tua sana ya? Aish, kesal juga!
"Aku turun duluan kok, Kak, baru antar kamu." katanya.
Daripada berdebat kelamaan aku turuti saja kata-katanya. Berputar ke sisi samping mobil itu. Aku mengeluarkan Berry hitam yang berdering dengan lagu Nonsense milik Younha yang menjadi favoritku karena mendekati kisahku.
"Astaga, ketinggalan, aku lupa bawa. Kok baru diingatkan sih? Masa aku harus balik lagi? Ya sudahlah dimakan ramai-ramai aja di sana! Sisakan sepotong buat aku! Jangan lupa dimasukkan kulkas aja ya, Sayang!" teriakku pada Eli tentang pesanan kueku yang tertinggal di meja.
"Ngomong kalem dikit ga bisa ya? Bikin kaget semua orang." keluh Luka padaku. "Lagi pula ga perlu teriak juga pasti terdengar. Itu telinga temanmu bisa jebol dengar suaramu kayak gitu." lanjutnya.
"Orangnya aja ga protes kok, cerewet banget!" balasku.
"Aku pernah mengalami ketulian akibat suaramu yang volumenya super lebay itu! Makanya aku kasihan sama temanmu tadi. Ya kan, Beb, mengganggu kan?" tanyanya pada pacar barunya.
"Ga ikutan deh, itu masalah kalian." jawab si Bebeb itu.
"Bawel ya pacarmu ini, yang aku ajak ngobrol aja biasa. Belum tahu aja kalo aku ini bersuara merdu." ucapku asal menutupi kekesalanku pada pasangan baru yang bermesraan di depanku.
"Eh, Kak, jangan salah paham, aku bukan pacarnya." jawab si Bebeb.
"Ya siapalah, terserah istilah kalian." jawabku lagi. Luka menertawakanku. Aku suka melihat matanya menyipit tertawa. Ah, apa pula aku ini. Pacar orang masih juga kulirik? I must be crazy!
Sampai di sebuah rumah, si Bebeb turun, entah siapalah namanya. Mau aja tuh dipanggil demikian.
"Duluan ya, Kak. Makasih udah diantarkan." katanya.
Setelah berbasa-basi, tersenyum kaku padanya. Aku bertanya pada Luka, "Aku sama dia tuaan siapa sih? Enak aja dipanggil 'kakak' segala."
"Sadarlah kalo udah tua, Mbak! Kalo pingsan terlalu lama nanti kuberi nafas bantuan lho!" katanya seenaknya sendiri.
"Ah, aku ga merasa tua kok. Aku juga ga mau dikasih nafas bantuan sama playboy gini!"
"Dia paling baru lulus SMA. Cuma dandanannya aja jadi kelihatan lebih tua." jawabnya.
"Masa? Ya dinasihati jangan dandan begitu dong!"
"Terserah dia dong. Ngapain aku kasih saran segala?"
"Iya sih, terimalah dia apa adanya, tapi memberi saran juga ga salah. Asal mana?"
"Waduh, ga ingat."
"Gimana sih? Kumpulkan data yang lengkap dong! Ultahnya juga ga tahu, asalnya lupa, pacar apaan sih?"
"Apa sih, Ndah? Aku ini ga punya pacar!" kata Luka padaku sepeninggal si Bebeb.
"Ih, ga mau mengaku."
"Susahnya membuatmu percaya."
"Mau punya atau ga, aku bukan mamamu kok. Ga perlu restuku kan?" jawabku.
"Minta restu dong, Mama." katanya sambil menyalami tanganku kemudian menciumnya persis seperti orang meminta restu.
Tak tahan untuk tidak memukulnya. Entah karena kesal atau senang, tak tahulah.
"Hih, apa-apaan sih, kurang ajar!" kataku sambil memukulnya.
"Aduh, sakit juga. Tapi wangi juga tanganmu." katanya lagi.
Aku mulai menyerah, "Please deh."
Kami terdiam beberapa saat, aku mengutak-atik ponselku mencari kesibukan. Kulirik sepintas Luka tersenyum sendiri. Gila mungkin dia.
"Itu tadi temanku yang biasa bantu koordinasi acara. Ga ada apa-apa juga."
"Ga peduli." jawabku ketus.
"Daripada pacaran lebih menyenangkan mengganggumu deh."
"Astaga, please deh, aku bukan pelawak, badut atau semacamnya." kataku mulai sedikit emosi.
"Siapa juga menganggapmu gitu? Itu tadi namanya memang Beby. Bukan aku asal panggil Bab-beb-bab-beb ke orang."
"Ah, gayamu. Cantik gitu masih dilewati? Normalkah?"
"Normal dong, mau dibuktikan?"
"Buktikan dong! Ngomong doang."
"Ya baiklah, tunggu sampai hotel ya. Masa mau di mobil? Eh, jangan, ini mobil kantor. Susah membersihkannya nanti."
"Heh, mesum!" kataku sambil memukulnya lagi. Dia tak berhenti tertawa. Entah mengapa makin membuatku terpesona.
"Aku penasaran tipemu itu kayak apa? Masa kayak tadi juga ga masuk?"
"Ga masuk. Tipeku ya jelas yang cantik, kalem, modis, bisa dandan. Pokoknya ga malu-maluin kalo diajak jalan."
"Tadi itu masuk, Oon. Cantik, modis, bisa dandan. Ga malu deh, malah dianya yang malu ajak kamu jalan."
"Ya makanya, ga kupilih. Kan malu jalan sama aku."
Kepalaku yang sejak tadi berdenyut, semakin menjadi. Seperti biasanya, migrainku kambuh. Padahal di kereta aku sudah meminum sebutir Parasetamol.
"Masih jauh atau sudah hampir sampai?" tanyaku.
"Depan belok kiri lurus sebentar udah sampai. Astaga, ga ingat?"
"Iya, ga ingat! Udah diam deh, lagi pusing malas ribut." kataku.
"Kapok." jawabnya. Memang harusnya begini, berlakulah kejam tak usah sok perhatian. Kalo gitu aku mungkin bisa cepat lupa.
Sampai di tempat parkir, aku turun. Luka membawakan tasku dan kurebut paksa tanpa bicara. Kepalaku benar-benar sakit.
"Heh, tunggu dong!" ia mengejarku dan merebut kembali tasku. Ia mengikutiku sampai ke kamar. Sebenarnya aku takut berduaan dengannya, "Ngapain sih?" tanyaku.
"Membantumu. Kenapa? Takut berduaan denganku?"