Setelah kecelakaan itu, aku sedikit trauma mengendarai motor. Aku pulang kampung juga awal bulan itu. Resmi jadi pengangguran semenjak lulus dari kantorku dengan iringan tangis bombay.
Mencoba menjadi anak berbakti dan gagal. Dari dulu aku dan mamaku selalu perang mulut. Mungkin itu yang menjadikanku mahir berdebat sekarang. Sesekali aku masih menangis juga mengingat papaku. Rasanya sedikit bersalah baru kembali sekarang. Andaikata dulu aku menurutinya, aku bisa lebih lama lagi menemaninya.
Aku mengajak Nana makan di kedai bakso langganan kami dulu. Di sana kami juga bertemu Galih bersama keluarganya. Cantik juga istrinya, jelas saja Galih juga cakep.
"Tuh, mantan sudah berkeluarga." sindir Nana.
"Mantan apaan?"
"Mantan teman sekelas. Ih, sewot banget! Itu yayang mengajak ke mana merayakan ultahmu?"
"Yayang ga tahu ultahku, ga pernah tanya juga. Ada juga malah sehari sebelumnya pergi acara reuni sekolah kalian segala. Malas ikut sebenarnya. Waktu itu mungkin aku masih cedera jadi aku menyetujuinya."
"Hmm, masa ga tahu?"
"Pasti ga tahu. Aku ga pernah bilang, ga pernah membicarakan juga."
"Masa ga tanya juga?"
"Iya."
"Biasanya itu basa-basi awal waktu pendekatan. Hmm, agak kelainan juga sih."
"Na, sebenarnya aku penting ga sih baginya? Apa sebaiknya aku menyerah aja ya?"
"Hmm, kenapa kamu selalu menunggu? Dipancing dong, diarahkan supaya dia tanya."
"Kulapori aku jalan sama cowok aja malah disuruh bersenang-senang. Apalagi begini. Ah, entahlah."
"Oya? Trus kalian itu bicara apa kalo ngobrol?"
"Ngalor ngidul ga jelas." jawabku.
"Yah, dia memang unik dari dulu kan? Seharusnya kamu yang lebih tahu. Btw, kamu ikut berarti di acara itu?"
"Terpaksa. Agak takut sih sebenarnya."
"Kalo kamu ikut, aku juga ikut. Habis malas ngobrol sama anak-anak kadang ga nyambung. Dunianya sudah berbeda." katanya.
Menunggu acara di Sabtu malam itu rasanya bisa membuatku demam. Sejujurnya aku ga ingin bertemu dengan mereka. Memang bukan reuni sekolahku, tapi mayoritas teman SMPku ada di sana. Semoga saja mereka ga hadir. Tapi Evi pasti bersemangat mendatangi acara seperti ini.
Sore itu mungkin juga kali pertama aku berkencan dengan Luka di sini. Aku berniat membatalkan, tapi sejujurnya aku juga ingin bersamanya. Ahirnya aku duduk menunggunya sambil grogi.
"Sorry, telat, buruan gih!" katanya saat menemuiku. Dia hanya berpamitan pada mamaku. Mungkin melihatku pun tak sempat, apalagi terpesona padaku.
Sepanjang perjalanan dia juga tak mengajakku berbicara. Aku tak tahan dengan sikapnya, "Ada masalahkah?" tanyaku.
"Ga ada, kenapa?"
"Kok diam aja?"
"Sariawan nih." katanya. Aku tahu pasti bukan itu penyebabnya.
"Apa aku ada salah?" tanyaku.
"Iya, kamu salah kostum." jawabnya.
"Kenapa ga bilang tadi?"
"Udah telat begini masih menunggumu ganti baju. Belum biasanya cewek bingung pilih baju. Trus ntar kamu ganti, rambutmu berantakan, tunggu lagi. Kelamaan."
"Ga gitu juga kali. Apa pula salahnya kostumku? Duh, tersiksanya sama orang kayak gini." kataku dan dia tak menjawab.
Tempat makan outdoor ini sepertinya baru. Entahlah aku kurang update dengan perkembangan kota ini. Seingatku dulu daerah ini sepi. Nana menungguku di depan restoran itu.
"Hai, Kak!" sapa Nana.
"Oh, hai juga! Apa kabar?" tanya Luka.
"Baik."
"Aku di sini aja deh sama dia." kataku dengan nada badmood.
"Kamu itu ke sini tujuannya menemaniku. Kok malah mau di sini aja." katanya kesal juga.
"Rasanya kamu juga ga perlu kutemani."
"Ah, ya sudahlah. Terserah kamu." katanya sambil berjalan sendiri.
Nana sampai bingung melihat kami, "Kenapa, Ndah?"
"Ga tahu, aku didiamkan dari tadi. Katanya aku salah kostum, apa iya?"
"Ga juga, bajumu bagus kok. Tapi rasanya memang di sini jarang yang pakai baju tanpa lengan begini." kata Nana.
"Padahal biasa banget deh. Ada juga tuh beberapa. Apa dandananku menor?"
"Kamu dandan? Soft banget gini nyaris ga kelihatan."
Kami duduk di pojok sambil melihat orang lewat. Alfonsus menyapa Nana, "Akhirnya datang, Na?"
"Iya. Padahal malas ketemu kalian!" jawab Nana.
"Sebentar, aku sepertinya kenal denganmu. Indah ya?" tanyanya padaku.
"Iya."
"Hai, Ndah! Waduh kamu makin indah dipandang begini!" katanya sambil tak sungkan menyentuh lenganku beberapa kali. "Apa kabar nih? Tunggu, bukankah kamu bukan alumni?" lanjutnya.
"Memang bukan." jawabku ketus. Risih dengan perlakuannya yang sok dekat.
Akhirnya datang beberapa teman-teman. Sayangnya teman akrabku banyak yang bukan alumni sini. Ada Nia tapi sepertinya sudah melupakanku. Maya malah kaget saat kusapa. Evi yang heboh menyapaku, "Ada kamu, Ndah? Sama siapa? Seingatku kamu bukan alumni sini kan?"
"Kamu bawa bayi begini masih semangat datang acara reuni ya." kataku mengalihkan pembicaraan.
"Yuk gabung sama anak-anak!" ajaknya. Terpaksalah aku dan Nana duduk bersama teman-teman Evi.
"Jadi kalian bareng kemari? Itu mantan gebetanmu datang juga lho. Cakep banget sekarang. Kata teman-temannya kayak artis drama. Kamu ga mau ketemu tuh?" tanya Evi.
"Mantan gebetanmu ada? Oh, aku lupa, jelas ada. Gebetanmu kan banyak." kataku sambil tertawa. Nana sampai bingung melihatku dan berbisik, "Kenapa ga bilang kalo dia itu pacarmu?"
"Dia aja meninggalkan aku begini. Malu kali sama teman-temannya." jawabku.
"Ndah, mantan gebetanmu menuju ke sini tuh! Disapa dong!" kata Evi membuatku panik. Entah mengapa aku malah kabur menuju toilet.
"Eh, aku ke toilet dulu ya!"
"Cie, panik mau ketemu mantan gebetan. Kamu masih aja kayak bocah ABG." teriak Evi yang kuabaikan.
Aku di toilet tak melakukan apa-apa. Notifikasi pesanku berbunyi, sebuah pesan dari Luka, "Kamu di mana sih?"
"Sembunyi. Katamu salah kostum." balasku.
"Halah, gitu aja. Ayo makan!" balasnya lagi.
"Makan aja deh! Aku pulang aja ya."
"Heh, ga usah aneh-aneh! Ini aku duduk sama Nana. Tadi dipanggil sama temanmu satunya lagi."
Orang ini memang aneh. Sebentar diam, sebentar berisik. Sebentar jutek, sebentar ramah. Tapi dia memang dari tadi ramah pada semua orang kecuali padaku. Aku keluar dengan grogi menuju tempat mereka duduk.
"Ini lho, Ndah, mantan gebetanmu dulu." kata Evi.
"Oh, jadi kamu dulu naksir aku?" kata Luka dengan santainya.
"Itu, itu, Evi mengarang."
"Halah, bilang iya aja kenapa? Aku toh juga tahu." jawabnya masih sambil meneruskan mengupas jeruk.
"Kamu tahu, Kak? Oya? Kok bisa?" tanya Evi bersemangat.
"Kalo ga naksir, ngapain telepon-teleponan sama aku? Cewek agresif kata mamaku." katanya sambil menyuapkan jeruk padaku yang sedang bengong.
"Trus kamu gimana nih? Wah, aku melewatkan ceritamu, Ndah!"
"Sebenarnya aku mulai suka juga sih, tapi mau kuliah. Cari yang lain aja deh." jawabnya tetap santai.
"Masih mau?" tanya Luka padaku. Aku hanya menggeleng.
Bocah di gendongan Evi mulai rewel dan Evi dengan santai menyusui di depan kami. Padahal ada beberapa pria juga duduk di sekitarnya. Nana yang spontan menutupi dadanya dengan selendang. Luka sampai sedikit salah tingkah. Aku juga agak kaget dan malu.
"Eh, maaf. Maklum repot bawa bocah." kata Evi saat sadar kelakuannya barusan. Nana berbisik padaku, "Duh, aku malu nih! Evi ini kok ga ditutup sih?"