Aku tumbuh dan hidup dengan keadaan yang cukup mengerikan. Bahkan, aku sempat berfikir apa kelahiranku ini hanya sebuah bercandaan saja untuk mereka?
Satu hari, ketika sedang membaca prosa tentang Calon Arang di perpustakaan sekolah, aku merasa hidupku adalah suatu cerita yang coba diulang kembali oleh semesta dengan rentang waktu yang berbeda. Tidak menyesal, hanya saja aku membutuhkan kekuatan yang sangat dan sangat besar, untuk bisa terus bertahan di tengah badai yang entah kapan akan berakhir ini.
Sungguh, aku mencintai mereka dengan segenap hidupku yang runyam, tapi sayangnya mereka tidak melakukan hal yang sama padaku. Jadilah aku yang sekarang tetap menyayangi mereka, sebanyak aku pun membenci hidupku.
Hidupku ini hanya bisa mengambang tanpa bisa menepi. Lalu seketika aku harus tenggelam dengan paksa, tanpa tau dan faham kalau ternyata selama ini aku tidak pernah bisa berenang. Selama ini, aku hanya mengambang mengambang mengambang dan terus mengambang seperti gelembung udara di lautan, yang sewaktu-waktu bisa saja pecah.
“Untuk apa Ibu melahirkanku, kalau Ibu sama sekali tidak menganggapku sebagai manusia yang hidup? Kalau Ibu tidak mampu menerimaku sebagai seorang putri, setidaknya anggap aku ada.”
Masih sangat jelas terdengar di telingaku, seberapa keras suara tamparan itu. Anehnya, itu sama sekali tidak menyakitkan. Bagiku, sudah tidak penting lagi seberapa keras Ibu dan Ayah menghajarku dengan tangan mereka, karena sejujurnya aku sudah tidak tau harus merasakan apa lagi.
“Kalian bahkan tidak mengizinkanku untuk mati dengan tenang.”
Ya, aku nyaris mati setelah menelan banyak pil tidur di malam berhujan dengan petir. Mereka terburu-buru membawaku kerumah dokter yang tinggal disebelah rumah kami. Dokter itu, biasa membantu tentangganya yang kesulitan seperti kami ini. Saat itu, aku tidak benar-benar ingat apa yang terjadi, karena setelahnya aku sudah tergeletak di ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan.
Setelah itu, selama aku masih dalam keadaan mengkhawatirkan, Ibu memang sempat bungkam untuk beberapa saat. Namun, sikapnya kambuh, bahkan semakin kejam padaku saat tubuhku mulai pulih.
Hanya dua hal di muka bumi ini tentangku, yang bisa membuat Ayah dan Ibuku bersikap baik. Yang pertama, nilai sekolahku yang tidak pernah jelek. Dan uang beasiswa yang diberikan seorang dermawan padaku setiap bulannya. Bukan hanya uang untuk sekolah, tapi semua keperluanku juga ditanggung oleh orang baik itu.
Sebagian uang yang mereka ambil itu, digunakan untuk menyenangkan adik laki-lakiku. Mulai dari uang sekolah, hingga hal remeh seperti mainan. Aku tidak masalah harus berbagi dengannya, tapi ada satu waktu aku merengek pada mereka karena kesal, merasa tidak diperlakukan dengan adil. Uang beasiswa itu adalah bagian dari hidupku, haruskah mereka merampasnya juga? Dengan dalih aku sebagai sang Kakak, harus berbagi dan membantu adiknya, mereka dengan mudah merampas milikku. Tidak, Ayah Ibu dan Adikku bukan mereka, tapi keluargaku sendiri yang merampasnya dariku.
“Kenapa kalian menggunakan uangku untuknya? Ayah masih cukup bugar dan sehat, untuk sekedar bisa menghidupi anak laki-lakinya!"
Benar saja, lagi-lagi aku mendapatkan tamparan dan pukulan keras di kepala. Malam itu, aku tidak lagi ingin mati. Tapi aku berharap tidak pernah dilahirkan.