Ternyata aku dan dia terlibat dalam cinta yang belum selesai. Ketika itu aku bertemu lagi dengan Luka, sinar matanya benar-benar hangat. Sambil tersenyum, aku tidak ingat berapa tahun telah berlalu, diam-diam aku masih menunggunya.
Aku memang berkata telah melupakannya sejak dulu, tapi pada kenyataannya, aku tak sadar cinta itu masih ada. Aku berusaha menunjukkannya tetapi justru rasa sakit yang terus kurasa.
Orang yang telah pergi, waktu yang telah berlalu tak akan pernah kembali lagi. Aku harus mengubah pandanganku meski aku yakin takkan mudah. Seperti di masa itu, aku tetap menjaganya dalam hatiku. Aku belajar menerima bahwa hidup tak selalu sesuai pesanan, tak selalu bahagia. Belajar dari kebanyakan hal, cinta pertama jarang yang akan menjadi perhentian terakhir bagi kita.
Kalau aku tak pernah mengenal Luka, aku juga tak pernah mengenal rasa sakit mencintai seseorang dan mungkin aku tak pernah mencintai dengan benar setelahnya. Aku sekarang berjalan kembali ke duniaku seperti sebelum aku bertemu dia lagi. Kami harus saling mengendalikan diri, bahkan untuk sekedar melihat pun tak boleh.
Beberapa cinta yang belum selesai saat itu, harus kurelakan. Agar aku bisa menjadi lebih baik menghadapi masa depan. Aku pergi dengan hati yang belum sepenuhnya ikhlas. Aku tahu, aku tidak pernah menjadi penting di hatinya. Mungkin baginya, tidak ada lagi sesuatu yang berharga untuk diingat.
Mungkin inilah jalan hidupku. Aku tidak bisa memilikinya. Apakah aku memberikan segala ketulusan untuk ditukar dengan rasa kehilangan?
Aku tahu, dia tak berani berkata jujur padaku, karena mungkin tak ingin melihat kesedihanku. Walaupun dia tak mengatakan ingin meninggalkanku secara langsung, tapi aku tahu dia menyuruhku melupakan rasa itu. Seharusnya aku sadar, kalo dia mencintaiku, tak mungkin sikapnya akan sedingin ini padaku.
Yuan menginterogasi Luka setelah kejadian minggu lalu. Ia menceritakan padaku.
"Ndah, maaf ya, aku menanyai Alex tentang kamu."
"Ooh, gapapa. Aku sudah ga ada urusan lagi sama dia."
"Dia ga bilang ya sama kamu soal perasaannya?"
"Ga ada perasaan, dia suruh aku melupakan dia. Bahkan suruh aku janji pula."
"Ooo gitu, trus kamu?"
"Aku masih kangen lah, aku gitu lho, susah lupa, susah melangkah." kataku.
"Ini kenapa susah kalo sama-sama suka. Kalian punya banyak kesamaan. Suka menyembunyikan perasaan, sama-sama sulit jujur pada diri sendiri, sama-sama saling peduli tapi sok cuek. Ada yang bisa bantu ga sih?"
"Iya, saking samanya cara berpikir kami, maka malah ga bisa jadian."
Yuan mulai menyerah terhadap keputusanku. Tapi jujur aku masih sering melihat unggahannya. Bahkan di status media sosialnya pun masih kuintip, memang menjatuhkan diri ke cobaan.
"Pergilah. Aku akan merentangkan sayapmu agar kamu terbang tinggi menemukan cakrawala baru."
Apakah status itu untukku? Ah, terlalu berlebihan, lupakan saja! Aku melihat banyak temannya mengomentari status itu. Dia pun menjawab dengan santai.
Suatu hari, kakakku membuat pesan untukku di beranda media sosialku. Padahal bisa saja dia sms atau meneleponku. Sialan memang kakakku itu!
"Jangan katakan tak peduli dengan urusan cinta. Jika saling mencintai itu indah lalu mengapa orang yang saling mencintai tak bisa bersama? Katakan padaku, sebenarnya kamu cinta pada siapa?"
Aku langsung meneleponnya, kusuruh menghapus, "Kak, ngapain sih nulis gitu?" tanyaku pada Kak Indra.
"Godain adikku yang patah hati. Jangan taruh gengsi di atas hati!" jawabnya.
"Sialan, aku ga patah hati kok!"
"Tapi kemarin waktu aku tanya soal cerita mama yang di rumah sakit itu, kok menangis terisak-isak gitu?"
"Ya tapi ga usah bikin pengumuman gitu kali. Aku malu! Kalo dia baca kan memalukan."
"Ga masalah, kalo orangnya ga peduli, ga akan baca. Kalo sampai tahu, berarti baca."
"Baca tapi ga peduli, trus aku malu. Kamu itu kakak yang ga peka!"
"Ya sudahlah, makanya cari pacar yang jelas sana lho. Lagian, kisah cinta monyet masih dibawa sampai berevolusi jadi manusia."
"Ah, cerewet! Aku ga pernah jadi monyet. Lagian aku sukanya dia kok, belum menemukan yang lain. Waktu ada yang lain aja kadang masih kepikiran dia." bantahku.
"Ya tunggu aja sampai tua. Umur berapa kamu ini? Udah mau kepala tiga, nunggu uzur? Wendy yang kukenalin itu aja diurus. Wajah memang biasa sih, duitnya luar biasa. Atau anak Tante Marta? Itu satu lagi yang mengajak menikah tuh, Yerry?"
"Ah, entah, malas membahasnya. Hapus tuh postinganmu!"
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan unggahan kakakku. Itu kata-kata yang mewakili perasaanku yang paling dalam yang tak sanggup kukatakan pada Luka.
Tak terasa sudah enam bulan berlalu sejak hari itu. Hari aku mengucapkan perpisahan padanya. Ini lebih menyakitkan daripada ketika aku putus dari Mario. Padahal Mario pacarku, sedangkan Luka, siapa bagiku?
Aku pergi kembali ke kota itu, sudah terlanjur janji pada Philip untuk datang ke sana. Menyaksikan akhir bahagia kisah cintanya. Dia menungguku datang. Padahal kalo ada daftar foto, aku ga tahu harus gabung di teman apa?
Selain pergi ke acara Philip, aku juga mengunjungi Yuan yang baru melahirkan. Tapi aku tidak memberi kabar sebelumnya, takut tak sempat mengingat aku hanya persami, pergi Sabtu-Minggu.
Aku mengajak Octa menemani ke acara Philip. Pergi ke acara yang di dalamnya aku ga kenal siapa pun, merasa terasing di tengah keramaian tentu bukan pilihanku.
Aku tak maju berfoto, sibuk makan. Mumpung tak ada yang kukenal. Aku sempat diajak berfoto saat pulang. Memang aku sahabat yang susah dia lepaskan.
"Kamu itu sama dia, teman apa sih? Pas sekolah kayaknya ga kenal, kuliah ga sejurusan kan? Sampai bela-belain datang dan dia bela-belain mengajak foto." tanya Octa penasaran.
"Jelas dong, teman kayak aku masa bisa dilupakan? Lha tugasnya aja aku yang bikin, walau ga paham aku rela belajar lho. Teman apa tuh?" kataku bercanda.
"Jangan-jangan kalian pernah pacaran tuh?"
"Ga kok, kami murni bersahabat. Ya ga tahu sih kalo terselip-selip alias terselubung, yang jelas aku tulus. Orang baik ya harus dibalas baik. Perintah agama aja disuruh mengasihi musuh dan orang yang membenci, perintah yang belum pernah kulakukan tuh."
"Masih manusia, bukan malaikat."
"Malaikat tak bersayap, kayak lagu aja. Bawa kado ini aja ya kita ke rumah Yuan?" tanyaku.
"Iya nanti dijemput sama Rhena ke sana." kata Octa.
Sore hari, sesuai kesepakatan, Rhena menjemput kami di tempat masing-masing langsung menuju ke rumah Yuan.
Aku turun duluan memencet bel rumah. Aku mengintip-intip ke dalam sambil menunggu pintu dibuka. Asisten rumah tangga rumah itu membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk.
Aku kaget di dalam sana ada Luka bersama beberapa cewek, teman Iwan juga tentunya. Luka menoleh ke arahku dan tak kalah kaget. Sama juga yang dialami teman-temanku. Aku menahan nafas saat melihatnya, seolah-olah dunia telah berhenti. Matanya memandangku, seolah tahu perasaanku. Yuan spontan menggodaku dan Luka.
"Wah, janjian atau jodoh ini ketemu di sini?" tanyanya.
"Hah?" aku dan Luka sama-sama bingung menanggapi kata-kata Yuan.
Perasaanku bercampur antara senang dan sedih. Jelas ekspresiku tak bisa berbohong. Aku masih suka padanya. Kursi di ruang tamu tak cukup menampung kami semua. Aku berdiri dengan bingung. Rombongan Luka berpamitan pulang karena lebih duluan ada di sana. Aku bersyukur sekaligus sedih, entahlah.
"Duluan ya." kata Luka padaku.
Sepeninggal mereka, Yuan kembali menggodaku, "Kok kalian sama-sama aneh gitu? Ga menyangka ya ketemu di sini?"
"Halah, ga usah dibahas. Lucu ya si kecil, kok ga mirip ama kamu kayaknya ya." jawabku.
"Kalian itu berantakan amat sih. Sesuatu yang belum selesai itu diselesaikan dengan jelas, Buk, nanti menyesal lagi." kata Yuan.
"Udah jelas. Aku yang suka sama dia, dia ga ada apa-apa. Sudah jelas dia yang menyuruhku melupakannya. Selama aku ga ke sini, ga bakalan ketemu."
"Di sini juga ga bakal ketemu kalo ga diatur untuk ketemu." kata Rhena sambil tersenyum.
"Ooh jadi ada yang mengatur? Jangan dong, ga kasihan sama aku?" jawabku memelas tapi sambil tersenyum.
"Diatur sama Yang Mahakuasa. Kita aja juga kaget." kata Octa.
"Alex habis sakit lho, Ndah. Sampai masuk rumah sakit. Demam berdarah tuh." kata Iwan.
"Trus?" tanyaku.
"Ya gapapa. Kamu ga menyapanya tadi?"
"Bingung. Udah bahas lainnya aja."
Kami berbicara banyak hal sampai hampir jam makan, kami berpamitan pada Yuan. Kami lalu makan di kedai langganan semasa SMA. Kali ini aku merasa sedikit berbeda dari sebelumnya. Ada rasa kangen pada Luka.
Aku memang yang belum sanggup melupakannya. Kukirim pesan pada Luka lagi, "Kamu habis sakit DBD? Kok kayak sakitnya anak-anak."
Tentu saja tak ada balasan. Merasa bodoh juga, sudah diingatkan untuk tak peduli, disuruh untuk melupakannya. Mungkin sudah ada orang lain yang peduli padanya. Terlebih Nana pernah bercerita bahwa Luka adalah jenis orang yang ramah pada semua orang. Bahkan tidak sombong pada teman-teman lamanya.