Aku kembali pulang ke kotaku karena papaku sakit keras. Tentu saja mamaku panik, aku pun ikut panik. Kondisi papaku memburuk. Akhirnya setelah berdiskusi dengan kakakku, aku membawanya berobat ke kota dengan ambulance.
Papaku secara tak sengaja menanyakan tentang kabar Luka. Sepertinya dia teringat saat tahun lalu aku menjaganya di rumah sakit ditemani Luka. Aku juga terkadang masih mengingatnya. Saat itu ia masih bisa kuganggu.
Setelah 15 hari dirawat, Papaku pergi untuk selamanya. Masalah hidup dan mati memang tak ada yang bisa memperkirakan. Aku kira bahkan ramalan nasib pun tak akan bisa mendahului kehendak Yang Mahakuasa.
Aku dan kakakku tak terlalu paham tatacara adat yang dianut orang tuaku. Kami pasrahkan semua urusan pada pelayanan kedukaan.
Rombongan teman mamaku datang petang itu, saat hari terakhir persemayaman. Aku pamit ke toilet setelah berbasa-basi sebentar dengan para tetangga. Selain itu, aku ingin mendinginkan jiwa dan ragaku dengan segelas minuman dingin. Baru saja melangkahkan kaki keluar dari toilet, aku melihat Luka datang. Jelas aku kaget. Mengapa dia ada disini?
"Hai, Ndah." sapanya menghampiriku.
"Oh, hai!" jawabku canggung.
"Ruangannya di mana?"
"Tahu dari mana?" tanyaku.
"Dari unggahan kakakmu."
"Oh, itu di ruangan nomor sembilan."
"Kamu mau ke mana?"
"Beli minuman dingin."
Penampilanku saat itu cukup lusuh dan kacau. Lelah menunggu di rumah sakit, sedih dan bingung. Mungkin mataku juga seperti mata panda. Bengkak, kurang tidur dan penuh air mata. Semua bercampur dalam pikiranku.
"Barusan kita ketemu waktu itu katamu masih baik-baik saja." kata Luka.
"Namanya umur, rezeki, jodoh dan semua yang ada di hidup itu semua misteri Ilahi. Kita cuma menjalankan dan mengusahakan saja." kataku.
"Ya begitulah, sabar."
Aku lebih banyak diam. Entah mengapa aku jadi sedikit pendiam semenjak terakhir bertemu dengannya lagi. Mungkin lelah menghadapi hidupku.
"Kamu itu kalo sedih, sedihlah aja! Mau menangis, menangislah! Kenapa susah banget berekspresi jujur?" tanyanya.
Aku terdiam, dia juga terdiam. Luka menatapku tajam. Aku tak mengerti maksud pembicaraannya.
"Ndah, tiap lihat kamu di hadapanku, kenangan yang terkubur itu muncul kembali dan akan selalu seperti itu." katanya memulai obrolan aneh.
"Aku kan sudah menghilang. Waktu itu cuma ga sengaja ketemu. Bisa aja kan kamu tetap mengabaikanku? Aku ga akan menyalahkan kok." jawabku sambil berjalan. Sadar bahwa kami malah mengobrol di depan toilet.
"Tapi jangan menghilang juga. Gimana ya?" katanya sambil menggaruk kepalanya.
"Entah, ga paham. Kayaknya aku deja vu deh, seperti pernah mengalami ini." jawabku sambil berjalan cepat-cepat. Aku takut ga bisa mengendalikan diri. Apa yang harus aku lakukan? Menangis? Memohon dia kembali? Entahlah. Sejujurnya aku ga rela dia bersama yang lain. Meskipun tak kumiliki, aku ingin dia tetap sendiri, sepertiku.
"Aku selalu ingat waktu pertama kita ketemu. Wajahmu polos banget ketika itu. Sampai akhirnya kita ada di hari ini. Apa kamu ga ingin kembali ke waktu itu?"
"Bukankah katamu lihat jauh ke depan, jangan lihat ke belakang? Emang ada mesin waktu? Kalo ada, aku ingin mengubah semuanya. Aku ga akan kenalan sama kamu, ga juga ambil kuliah jurusan ini, mungkin ga kerja juga di kantorku sekarang dan di rumah terus. Enak kalo beneran ada."
"Ada. Di film banyak." jawabnya.
Kami berjalan beriringan menuju pujasera. Mungkin dia juga bingung harus ke mana.
"Selama ini apa kamu beneran bisa, Ndah?" lanjutnya.
"Bisa apa ya? Aku kan mandiri, biasa sendiri. Biasa juga menghadapi perpisahan. Sepanjang umur ada satu, dua, tiga, empat— banyak deh. Bahkan sama orang tua aja aku pisah. Makanya kalo boleh diulang, aku ga ke mana-mana biar banyak waktu sama mereka." jawabku dengan suara sedikit bergetar menahan kesedihan.
Perlahan-lahan air mataku turun juga. Hal yang sangat berlawanan dengan kata-kataku. Ternyata dia memang paling bisa membuat aku mengakui perasaanku lewat ekspresiku. Luka memelukku lagi. Aku bingung harus bagaimana? Bisa-bisanya pacar orang kupeluk juga! Mungkin aku sudah gila! Mungkin dia juga bingung melihatku menangis.
Di tempat ini, berpelukan seperti ini sangat memalukan. Meskipun saat itu aku sendirian tetapi banyak orang lewat dan mungkin saja saudara atau kenalanku melihat.
"Jangan menangis lagi, please." katanya sambil menepuk-nepuk punggungku, cukup menenangkan juga. Bodohnya aku masih membeku di pelukannya. Kuakui aku nyaman menangis dalam pelukannya.
"Eh, maaf. Tolong lepaskan aku!" kataku setelah menyadari kebodohanku. Kudorong tubuhnya dan segera berlari menuju pujasera. Aku membeli minuman lalu duduk di salah satu kursi di sana sambil menyalahkan diriku. Luka menyusulku, duduk di depanku.
"Setiap melihatmu menangis aku selalu ga tega." katanya.
"Wah, wah, tiap ada yang menangis di depanmu trus kamu peluk, gitu? Kasihan pacarmu!"
"Ga semuanya, cuma kamu."
Deg...deg...deg!!!
"Kak, aku kan sudah menghindarimu. Aku bukan pengganggu pacar orang. Jadi jangan terlalu baik sama cewek lain! Kamu harus bisa menahan diri, pikirkan perasaan pacarmu!" kataku.
"Hmm, berarti aku yang ga bisa menepati kata-kataku." katanya yang tetap tak kupahami.
Kakakku meneleponku memberitahu ada teman-temanku datang. Aku berdiri dari tempatku duduk dan segera kembali tanpa berpamitan pada Luka. Ini orang maunya apa pula? Seenaknya sendiri. Kali ini aku agak marah padanya. Belum juga reda emosiku, aku melihat Tante Lily di seberang. Aku yakin ia melihat jika sedari tadi di sana. Ah, cuek anggap dia baru datang, anggap aku tak tahu.
Kembali ke ruangan disusul Luka. Aku langsung menemui teman-temanku tanpa mempedulikannya. Kakakku yang datang menemaninya. Tante Lily yang tadi kulihat datang. Ia tersenyum penuh arti padaku dan mendatangi tempat Luka duduk. Aku duduk dekat dengan tempat mereka duduk. Meskipun berbincang dengan teman-teman, aku memasang telinga mendengar pembicaraan itu.
"Kamu toh pacarnya Indah? Tadi ga kelihatan jelas." tanya Tante Lily pada Luka. Kakakku ikut bengong, lalu menatap padaku seolah meminta penjelasan. Aku yang sedang berbicara dengan Kak Anna menjadi tak berkonsentrasi karena mencuri dengar pembicaraan itu.
"Apa ya, Tante?" tanya Luka. Ia pasti akan menyanggah.
"Kamu itu apa benar pacaran sama Indah?" tanya Tante Lily. Aku tak mendengar Luka menjawab.
"Sudah bilang sama mamamu belum? Oya, mamamu di mana sekarang?" ucap tante yang supel kelewatan ini.
"Ikut Kak Liany, Tante." jawabnya.
"Kok malah menyendiri di sini, sana sama Indah!" kata Tante Lily lagi. "Indah, sini!" teriaknya sambil melambaikan tangan memanggilku juga. Duh, mau ditaruh mana mukaku? Aku terpaksa berpamitan pada teman-teman.
"Ada apa, Tante?" tanyaku sok polos.
"Calonnya dikenalkan dong, Ndah. Kok dibiarkan sendirian di sini." kata si Tante lagi.
Aku bingung menjawab. Jika kujawab bukan, dia lihat adegan tadi. Takut dikira aku apaan berpelukan dengan orang yang bukan pacarku. Akhirnya aku hanya tersenyum penuh misteri. Luka juga tersenyum, mungkin menertawakan kekonyolan ini.
"Adikmu masih malu-malu, Ndra."
"Ga tahu, Tante. Sama Indra juga ga pernah cerita kok." jawab kakkakku.
"Kak Irwan apa kabarnya sekarang? Sama kayak Indah ya, jarang pulang? Betah di kota soalnya ya. Kosong lama-lama penduduk aslinya transmigrasi semua." kataku mengalihkan pembicaraan.
"Urbanisasi, Ndah, bukan transmigrasi." kata Luka meralat ucapanku.
"Eh iya, Tante, itulah pokoknya." lanjutku.
"Buruan dikenalkan mamamu, Ndah, biar Alex bisa segera menyusul adiknya!" kata Tante Lily lagi.
"Masih suasana duka, Tante. Kok malah membahas hal begini." kata Luka.
"Tante tahu, tapi kalo ga segera, kamu harus tunggu tiga tahun lagi lho!" kata Tante Lily.
"Ga masalah menunggu belasan tahun aja saya bisa." katanya membuat kakakku tersenyum sambil memandangku.
"Jangan lama-lama, Lex! Mamamu juga ingin kamu buruan nikah." kata si Tante dan Luka hanya tersenyum.
Tante Lily berpindah duduk bersama ibu-ibu teman arisan mama. Sudah bisa dipastikan menggosipkanku dan Luka. Duh, bikin makin ga laku kalo begini! Kak Anna memanggilku karena akan berpamitan pulang.
"Itukah pacarmu, Ndah? Pantas aja Bayu ditolak, itu senyumnya manis banget." kata Bu Dini, atasanku.
"Aduh, bukan, Bu." jawabku.
Aku mengantar teman-temanku lalu memanggil Luka. Berniat membahas kesalahpahaman di luar ruangan. Ia berpamitan pada kakakku yang malah tersenyum sambil menggelengkan kepala melihatku.
"Kamu ini menyebalkan! Bikin gosip di kota kecil aja! Memalukan! Bikin aku jauh jodoh beneran, tahu?" kataku pada Luka dengan nada marah.
"Tenang aja, aku akan bertanggung jawab." jawabnya santai.
"Aku serius! Susah meluruskan pemikiran orang-orang. Kamu harus bertanggung jawab! Jelaskan pada mereka!"
"Gimana aku bisa menjelaskan kalo aku sendiri juga ga jelas?" tanyanya.
"Kamu itu yang fokus gitu lho! Jangan playboy, childish, ga jelas. Pikirmu aku mainan?" tanyaku kesal.
Satu per satu orang dari kotaku pulang dan melewati tempat kami berdiri. Tante Ida bahkan menyapaku, "Diajak masuk, Ndah! Duduk sama keluarga biar makin akrab."
"Eh, bukan gitu, Tante." jawabku bingung. Rasanya benar-benar kacau. Hanya karena berpelukan semuanya jadi salah paham.
"Ya, aku tahu aku ga pernah memintamu dengan benar. Aku kesulitan mengucapkan hal-hal seperti itu. Bisakah sekarang kuperbaiki?" tanyanya.
"Apanya yang diperbaiki? Jelaskan aja! Makin suram deh!"
"Kamu memang kalah cerah sama aku."
"Serius ini!"
"Aku juga serius. Pacaran aja yuk sekalian daripada digosipkan sama orang-orang."
"Ga mau, bodo amat mau digosipkan atau ga."