Mempunyai pacar cuek dan pelupa kadang-kadang sungguh mengesalkan. Bahkan hari Valentine pun aku tak bersamanya yang malah sibuk dengan pekerjaannya. Saat itu kami sudah berjanji untuk makan es krim bersama. Aku tahu dia sibuk, jadi aku berangkat sendiri. Sayangnya, dia malah membatalkan saat aku sudah menunggu di sana selama satu jam.
Aku kesal saat itu, tapi berpura-pura baik-baik saja. Mencoba memahami situasi. Lagi pula aku juga berjanji untuk tak berkelakuan childish. Toh aku juga tak terlalu mengistimewakan perayaan seperti itu.
Satu tahun sudah papaku meninggalkan kami. Tak ada acara besar sebenarnya, tapi mama memintaku pulang. Kakakku malah datang bersama keluarganya. Saat itu, Luka berjanji mengantarku pulang. Menjelang jam-jam terakhir ia malah mengirimiku pesan, "Ndah, sorry, aku harus keluar kota mendadak. Mungkin baru balik hari Selasa. Sorry ya, bisa pulang sendiri kan?"
"Kerjaan mendadak lagi?"
"Iya nih, maaf ya."
"Hmm, baiklah."
Sejujurnya saat itu aku ga baik-baik saja. Sudah terlalu banyak pembatalan mendadak kuterima. Alasan selalu saja kerjaan mendadak. Ingin marah, tapi mamaku menasihatiku bahwa pacaran bagi orang dewasa itu beda sama gaya pacaran ABG. Bukan lagi bicara soal jalan, makan, nonton dan hal-hal menyenangkan lainnya.
Aku belajar menerima dan mengerti. Toh selama ini aku sudah mulai terbiasa. Tapi kadang-kadang masih kesal juga. Padahal bersamaan dengan peringatan papaku, sama juga dengan tanggal jadian kami. Setidaknya begitu yang kami tetapkan. Baik aku dan dia sama-sama lupa kapan tanggal jadian kami. Semuanya mengalir begitu saja.
Hari itu ulang tahunnya, jatuh di malam Minggu. Waktu yang tepat untuk memberinya kejutan. Dari pagi aku sudah berkutat di dapur. Aku berniat memberinya tart nasi kuning. Sesuatu yang tak pernah kucoba sebelumnya. Hal gila yang kulakukan. Membuat seeuatu dengan tingkat keberhasilan tak jelas.
Menjelang sore aku sudah berdandan dan menuju ke rumahnya. Kak Andy yang membukakan pintu, "Alex ga kelihatan, Ndah. Tunggu aja di dalam."
"Ya, Kak." jawabku sambil membawa bungkusan itu masuk.
"Wah, kamu bikin sendiri nih? Bagus juga." tanya Kak Andy saat melihat tart tumpeng buatanku.
"Thanks, tapi rasanya jangan ditanya, ini pertama kali aku buat." jawabku.
"Ditelpon aja biar buruan balik." kata Kak Andy.
"Gapapa, kutunggu aja. Lagian ponselku ketinggalan." jawabku.
"Oke, kusuruh pulang." kata Kak Andy sambil masuk ke kamarnya mengambil ponsel.
"Ndah, ponselnya ga aktif. Apa kalian sudah janjian?"
"Belum sih, cuma aku bilang mau kemari merayakan ulang tahunnya. Apa ga bilang mau ke mana?"
"Ga bilang sih, tapi dari aku pulang tadi ga lihat dia di rumah. Biasanya masih ketemu sebelum dia pergi kencan sama kamu. Eh, nanti kutinggal ya." katanya.
"Baiklah."
Aku menungguinya yang tak ada kabar sambil sedikit khawatir. Pukul 22:00 dan Kak Andy pulang, Luka masih belum muncul.
"Lho, Alex belum pulang, Ndah?" tanya Kak Andy.
"Iya nih, bisa tolong ditanyakan? Aku tadi mau pulang juga bingung karena ga punya kunci rumah ini." jawabku. Kulihat Andy menelepon Luka.
"Nih, bicaralah sendiri!" katanya sambil memberikan ponsel padaku.
"Sorry, Ndah, aku tadi terburu-buru pergi dan ponselku mati kehabisan daya. Mamaku jatuh dari tangga." kata Luka.
"Oh, trus ini gimana?"
"Mamaku besok dioperasi, patah tulang."
"Kok ga bilang sih, Kak? Kenapa sih ga pernah ingat memberi kabar padaku? Aku kan sudah susah-susah membuatnya."
"Iya, lupa, tadi panik. Apa yang kamu buat? Makan aja sendiri ya!"
"Ya sudahlah kubuang aja, semuanya ga pernah penting buat kamu." jawabku menahan air mata dan menutup teleponnya.
"Kak, aku pinjam telepon ya buat panggil taxi. Itu kutinggal di sini aja. Kalo ga enak atau sudah basi, buang aja!" kataku.
"Ga kamu bawa aja kah?"
"Aku ga punya kulkas, segitu ga mungkin habis. Pinjam ya buat panggil taxi."
Kulihat Kak Andy memfoto tart kreasiku itu. Mungkin untuk dikirimkan pada Luka. Aku segera pulang saat taxi datang. Jelas aku kecewa, sedih dan marah. Semua rasa bercampur membuatku menangis terisak-isak di taxi.
Sampai di kosku, kubuka ponselku dan ada pesan dari Luka, "Jangan buang-buang makanan!"
Aku yang sedang emosi dan kecewa berat, langsung kutelepon, "Berapa kali sih harus begini?" tanyaku.
"Ini emergency, Ndah!"
"Apa susahnya memberiku kabar? Apa susahnya meluangkan waktu sebentar aja? Aku sekarang tahu, aku ga pernah ada di pikiranmu. Ga penting buatmu. Sudah ga usah beralibi lagi."
"Aku ini lagi panik, bingung. Bukannya malah dihibur, malah disalahkan begini."
"Waktu itu kamu janji datang dan ga datang. Bahkan saat peringatan satu tahun papaku, kamu juga batal mendadak. Hari ini kamu tahu aku mau ke sana, tanpa kabar malah menghilang. Teruskanlah!"
"Kan aku sudah minta maaf, kamu sudah memaafkan. Kok diungkit lagi? Ini penting banget karena mamaku sakit."
"Jadi acara papaku ga penting kan?"
"Kan papamu sudah ga ada, mamaku masih ada."
"Oh, gitu. Sudahlah semakin paham aku ga penting dan ga pernah penting buatmu."
"Bukan ga penting, tapi ini emergency."
"Aku jadi ragu, tiap kita janjian kamu mendadak ada kerjaan. Benar ada kerjaan atau hanya alasanmu saja?"
"Ah, sudahlah, Ndah. Maumu apa? Mau minta putus? Okelah, putus aja daripada kamu tersiksa terus."
"Ini ternyata yang kamu mau. Bilang langsung, ga usah terlalu banyak beralasan. Aku bisa diberitahu baik-baik. Bukan gini caranya."
"Ah, malas mendengarmu. Kamu sama sekali ga pengertian." katanya sambil mengakhiri pembicaraan.
Baiklah, artinya dia memutuskanku. Seharusnya aku sadar, orang seperti dia mana mungkin bertahan denganku? Apa istimewanya aku? Aku menangis semalam sampai tertidur. Seharian capek, tak dihargai dan akhirnya begini. Sungguh ga pernah kupikirkan sebelumnya.
Dua hari kami tak saling menyapa tapi kulihat dia masih memasang fotoku di akunnya. Aku jelas tak suka digantung. Kukirim pesan padanya, "Jadi apakah kita benar-benar berakhir?"
Lama tak ada balasan. Aku tak berkonsentrasi hari itu. Danny yang sudah lama suka mencari perhatianku sampai menanyaiku, "Ada masalah sama pacarmu? Sudah putuskan saja, kamu lebih baik bersamaku. Aku lebih mampu menyayangimu." katanya.
"Halah, gombal terus!" jawabku.
"Serius, aku akan selalu ada buatmu."
"Ah, gombal! Cowok kok dipercaya."
"Kan tak semua laki-laki bersalah padamu, Ndah!"
Aku hanya menertawakannya. Dia bisa bilang seperti itu karena belum menjalaninya. Sama, Mario juga pernah berkata begitu dan akhirnya menyerah. Luka memang tak pernah berkata demikian, jadi ga salah dia seperti ini.
Pesan Luka masuk menjelang jam pulangku, "Ya." jawabnya singkat. Artinya kami memang sudah berakhir. Seketika duniaku berhenti berputar. Dia yang berkata takkan menyerah, dia yang terlalu muluk berucap. Akhirnya aku tahu, orang cakep memang berbahaya. Segera kulepas kalung hadiahnya. Kumasukkan amplop hitam.
Sore itu aku ke rumahnya, tak ada orang. Kutelepon dia, "Di mana?" tanyaku.
"Di Jakarta."
"Oh, oke." kataku sambil menutup telepon. Dia juga tak bertanya keperluanku. Memang dia tak pernah peduli, hanya aku yang bodoh selama ini menganggap dia cinta padaku. Kutelepon Kak Andy yang sedang dalam perjalanan pulang. Aku duduk di teras depan pagar sambil tak berhenti menangis. Entah menangisi patah hati atau kebodohanku ini.