Aku mengajukan resign. Kak Anna dan Bu Dini mengira aku pulang untuk menikah. Jelas hal yang tak mungkin terjadi. Selama tiga bulan bersama Luka, mungkin setengahnya sudah kuhabiskan dengan pertengkaran.
Pernah suatu hari dia pergi keluar kota berdua dengan Kriska, menginap pula. Aku orang yang ga sabaran. Jelas membuatku kesal berhari-hari. Kadang ketika aku butuh teman, dia malah sibuk di fitness center bersama teman-temannya. Aku tahu dia juga butuh bersosialisasi secara nyata di sana. Tapi sepertinya dia ga ada waktu untukku. Kehadirannya antara ada dan tiada.
Sabtu malam Herry mengajakku nonton. Aku langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang karena sedang kesal dengan Luka. Dia meneleponku ketika aku di dalam bioskop. Kuceritakan aku sedang bersama Herry menonton film sadis. Seperti biasa, bukan cemburu malah menyuruhku bersenang-senang. Betapa kesalnya!
Seminggu sebelum kepulanganku, aku kecelakaan. Lebih naas lagi, kejadiannya di jalan depan kosku. Ketika tersadar aku sedang terbaring berdarah-darah di rumah sakit. Orang yang menabrakku bertanya siapa yang bisa dihubungi. Kuberikan nomor Kak Anna yang kuhapal luar kepala. Itu tanda aku belum amnesia seperti rata-rata di sinetron populer. Bahkan aku masih ingat meminta Kak Anna untuk menelepon Luka dan melarangnya mengabari mamaku.
Selang oksigen dan infus entah dari sejak kapan terpasang. Darah masih sesekali mengalir dari telingaku. Diberi kabar pun, Luka seperti mengabaikanku. Ia tak menelepon atau menanyaiku. Jelas aku makin kesal padanya.
Aku masih tertidur siang itu ketika mamaku berteriak histeris, "Apa kamu mau menyusul papamu, Ndah?" tanyanya sambil menangis.
Aku bangun dengan terkejut, "Kok bisa tahu?" tanyaku.
"Apa mama ga boleh tahu?"
"Bukan gitu, mama kan panikan. Aku baik-baik aja, ga perlu dikhawatirkan." jawabku.
"Baik-baik dari mana?" bentaknya.
"Aku kan sadar, ga parah kok! Bisa pulih sendiri kata dokternya."
"Kuakui kepalamu memang keras, Ndah. Tapi apa perlu diadu dengan aspal segala?" tanya Luka yang mendadak juga muncul.
"Ga." jawabku singkat. Masih kesal dengan dia yang terlalu cuek. Sudah beberapa hari sejak Sabtu itu dia mengabaikanku bahkan saat Kak Anna memberitahunya kemarin. Aku pun bertahan tak mengajaknya bicara. Mamaku pasti tahu dari dia.
Petang itu mamaku pulang setelah dijemput sepupuku. Tinggal di rumahnya selama menungguiku keluar rumah sakit. Luka menolak ikut. Aku masih bertahan mendiamkannya. Kuintip dia seperti sibuk juga dengan laptopnya.
Teman-teman menjengukku hari itu. Rere bahkan sempat bergosip denganku, "Tuh, Kak Ririn masih terpesona lihat temanmu. Temanmu lihat aja ga, sibuk dengan laptopnya. Btw, kok bisa dia di sini?" tanyanya yang tak sempat kujawab.
"Lho, kamu kok di sini juga, Lex?" tanya Sherly dan Luka menoleh.
"Eh, iya, kamu juga."
"Oh, aku pas ada urusan. Eh, si tuyul ini kecelakaan. Sekalian deh ikut teman-teman jengukin." kata Sherly sambil menunjukku. "Eh, belum dijawab nih, kok kamu bisa di sini? Kalian pacaran ya?" lanjutnya.
"Ga." jawabku.
"Iya" jawab Luka.
Kami sempat beradu pandang sebelum Sherly kembali bertanya, "Lho, kok ga kompak?" Kami sama-sama tak menjawab. Luka hanya menghela nafas.
"Gimana ceritanya kok bisa gini sih, Ndah?" tanya Kak Ririn.
"Apes, Kak." jawabku.
"Untung ga parah ya."
"Iya, puji Tuhan!"
"Itu kalo bukan pacar, dikenalin dong sama Kak Ririn." kata Ajeng yang rajin menggoda Kak Ririn.
"Ehm, itu, ya kenalan aja!" jawabku.
Wajah Luka benar-benar kesal. Mereka berkenalan singkat sebelum akhirnya Luka pergi meninggalkan kami. Kami bercerita banyak hal sampai jam besuk selesai. Aku bersiap makan tapi tak berselera melihat menu yang itu-itu lagi. Luka belum kembali atau mungkin tak kembali. Aku juga tak mencarinya.
Terlalu banyak tidur siang membuatku terjaga malam ini. Kudengar suara ponsel tapi terasa asing di telingaku. Kubuka laci nakas di pinggir ranjangku, ponsel Luka tertinggal. Orang ini cukup ceroboh ternyata. Setelah deringan berhenti segera kuatur mode hening dan si pemilik datang.
"Coba kita tukar posisi sehari aja, Ndah. Jadilah aku sehari aja!" katanya tiba-tiba. Kupikir dia mengasihaniku karena kecelakaan ini.
"Aku ga perlu dikasihani." kataku.
"Aku yang mungkin perlu dikasihani. Rasanya jadi seperti kekasih yang ga dianggap."
"Apanya? Ada juga aku yang ga pernah kamu anggap. Mau aku jalan sama siapa aja kamu biasa-biasa aja. Cinta ga sih sebenarnya?"
"Harusnya kamu yang tahu diri."
"Oh, aku ga tahu diri maksudmu?"
"Sudahlah, ga usah dibahas lagi. Istirahat yang baik biar cepat sembuh!" katanya sambil meminta ponselnya.
"Kenapa? Takut ketahuan banyak pesan mesra sama cewek-cewek?"
"Silahkan aja dilihat!"
"Malas, nih!" kataku sambil menyerahkan ponselnya. Ia segera mengambilnya lalu menelepon seseorang. Dia dan aku saling berdiam diri sampai perutku menggelar konser.
Kruk...kruk...kruk...
"Kerasnya! Laparkah? Apa kamu ga makan tadi?" komentarnya.
"Bosan."
"Wah, masa kamu makan mi instan seduh ini?" tanyanya dan aku menggeleng.
"Sherly sedang ada masalah tuh sama suaminya. Padahal baru aja nikah rasanya. Ingatkah yang kamu minta foto itu?"
"Ga ingat, ga peduli juga."
"Tumben ga kepo."
"Percuma aku kepo kamu ga mau bercerita. Pas aku bosan, kamu malah menginap sama Kriska. Aku marah malah katamu aku cemburu berlebihan. Padahal nyatanya aku ngapain aja kamu ga peduli kan?"
"Makanya, jadilah aku sehari aja! Rasanya gimana jadi aku?"