Pukul 06:00 aku memeriksa ponselku. Tak terlihat tanda-tanda dia akan datang. Semalam bahkan dia juga tak memberi kabar apa pun padaku. Aku, si bodoh yang menangisinya semalam sampai mataku bengkak. Sekarang, dengan kebodohan yang sama, aku menungguinya mengirim pesan. Dan tak ada apa pun kudapati.
"Aku di lobby ya."
Pesan itu masuk satu jam kemudian. Astaga, aku belum bersiap-siap karena masih mengompres mata. Lagi pula ini masih jam berapa?
"Aduh, aku mau tidur." balasku akhirnya.
"Astaga! Masih tidur? Beginikah cewek? Turun! Aku sudah terlanjur sampai sini." balasnya.
Aku berkaca melihat mataku tak terlalu bengkak. Anggap saja aku kurang tidur. Aku pun turun juga menemuinya.
"Belum bersiap-siap?" tanyanya kaget dengan penampilanku.
"Sudah kubilang aku ga mau pergi."
"Pemalas! Pasti temanmu kemarin akan menyesal naksir orang semalas ini. Yang rajin, Ndah, biar cepat nikah!"
"Simpan nasihatnya buat dirimu sendiri. Jangan kebanyakan bermain cinta!" balasku cuek.
Tiba-tiba ia menyeretku menuju lift. Anehnya aku tak melawan, malah menekan tombol menuju kamarku. Aku juga tak berpikir apa-apa saat itu. Padahal bisa saja dia mencelakaiku.
"Udah buruan mandi sana!" katanya.
"Ogah." kataku menuju kursi sambil duduk membuat kopi.
"Lho ayo, kok malah duduk santai."
"Bikin kopi, sudah kubilang aku ga mau pergi!" jawabku sambil menyalakan teko pemanas.
Luka berdiri ke arahku, menarikku dan memaksaku berdiri, "Ayo cepat! Apa mau kumandikan?" katanya.
"Hih! Pikirmu semua cewek mau kamu ajak bermain-main?" jawabku sambil duduk kembali.
"Ayolah, Ndah! Aku lapar nih!"
"Ini masih pukul 07:00, kamu bilang datang pukul 08:00. Lagi pula ga ada kabar, kukira batal. Bisa ga sih ga seenaknya sendiri?"
"Baiklah, kutunggu." jawabnya menyerah sambil duduk di tepi ranjang dan menyalakan televisi. Aku mengaduk-aduk kopiku dan meminumnya sesendok demi sesendok.
"Kapan selesainya kalo gitu caramu? Ayo bangun! Kalo ga, kumandikan beneran lho kamu." katanya.
Aku tetap cuek, kurasa ia takkan melakukannya padaku. Beberapa saat kemudian ia berdiri menghampiri kursiku, aku mulai khawatir, "Iya, iya, Kak. Aku mandi sendiri!" jawabku sambil berlari menuju kamar mandi semi transparan itu.
Tak lama kemudian aku keluar lagi, "Ngapain lagi?" bentaknya.
"Ambil baju. Keluar gih! Aku ga nyaman dengan kamar mandinya." kataku akhirnya.
"Aku ga mengintip. Di dalam ada tirai, lagi pula ga kelihatan apa-apa kok. Percayalah!" jawabnya.
"Apa sih susahnya tunggu di bawah? Bawa deh kartunya! Taruh kartu lain di sana." kataku.
"Baiklah, jangan lama-lama! Jangan ngomel kalo aku balik dan kamu belum selesai! Itu salahmu sendiri terlalu lambat." jawabnya sambil keluar.
Gimana aku bisa percaya dia mau mengintip atau ga? Gimana juga aku bisa percaya dia takkan melakukan hal berbahaya? Aku sedikit was-was sehingga mandi dengan terburu-buru.
Sehabis mandi, aku dengan santai memakai sunblock dan bedak tanpa memperhatikan kaca dan Luka kembali.
"Bisa ya dandan tanpa melihat kaca? Takut lihat wajah sendiri?" komentar Luka.
"Bisa gini lho, profesional kok." jawabku asal sambil memasukkan perlengkapanku.
"Ga rata ini lho." tiba-tiba ia bediri di hadapanku sambil menunjuk mukaku.
Aku usap-usap asal saja meratakan bedak. "Gini juga rata sendiri."
"Makanya mengaca gitu kenapa? Apa benar takut lihat wajah sendiri?" oloknya lagi.
Aku tak menjawab, tapi aku tak bisa menahan air mata yang keluar karena emosi tak tertahan, "Keterlaluan kamu! Sejelek apa pun aku bersyukur semua organ di wajahku masih berfungsi dengan baik. Otakku juga masih waras. Kualat kamu seenaknya sendiri padaku!"
"Bercanda, Ndah, jangan menangis dong! Maaf deh."
"Kamu itu orang paling ga jelas yang aku pernah temukan." kataku.
"Biarin, tapi bikin kangen kan?"
"Tolong, berhenti ngomong seenaknya sendiri!" kataku.
"Ekspresimu kalo marah itu lucu soalnya." katanya masih saja tersenyum.
"Dasar makhluk ga berperasaan!" jawabku sambil berjalan keluar. Ia mengikutiku tanpa berbicara.
"Semoga ga ada yang melihat kita di sini." katanya.
"Halah, bukannya biasa? Ngapain takut?"
"Jelas takut, citraku bisa buruk. Kamu sih enak di sana, ga mungkin ketemu siapa-siapa."
"Aneh. Biasa aja kali. Aku juga sering kok di hotel sama teman-teman. Kadang malah sekamar dipakai bersama-sama. Gapapa tuh. Tergantung orangnya. Temanku ke Singapore foto prewed malah sekamar sama calonnya. Gapapa juga." jawabku.
"Gitu ya pergaulanmu sekarang? Kalo ngapa-ngapain juga masa cerita sama kamu?"
Aku tak menanggapi, biarkan saja dia berasumsi sesukanya. Memang enak sibuk berasumsi sendiri?
Di tempat makan itu aku tak menyangka akan bertemu Sugik. Mantan kakak kelask, ia menyapaku, "Indah ya?"
"Eh,iya. Gimana kabarmu?" tanyaku.
"Baik. Ke sini sama siapa?"
"Sendirian. Kerja apa sekarang?"
"Usaha sendiri, kamu?"
"Kerja ikut orang."
"Balik sini aja, abangmu masih menunggu di sini lho." kata Sugik.
"Abang siapa?" tanyaku
"Aku kan abangmu." jawabnya, tak lama kemudian si Luka datang, "Sudah pesan?" tanyanya padaku.
"Belum." jawabku.
"Lha ngapain aja dari tadi? Astaga." keluhnya.
"Lho, sama kamu, Kak Alex? Tadi katanya sendiri." tanya Sugik.
"Lho, kamu kenal juga? Sempitnya dunia ini." kata Luka. Aku langsung kabur mengantri pesan makanan yang katanya enak. Beberapa saat kemudian aku kembali membawa dua porsi pesanan makanan.
"Aku ga tahu kamu suka apa, ya udah minta komplit aja. Salah sendiri ga mau antri sendiri." kataku pada Luka.
"Kak Sugik, masih ketemu sama teman-teman? Katanya angkatanmu mau reuni." tanyaku.
"Tahu dari siapa?" tanyanya.
"Philip cerita katanya mau reuni."
"Kok bisa kontak sama Philip segala? Eh, sebentar kok bisa kenal juga sama Kak Alex?" tanya Sugik padaku.
"Jelaslah, orang sekotaku. Trus kok bisa kenal juga kalian?" jawabku.
"Teman kosku dulu. Eh, jadi gimana tadi usulku?" Aku mengangguk-angguk sambil berpikir seandainya dulu aku nekad tanya tentang dia mungkin beda ceritanya.
"Usul apa ya?" tanyaku.
"Kamu pindah ke sini aja." jawab Sugik.