Baru hidangan kedua disajikan, mamaku menelepon memberitahu kondisi papaku yang besok harus dioperasi. Tadi sore perjalanan dari rumah dan sekarang masuk rumah sakit di kota ini. Entah apa di pikiranku, aku justru meminta tolong pada Luka untuk mengantarku ke rumah sakit itu. Dia menyetujui untuk menjemputku.
Padahal aku di tempat acara bersama teman-teman lain. Seharusnya ada yang bisa kumintai tolong mengantar ke sana. Tapi aku harus pergi saat itu juga, sedangkan acara masih lama selesainya. Aku sudah berpamitan dengan Melisa.
Beberapa saat kemudian aku baru bisa berpikir waras. Bodohnya aku malah mencari dan terus mencari dia. Akhirnya aku mengiriminya pesan, berniat membatalkan, "Ga jadi deh, Kak. Maaf merepotkanmu." tulisku.
"Ini aku sudah di lampu merah dekat sana. Gimana sih? Mau mengerjaiku?" balasnya.
"Bukan, aku baru sadar merepotkanmu."
"Sudahlah, tunggu aja!"
Tumben dia langsung membalasku bila sebelumnya selalu dijeda lama seperti enggan membalas pesanku.
Aku menunggu jemputannya di depan tempat acara. Jujur aku tak bisa berpikir dengan benar. Katakanlah aku mencari kesempatan untuk menemui Luka. Tapi benarkah yang kulakukan? Dia menepi sambil membunyikan klakson karena aku melamun.
"Duh, ini susahnya naik motor dengan pakai kostum yang salah." kataku mengomel seperti biasa.
"Ah, kamu aja ga tahu tekniknya. Bisa aja tuh teman-temanku boncengan walau pakai dress." jawabnya.
Aku tak menjawab lagi, entah karena sibuk memikirkan Papaku atau sibuk mengatur perasaanku yang mendadak jadi cemburu mendengar ucapannya. Memang player, cocok sih dengan karunia wajahnya.
"Apa kamu ga tahu jalan? Percuma dong tiga tahun di sini ga tahu lokasi." katanya lagi.
"Ya maaf jadi merepotkanmu." jawabku singkat.
"Acara belum selesai kok udah kabur. Siapa tahu ketemu jodoh tuh di sana."
Aku terdiam lagi malas menanggapi. Sibuk dengan banyak pikiran di kepalaku. Sibuk memikirkan papaku, sibuk memikirkan perasaanku.
"Kok tumben diam aja?" tanyanya.
"Maaf ya merepotkan, soal hotel dan sekarang. Seharusnya aku tadi naik taxi."
"Sebenarnya ga repot hanya mengesalkan."
"Apa aku mengganggu acaramu?"
"Gapapa. Ga usah dibahas. Ini siapa yang masuk rumah sakit sampai perlu buru-buru pergi?"
"Papaku."
"Oh, sorry, aku ga tahu. Nanti mau diantar masuk atau sampai depan aja?"
"Terserah."
Aku bingung, sejujurnya aku ingin dia menemaniku, tapi seperti biasa ego menahan bibirku. Kalo semua temanku bisa menebak perasaanku, seharusnya dia juga tahu dong. Ah, sudahlah, aku lebih baik memikirkan keluargaku daripada mengharapkan sesuatu yang mungkin saja tak perlu kuharapkan.
"Ya udah nanti aku antar masuk. Kasihan daripada tersesat masuk kamar jenazah." katanya sambil tersenyum padaku.
"Eh, sialan! Aku memang takut di rumah sakit. Auranya penuh kesedihan."
"Halah, lebay. Kan ga selalu sakit. Kalo melahirkan kan aura kebahagiaan yang muncul."
Aku tak menjawabnya, tapi yang jelas aku cukup senang. Aku memandangi wajahnya dari kaca spion dan ternyata dia menyadarinya dan menoleh padaku.
"Ngapain ngintip segala?" tanyanya.
Lampu merah di perempatan itu, kami hanya berjarak antar helm. Tentu saja irama jantungku semakin tak beraturan. Aku tahu tak seharusnya aku mendekatinya lagi, hanya hatiku masih belum sanggup.
Bunyi klakson pertanda lampu hijau mengejutkan kami. Sepanjang sisa perjalanan kami terdiam. Aku tak sanggup berkata apapun. Aku tahu mungkin dia hanya mempermainkan perasaanku, tapi aku tetap saja masih grogi.
Aku bahkan pernah bermimpi, mendatanginya sambil berkata, "Luka, ini Indah. Dan seperti yang kamu tahu, Luka akan tetap indah di hatiku."
Bahkan sampai di parkiran rumah sakit itu, kami masih sama-sama terdiam. Untung mamaku menelepon mencariku. Aku bergegas berjalan, tanpa menoleh pada Luka. Khawatir pancaran mataku terbaca olehnya. Aku tahu dia mengikutiku. Mungkin dia senang telah berhasil membuatku salah tingkah.
Di lorong bangsal perawatan itu, aku berlari. Lupa bahwa aku memakai sepatu berhak tinggi. Sebenarnya ingin mengadu pada mamaku, tapi ga mungkin.
"Kenapa papa, Ma?" tanyaku.
"Ga bisa kencing. Kata dokter ada penyempitan di saluran kemihnya jadi harus dioperasi. Untung pas kamu datang." kata mamaku.
Aku melihat secara umum, kondisi papaku stabil. Seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Aku menelepon atasanku untuk meminta izin beberapa waktu.
"Mama menginap di mana ini? Tadi ke sini sama siapa?" tanyaku.
"Tadi diantar sopir tetangga. Nanti menginap di rumah Tante Handayani. Katanya selama papa dirawat nanti mama tinggal di sana aja. Kamu nanti balik hotel?" tanya mamaku.
"Gapapa, aku tunggu di sini aja." jawabku
Mamaku melihat tampang dan kostumku lalu mulai mengomeli aku, "Kayak gini mau di rumah sakit? Pulang, ganti dulu baru balik lagi!"
Aku baru teringat pada Luka yang aku tinggal entah di bagian mana? Bahkan mengucapkan terima kasih pun belum kulakukan. Kakiku baru terasa agak pegal sekarang setelah berlarian. Aku mencari Luka, untuk berterima kasih, tetapi tak kulihat di sekitar sana. Mungkin dia sudah pulang juga.
Aku berjalan sendirian di lorong panjang gelap, lumayan mengerikan. Apa bangsal perawatan harus melewati jalan sepi dan gelap seperti ini? Sejujurnya aku takut sampai meruntuk sendiri. Tiba-tiba kudengar suara Luka memanggilku, "Hoi, Indah!"
Aku menoleh memastikan sumber suara, hal pertama yang kulakukan memastikan dia menginjak bumi. Konyol memang.
"Ini aku, apa kamu kira aku hantu?" katanya.
"Ya kali aja. Panik tadi jadi lupa mau bilang terima kasih. Bukan aku ga sopan lho ya." kataku.
"Aku tunggu di seberang bangsal tadi. Kupikir kamu melihatku, tapi malah kabur sendiri. Memang kurang ajar!"
"Kamu ga bilang, mana aku tahu? Kirain kan sudah kamu tinggal."
"Maunya kutinggal, ga tega. Lari pakai hak tinggi gitu, mau main sinetron?"
"Panik, Mas, lupa segalanya."
"Mau diantar pulang atau gimana nih?"
"Merepotkan atau mengesalkan ga nih?"
"Ga sih."
"Apa sih yang mengesalkan? Yang benar itu aku merepotkan sampai kamu kesal, gitu ya?"
"Aku sebenarnya ga masalah direpoti. Tapi apa harus pamer pacar begitu?"
"Pamer pacar? Pacar siapa yang dipamerkan?"
"Ya pacarmu, masa pacarku? Btw, ke mana pacarmu?"
"Apanya yang dipamerkan? Aku ga punya pacar kok mau pamer? Aneh. Ada juga kamu kali yang mau pamer. Apa sekarang aku sedang meminjam pacar orang?"
"Iya."
Tiba-tiba aku kehilangan pijakan, setidaknya istilah saja bagiku. Hmm, benar sekali kata-kata Iwan. Mungkin benar mimpiku kali itu untuk memberitahu hal ini.
"Ya gapapa deh, aku pinjam dulu. Butuh soalnya." kataku mengalihkan kesedihan. Bukan aku kalo harus menunjukkan kesedihanku di depannya.
"Bisa ya gitu? Iya deh, aku juga ikutan pinjam pacar orang aja, lumayan ga perlu repot."