Luka Ini Indah

L
Chapter #35

35. Setia

Akhir tahun ini Nina datang. Ia mengajakku dan teman-teman jalan ke Bromo akhir tahun itu, meskipun tak tepat pada malam pergantian tahun. Ia malah menyuruhku mengajak Luka. Sebenarnya aku ragu mengingat dia sibuk tapi ternyata dia menyetujuinya.

Malam sebelum keberangkatan kami, aku menginap di rumah Luka karena lokasinya lebih dekat dengan stasiun. Tentu saja tak pakai izin mamaku. Rizal, teman kantornya datang membawa bungkusan.

"Eh, ada Indah. Mengganggu ga nih aku datang?"

"Ga. Kalo ga ingin terganggu kuusir sekalian si Andy. Ada apa?" jawab Luka.

"Nih, titipan khusus dari Pak Irfan. Kamu terburu-buru pulang sih tadi." jawabnya.

"Kupikir kan sudah selesai acaranya. Lagi pula banyak yang udah pulang."

"Kan kamu spesial." katanya.

"Ngawur!"

"Alex ini anak kesayangan bos. Calon menantu yang batal." katanya. Luka sudah memberi isyarat untuk tak melanjutkan, tapi tetap saja berlanjut.

"Oya?" kataku.

"Itu dulu kan anaknya bos pernah ketemu sama dia pas acara family gathering tahun lalu. Sepertinya otomatis terpesona karena sikapnya yang katanya gentle banget. Pak Irfan langsung mendukung niat anaknya. Eh, tiba-tiba dia gandeng kamu, langsung patah hati deh Pak Irfan."

"Pantas langsung dihujani kerjaan terus ya? Jadi sok sibuk gitu." kataku.

"Habis ini ganti bos kok, Ndah. Bulan ini dia sudah pindah tugas. Sabar ya, begitulah resiko bersama artis kantor." kata Rizal lagi.

Aku hanya tersenyum. Ternyata instingku cukup tepat. Aku jadi merasa dibohongi. Tiba-tiba aku jadi khawatir kalo firasatku tentangnya semuanya benar.

"Namanya bangkai mau ditutup bunga sekarung juga tetap busuk baunya. Ya kan?" kataku.

"Waduh, ga enak nih hawa-hawanya. Bukan sejelek itu, Ndah. Buktinya dia tetap memilih bersamamu kan? Apa perlu dipertanyakan keseriusannya?" kata Rizal terlihat bersalah.

"Ini mau revisi cerita gitukah? Gapapa, aku sudah terbiasa mendengar alasannya kok." jawabku.

Luka sepertinya bersiap marah besar, entah padaku atau pada Rizal yang membocorkan rahasianya. Aku jadi menyesal hari ini harus menginap di sini dan beberapa hari ke depan masih terus bersamanya.

"Masuk aja deh kamu daripada pikiranmu makin kacau!" kata Luka padaku.

"Ga mau ah, nanti temanmu kamu marahi karena membongkar rahasiamu." jawabku.

"Aku pulang deh. Maaf, Lex, kukira dia sudah tahu." kata Rizal.

"Gapapa, aku juga sudah biasa ga dipercaya. Thanks ya udah antar ini. Mau hujan hati-hati!"

"Jangan lupa bilang sama Pak Ir. Ntar dikira ga sampai padamu."

"Oke."

Rizal pulang dan Luka tak mengajakku bicara. Aku juga bertahan diam. Dia menelepon seseorang, mungkin mantan atasannya itu. Aku juga tak ingin mendengar. Kutinggal ke dapur mengambil minuman.

"Jadi, apa aku masih perlu ikut?" tanyanya saat mendatangiku yang sok sibuk mencuci piring di dapur.

"Terserah." jawabku kesal.

"Ya sudah, aku tetap ikut supaya pikiranmu ga makin tersesat." jawabnya.

Aku berbalik melihatnya berjalan sampai menghilang masuk ke kamar. Apa maksudnya pikiranku tersesat? Segera kuselesaikan kegiatanku dan menyusulnya.

"Sebagian instingku benar kan? Jangan meremehkan insting wanita!" kataku.

"Benar. Aku ga meremehkan, justru karena aku tahu responmu bakal seperti ini maka aku ga cerita. Bukan berarti aku bohong, cuma ga cerita detail aja." jawabnya masih santai.

"Ga cerita detail sama juga menyembunyikan sesuatu. Sama dong dengan bohong."

"Kamu ini pintar cari masalah. Sebaiknya cari solusi bukan cari masalah terus. Aku ga berbuat apa-apa masih juga disalahkan. Demi kamu aku terima aja semuanya. Kalo aku mau enak, lebih baik jalani aja dua-duanya."

"Oh, enak berarti kalo menuruti bosmu? Ga enak kalo sama aku kan?"

"Iya emang, enak menuruti bosku." jawabnya.

"Ga usah ikut deh besok! Perbaiki aja hubunganmu sama bosmu biar hidupmu enak!" jawabku sambil mengambil tasku di sebelah ranjang.

"Mau ke mana?"

"Pulang kos."

Mungkin dia menahan emosi dari tadi. Didorongnya tubuhku sampai jatuh di atas ranjang. Aku berniat bangun, dia menahanku. Semakin aku berusaha, semakin kuat juga dia menahanku. Aku menyerah akhirnya.

"Lepaskan, aku mau pulang!"

"Bereskan dulu masalah kita!"

"Sudah beres, kubebaskan kamu supaya enak. Kan katamu enak menuruti bosmu."

"Tadi Rizal juga sudah bilang kan, Ndah. Aku memilihmu. Memang enak menuruti atasanku, lebih enak lagi kalo kamu menurutiku sekarang. Jangan dipermasalahkan lagi! Aku berniat serius denganmu! Aku ga suka dikacaukan dengan masalah begini berulang-ulang."

"Makanya ceritakan semua padaku. Jangan ada yang disimpan sendiri! Aku takut instingku tentangmu semuanya benar."

"Apa instingmu tentangku?" katanya sambil bergeser ke sisi sebelahku. Kami berbaring bersama sambil menatap langit-langit kamar.

"Kamu akan berselingkuh suatu hari nanti." jawabku.

"Itu bukan insting tapi kekhawatiranmu. Aku pun bisa khawatir gitu. Semua itu mungkin, namanya manusia bisa berubah-ubah. Ga ada jaminan. Aku juga ga menjamin aku ga berubah. Sekarang aku cuek, bukan ga mungkin aku akan lebih cuek atau lebih care."

"Hmm, kenapa ga bisa menjamin?"

"Aku ga bisa menjamin, tapi aku bisa memastikan kalo aku ga pernah punya niat seperti itu. Daripada memikirkan hal buruk yang belum tentu terjadi, kenapa ga pernah memikirkan hal positif yang mungkin juga bisa terjadi?"

Aku tak menjawab lagi, hujan masih mengguyur, cuaca juga sejuk. Mungkin hanya hatiku yang sempat panas. Sekarang pun aku mulai mengantuk. Suasana hening, dia tak berbicara aku juga tak berbicara. Lama-lama aku terpejam.

"Lex, pinjam motor dong!" teriak Andy mengagetkan tapi aku tak terbangun. Kulihat Luka terbangun kaget.

"Eh, maaf. Aku ga tahu kalian sudah tidur. Habis pintu ga dikunci sih." lanjutnya.

"Ngapain dikunci segala? Bukan berniat tidur tapi ketiduran. Aku belum berkemas-kemas nih! Lagian mana ada tidur posisi begini?" jawab Luka. Aku melanjutkan tidur daripada malu.

"Pinjam motor dong! Lupa isi bensin aku tadi." kata Andy.

"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Luka.

"Ada perlu ke rumah Linda." jawab Andy.

"Nih." kata Luka sambil memberikan kunci motornya.

"Aku pergi dulu. Awas ada setan lewat, bahaya!" kata Andy.

"Ya kamu itu barusan lewat." jawab Luka sambil melanjutkan berkemas-kemas. Sekilas dia menengokku sambil membetulkan posisi tidurku lalu mematikan lampu dan keluar.

Beberapa saat kemudian dia masuk lagi. Sebenarnya aku tak bisa tidur, sedikit resah entah mengapa. Ternyata Luka malah menonton film horor di sini. Suara film itu mengerikan tapi aku tetap berpura-pura tidur. Kudengar kadang Luka mengumpat karena kaget. Kurasa cukup lama aku masih mendengar film itu sampai aku akhirnya benar-benar terlelap.

Aku terbangun subuh itu karena bermimpi buruk. Aku kaget karena Luka tidur di sini memakai kasur lipat. Kuamati wajahnya, sepertinya dia laki-laki baik. Tapi mengapa aku susah mempercayainya? Entah dia ga nyenyak tidur atau aku mengganggunya, ia terbangun juga, "Duh, kaget! Ngapain kamu?" tanyanya.

"Sorry, kenapa kamu di sini?"

"Banyak nyamuk, lagi pula ngeri habis nonton horor. Apa mengganggu?"

"Ga juga sih, kaget aja ada kamu di sini. Ngapain bangun?"

"Rambutmu itu kena mukaku, ngapain mengintip segala? Bikin horor aja! Masih gelap, tidurlah lagi!" katanya sambil berbalik.

Aku berusaha tidur tapi tetap ga bisa. Seumur-umur aku baru sekamar berdua dengan pria begini. Biasanya selalu beramai-ramai.

"Kak!" panggilku.

"Hmm." gumamnya.

"Apa putrinya Pak Irfan cantik?"

"Lumayan."

"Kriska dulu atau putrinya Pak Irfan?"

"Hmm, entahlah."

"Kapan ketemunya?"

"Aku ngantuk, Ndah. Apa penting dibahas lagi?"

"Ga sih, tidurlah."

"Hmm."

Aku melanjutkan tidur walaupun tak seberapa nyenyak sampai alarm berbunyi. Matahari sudah terbit. Aku bangun dan terduduk di atas ranjang. Tirai jendela kamar ini tak ada yang tertutup. Mungkin dia juga tak nyaman berdua denganku di sini.

Aku masih iseng mengintipnya yang terlihat masih nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun, aku pun memundurkan wajahku.

Lihat selengkapnya