Nana beberapa kali mendatangi rumahku untuk menemani sahabat masa kecilnya yang bersedih. Sedih kehilangan papanya dan patah hati karena cinta pertamanya.
"Papamu sudah bahagia, Ndah. Kamu pun harus bahagia!" katanya.
"Aku suka menyesali banyak hal, Na. Dulu aku disuruh kuliah di dekat sini aja, tapi nekad kuliah jauh. Papaku pernah menyuruhku kerja di sini aja, tapi aku ngotot kerja di kota. Sekarang giliran waktunya habis, aku menyesal."
"Gapapa, jangan disesali. Kamu ga salah kok kerja di kota."
"Tentang cinta, aku malah lebih sering lagi menyesal. Setelah dia pergi, aku baru tahu aku ingin bersamanya."
"Apa dia ga membalasmu sama sekali setelah hari itu?" tanya Nana.
"Tak termaafkan mungkin, Na."
"Hmm, kecewa juga mungkin, Ndah. Udah, turunkan gengsimu. Apa salahnya chatting duluan? Btw, sampai sekarang masih ga punya nomor ponselnya?"
"Lupa tanya."
"Mulailah lembaran baru! Jangan taruh rasa curiga berlebihan padanya!"
"Curiga dong, buat apa cowok seperti dia mencari cewek seperti aku? Repot amat kan? Aneh kan?"
"Dalam urusan perasaan semua bisa aja mungkin. Makanya berkenalanlah lebih dekat dengannya. Bukan cuma sekedar tukar biodata, tapi kenali orangnya!"
"Aku ga bertukar biodata. Dia aja ga tahu ulang tahunku dan ga mau tahu kan?"
"Mungkin dia lebih suka mengenal kepribadianmu daripada hal-hal seperti itu. Setahuku, dia bukan playboy, Ndah. Ga tahu lagi ya, waktu bisa mengubah orang sih. Eh, aku pulang ya. Besok hati-hati di jalan!" katanya berpamitan saat dijemput pacarnya.
Aku memikirkan ucapan Nana. Memang aku dan dia tak saling mengenal, cukup beresiko untuk menjatuhkan pilihan. Tapi pilihan itu toh juga sudah hilang.
Aku mulai menitikkan air mata saat memandangi foto lama di ruang tamu. Tak kusadari orang tuaku menua saat aku terlalu sibuk mengejar mimpi yang aku sendiri tak tahu apa.
"Sudah, jangan menyesali yang telah berlalu!" kata kakakku.
"Aku suka melihat foto. Meskipun orang berubah, kenangan tak pernah berubah."
"Ndah, habis ini mama kan sendirian di rumah. Kuajak tinggal sama aku dia ga mau. Gimana kalo kamu pulang?"
"Ini akibat aku belum sukses di kota. Kupikir-pikir ke mana lenyapnya gajiku? Tapi aku kalo pulang nanti jauh jodoh gimana?" candaku.
"Justru makin mendekat sama jodohmu. Kemarin Alex kerja di dekat sini kan?"
"Apanya? Dia marah dan menghilang gitu."
"Kamu ga cari sih!"
"Aku sudah bilang minta maaf kok, ga dibalas lagi. Ya sudah."
"Tanya dong! Jangan diam-diam menyimpulkan sendiri!"
Aku hanya tertawa, jelas aku masih gengsi dong minta maaf lagi. Toh hari itu aku juga sudah langsung minta maaf. Dia diam tak menjawab lagi, artinya dia masih marah.
"Yah, pikirkan, Ndah. Coba cari-cari kerja di dekat sini saja. Sekalian menemani mama juga." katanya.
Mamaku memang menolak ikut dengan kakakku. Mau ikut aku belum punya rumah. Memintaku pulang, mungkin juga ga tega.
Ponselku berdering dan tak sempat kujawab. Satu panggilan tak terjawab dari nomor asing. Aku memang jarang menerima panggilan dari nomor asing. Menghindari tawaran asuransi, kartu kredit dan telemarketing lainnya. Tepatnya, aku takut jadi korban penipuan.
Pagi itu aku bersiap ke kota, tepatnya menuju stasiun. Ga bisa ke mana-mana karena selama 49 hari dipantang. Aku berangkat terlalu pagi takut macet karena naik bus. Apalagi perbaikan jalan di mana-mana. Alhasil sekarang jadi bengong sendiri di stasiun. Memang aku selalu tiba lebih awal, takut tertinggal kereta. Tapi juga tak seperti sekarang.
Duduk sendiri, pikiranku melayang bersama lamunan. Aku memang selalu susah melupakan suatu kejadian. Walaupun tak sampai hyperthymesia, tapi beberapa di antaranya sangat amat sulit sekali aku lupa. Termasuk tentang cinta pertamaku.
Tiba-tiba aku merasa perlu bertemu dengan Luka, hanya saja aku tak mempunyai akses selain melalui messenger yang kadang terbaca, kadang tak terbaca. Baru saja pikiran itu terbersit, aku melihatnya di depan mataku, sedang melambaikan tangan padaku. Tentu saja merasa seperti 'wow'.
"Kok kamu bisa di sini?" tanyaku sambil berdiri dan terpesona dengan kehadirannya.
"Tadi kutelepon rumahmu, katanya kamu sudah berangkat dari tadi." jawabnya.
"Kok tahu nomor telepon rumahku?"
"Ada deh, ga penting. Kamu itu kutelepon ga dijawab."
"Habis nomornya asing. Kalo perlu kan bisa menelepon balik. Kamu ga menelepon balik artinya ga ada keperluan kan?" jawabku.
"Hmm, iya aku lupa, sorry."
"Pesanku juga ga dijawab. Apa ga termaafkan?"
"Itu juga aku lupa balas. Seingatku sudah kujawab."
"Ya aku paham, itu memang ga penting. Lupakanlah!" jawabku sambil duduk kembali mengabaikannya.
"Masa aku ga jelas sih kalo mendekatimu? Hoi, Ndah!" katanya sambil menginjak kakiku.
"Hih, apaan sih? Kotor ini lho jadinya sandalku." kataku sambil membersihkan pita di sandalku dengan tissue basah. "Kamu pasti cuma mau balas dendam kan?" lanjutku.
"Siapa yang mau balas dendam?"
"Katamu kan sakit hati karena kukata-katai dan kutampar kan? Mungkin kamu perlu balas dendam."
"Memang sakit, tapi lebih sakit membuatmu menangis. Paham?"
"Mana ada yang seperti itu? Jujurlah, maumu apa?"
"Sederhana aja. Be my girl and I'll be your man." katanya.
"Banyak hal yang ga kuketahui tentangmu. Kamu asing buatku. Aku ga kenal duniamu jadi terasa mengerikan."
"Aku? Ya beginilah aku. Bebas lepas dari dulu. Aku bukan orang yang percaya diri, juga bukan orang baik-baik. Aku orangnya keras juga. Mungkin bisa sering bikin sakit hati."
Aku merasa dia membuka pintu di depan mataku. Menawarkan dunia yang mempesona. Aku ga bohong, aku ingin tinggal karena merasa dia adalah duniaku.
"Ga baik-baik gimana maksudmu?" tanyaku penasaran.
"Gimana ya jelasinnya? Aku ya seperti ini. Entahlah menurutmu aku gimana? Btw, kamu ga kenal aku kok bisa santai pas aku datangi di kamar hotelmu? Kalo ternyata aku maniak gimana?"
"Sebenarnya aku juga takut. Tapi rasanya kamu baik seperti dulu yang kukenal."
"Padahal waktu SMA aku sering ikut balap liar di dekat rumahmu situ, ga tahu kan?"
"Apa diizinkan sama mamamu?"
"Jelas ga, pas ketahuan motorku langsung dijual sambil diomeli ga selesai-selesai. Dilarang pergi ke mana-mana kecuali ke sekolah. Ngeri. Makanya aku ga bisa kencan."
"Tapi dulu kalo dicari selalu ada di rumah gitu."
"Pergi balapan malam dong! Tapi memang aku jadi jarang ikut sejak sering ngobrol sama kamu. Lebih seru mengganggumu rasanya."
"Halah, gombal!"
"Waktu kuliah lebih parah, sampai diancam ga dikuliahkan lagi. Uang semesteran kupakai buat taruhan. Sia-sia banget kan?"
"Pas umur segitu aku juga banyak penasarannya."
"Penasaran apa kamu? Ga mencoba hal aneh-aneh kan?"
"Maksudnya?"
"Ya kamu itu penasaran mau ngapain sih?"
"Banyak hal."
"Sepolos ini masa berulah pas SMA? Katamu pacar aja ga punya?"
"Sialan! Emang harus punya pacar baru bisa berulah? Aku ga punya pacar karena sebagian mungkin salahmu!"
"Eh? Aku? Kok bisa?"