Valentine itu Luka mengajakku ke sebuah acara di luar kota. Mungkin itu Valentine pertamaku bersamanya. Mungkin aku terlalu senang sampai lupa bertanya-tanya.
Kami berangkat siang itu langsung menuju sebuah hotel berbintang. Hal yang tak biasa tentunya. Apalagi hanya menyewa satu kamar. Sebenarnya sedikit menakutkan.
Standing party di hotel yang sama. Ternyata ini sebuah acara ulang tahun pernikahan, cukup mewah. Malam itu dia terlihat rapi dengan memakai setelan jas. Aku ga bertanya karena sibuk berdandan. Aku memilih mengungsi ke kamar mandi daripada diamati olehnya.
Sampai di tempat acara, Luka malah berpamitan. Cukup lama dia menghilang. Apa pula maksudnya mengajakku tapi ditinggal sendiri? Padahal aku sampai belajar berdandan untuk acara ga jelas ini.
Daripada kesal, aku berkeliling melihat-lihat stand makanan. Sepertinya pemilik acara cukup berada. Kuambil beberapa kue. Entah aku kelaparan atau memang enak, aku mengambilnya lagi beberapa kali. Pria berkacamata di seberang tersenyum padaku. Aku bingung karena tak merasa kenal jadi kuabaikan.
Kubawa kue ke pojok ruangan. Luka benar-benar meninggalkanku. Acara sudah dimulai dan dia belum muncul. Kuteruskan mengunyah karena kesal.
"Minta dong, Sayang." kata Luka sambil merangkul pinggangku dari belakang.
"Hih, sapaan yang menjijikkan!" jawabku.
"Ini namanya romantis." jawabnya.
"Hih, mengerikan!" jawabku lagi.
"Aku juga ngeri mengucapkannya. Eh, ikut aku sebentar!" katanya sambil melingkarkan tangan di pinggangku. Tumben dia seromantis ini.
"Seharusnya aku itu ditemani, bukan ditinggal-tinggal."
"Ngomel terus kucium lho! Diajak salah, ga diajak marah. Wanita yang aneh!"
"Kamu yang aneh! Katamu acara kantor ga boleh ajak orang lain, tumben diajak eh ternyata ditelantarkan."
"Ini bukan acara kantor, ini acara keluarga. Itu sepupu mamaku yang beracara."
Langsung kucengkeram pergelangan tangannya, "Tunggu, maksudmu ini acara keluargamu?"
"Iya."
"Kok ga bilang?"
"Kamunya ga tanya." katanya sambil menggandengku dan kami berjalan menuju satu meja di dekat panggung. Kulihat dari jauh seorang wanita seumuran mamaku duduk si kursi roda.
"Ma, kenalkan ini Indah." katanya membuka obrolan. Wanita itu menoleh padaku tanpa ekspresi. Pria berkacamata tadi berdiri di belakangnya. Aku grogi sampai tanganku dingin. Kuulurkan tangan pada wanita itu, "Selamat malam, Tante." sapaku.
"Ya." jawabnya singkat.
"Itu adikku, Ius." kata Luka memperkenalkan adiknya sekeluarga. Aku ga bisa menyembunyikan kekagetanku ketika dia menyebut adiknya. Tak ada kemiripan di antara mereka.
"Kaget ya, Kak? Kami memang ga mirip sama sekali." kata Ius sambil tersenyum.
"Anu, ehm, bukan sih." jawabku terbata-bata.
"Sudah makan?" tanya mamanya.
"Belum, Tante. Tapi sudah makan banyak kue." jawabku sedikit malu pada adiknya. Tadi tertangkap basah beberapa kali maju ke stand kue dan makan dengan lahap seperti orang rakus.
"Ajak makan sana, Lex!" kata mamanya. Kami berpamitan setelahnya. Belum jauh ketika kupukul lengan Luka keras-keras menyalurkan kegrogianku.
"Aduh! Ini gila di depan mamaku berani memukulku begini!" katanya.
"Habis kesal! Kenapa sih ga bilang?"
"Kan kamu ga tanya."
"Takut nih!"
"Kenapa takut?"
"Ya takut aja. Gimana kalo mamamu ga setuju?"
"Hmm, seharusnya ga. Kenapa harus ga setuju?"
"Entahlah, feeling aja. Mungkin beda kelas ekonomi. Mungkin ga suka padaku. Tanggapannya dingin."
"Keluarga sepupu mamaku memang kaya. Kalo keluargaku biasa aja. Lagian apa hubungannya kekayaan dengan kita?"
"Entahlah."
"Yuk, makan aja!"
"Ga nafsu makan."
"Trus nafsu ngapain?"
"Ah, ga tahu deh!" jawabku sambil mengambil gelas minuman yang ditawarkan.
"Kamu bisa minum alkohol?" tanya Luka melihatku menenggak cairan merah di gelas itu.
"Ga."
"Itu wine lho. Segitu langsung diminum semua."
"Enak, gapapa sedikit aja."
Akhirnya kami berdiri di pojok ruangan melihat acara itu sambil memegangi piring berisi makanan. Datanglah seorang wanita ke tempat kami, "Halo, siapa namamu?" tanyanya padaku.
"Indah." jawabku singkat.
"Ius sudah punya dua momongan, kamu masih aja sendiri, Lex."
"Ini berdua gini."
"Oiya sih. Oya, Sylvi masih sering kontak?"
"Jarang. Gimana kabarnya?"
"Ya begitulah. Ini kenal di mana kalian?"
"Di sekolah dulu. Adik kelasku."
"Oh sedaerah berarti?"
"Iya, Lin."
"Diajak gabung dong, dikenalkan sama tetua-tetua biar segera dilamarkan." kata wanita itu.
"Iya, nanti aja." jawab Luka.
Ketika acara foto keluarga, Luka mengajakku naik ke panggung. Saat itu seorang bibinya bertanya padaku, "Apa kalian sudah bertunangan?"
"Belum, Tante."
Setelah itu dia berbisik-bisik pada Luka dan sepertinya mereka sedikit berdebat. Sepintas kudengar bibinya berkata, "Nanti kalo kalian putus ga baik fotonya masih terpampang."
Wajah Luka seperti menahan amarah. Mamanya lalu menengahi, "Gapapa, fotonya ga usah dipasang." katanya. "Yuk, maju! Sudah dipanggil tuh." lanjutnya sambil menggandengku.
Tatapan bibinya kurang mengenakkan. Aku jadi ga enak hati, "Ga usah, Tante. Makasih." jawabku.
Luka menarikku, sebenarnya aku ga ingin maju. Aku sadar bibinya ga menyukaiku. Setelah acara foto aku berdiri agak jauh dari mereka sambil mengambil segelas wine lagi. Enak juga ternyata sensasinya. Aku menjauh tapi masih bisa mendengar percakapan itu. Sepertinya bibinya sengaja supaya aku mendengarnya.
"Lex, tirulah Darius, pintar cari pasangan. Masa kamu lebih cakep malah cari yang biasa?" kata bibinya.