Di sebuah rumah kecil yang terletak di pinggiran kota Jakarta, hujan turun dengan derasnya, menciptakan irama yang seakan menari di atap rumah tua yang mulai rapuh. Tetesan air itu bersaing dengan desah napas seorang gadis muda yang terbaring di tempat tidurnya. Namanya Kirina Aspandi, seorang gadis yang baru saja berusia tujuh belas tahun dua hari lalu. Gadis itu sedang ragu dengan gaun manis berwarna merah jambu di depannya. Gaun yang secara khusus dibelikan oleh sang ibu untuknya, gaun yang awalnya ia kira adalah simbol perdamaian- namun justru sebaliknya.
Ayah Kiri, Bapak Rudi, bekerja sebagai satpam di sebuah sekolah swasta elit, sementara ibunya, Ibu Sari, menghabiskan hari-harinya terperangkap dalam rutinitas rumah tangga yang monoton dan tanpa harapan. Ketidakberdayaan ibu Sari telah mengakar dalam dirinya, sebuah warisan patriarki yang mendalam dari keluarganya. Segala penderitaan yang ia alami diwariskan begitu saja kepada Kiri. Sementara itu, adik laki-laki Kiri, Bhaskara, adalah anak yang sangat dimanjakan. Semua keinginannya dipenuhi tanpa batasan, dan tak jarang hak-hak Kiri sebagai kakak harus dikorbankan demi memenuhi segala keinginan Bhaskara. Walau sesungguhnya adalah hal yang wajar ketika seorang kakak mengalah untuk adiknya, namun rasanya sulit untuk Kiri- harus merelakan segalanya hanya untuk memuaskan keinginan sang ibu.
Kiri memiliki seorang sahabat laki-laki bernama Langit, yang tinggal tepat di depan rumah mereka. Sejak kecil, Langit telah menjadi teman setia Kiri, yang dengan sabar memahami kesulitan yang dialaminya—dari jarangnya Kiri makan, hingga pakaian yang anak itu kenakan, sebagian besar merupakan pakaian bekas milik kakak sepupunya. Langit selalu hadir di sisi Kiri, berusaha membuat sahabatnya itu tertawa sekalipun hidupnya terasa amat getir.
***