LUKA ITU, BERNAMA KIRI

Rafiahs
Chapter #3

Warisan Harapan

Aku tidak benar-benar faham dengan semuanya, setelah keluar dari rumah sekalipun, rasanya dada ini masih saja sesak tak karuan. Agaknya, setelah tinggal lama dalam cengkraman Ibu, membuatku sadar akan trauma yang mendalam ini. Aku takut melangkah, takut salah dan takut bertatap.

Memang tidak bisa kupungkiri, keberpihakan Ibu pada adik laki-lakiku, adalah satu kejadian yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Kalian tau, bagaimana rasanya menjadi tidak terlihat? Tidak dianggap? Atau bahkan dirasa tidak hidup? Jangan coba bayangkan rasanya. Karena perasaan semacam itu tidaklah mudah dicerna. Perasaan mual bercampur emosi selalu terjadi padaku saat memikirkan masalah ini. Karena pertanyaanku sekarang ini hanya satu, apa salahku?

Aku memang pintar. Tapi sayangnya pintar saja tidak cukup untuk bisa berteman atau sekedar punya "teman" di sekolah elit semacam ini. Setelah kepindahanku ke asrama, ternyata hidupku tidak lebih baik. Apa aku sudah memberitahu kalian, kalau aku bersekolah ditempat Ayahku bekerja bukan? Dan orang dermawan yang membantu uang sekolahku adalah wali kelasku, dan sekaligus teman Ayahku waktu kecil. Sepertinya wali kelasku memang sudah tau, bagaimana cara Ayah dan Ibu memperlakukanku karena beliau pernah tinggal di lingkungan yang sama dengan kami. Untuk itulah, beliau sempat memintaku untuk tinggal di asrama, namun Ayah menolaknya. Dan saat wali kelasku tau bahwa akhirnya Ayah melepasku untuk tinggal di asrama, ada kelegaan dari raut wajahnya.

"Akhirnya."

"Terimakasih Pak." Hanya kalimat itu yang mampu kukatakan padanya.

"Bapak mengenal Ayah dan Ibumu, jadi jangan pikrikan mereka. Belajar saja yang rajin, dan buktikan kau memang bisa membantu mereka nanti."

Untuk pertama kalinya, aku memasuki kelas dengan penuh senyuman. Namun kesenangan itu hanya sebentar saja. Karena hari ini, saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru memanggil kami satu persatu kedepan kelas. Beliau meminta kami untuk bercerita tentang keluarga di rumah. Entah apa yang harus kuceritakan pada mereka. Untuk beberapa menit, aku hanya mampu terdiam dan membeku. Hingga akhirnya, kalimat ini muncul dengan sendirinya.

"Sebagai Anak perempuan pertama yang dipaksa untuk hidup sesuai dengan keinginan orang tua, aku pernah dilarang melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena akan menjadi aib katanya. Ibuku sangat berambisi besar padaku, beliau suka memaksakan kehendaknya yang terkadang membuatku ingin mati. Ibu berharap aku bisa menolong adikku, yang kerjanya hanya bermain tanpa perlu berusaha. Baginya, anak perempuan hanya aset yang bisa ia jual kapan saja. Hatiku, perasaanku, tidak penting baginya." Air mataku seketika jatuh. Tidak ada yang bersuara, mereka diam. Guru memelukku dengan halus, beliau tersenyum sembari menepuk pundakku halus.

Setelah pelajaran selesai, mata teman-teman sekelasku tidak lagi sama. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku, akupun tidak perduli. Hanya saja, untukku yang pendiam dan tak pandai berteman, rasanya mata-mata itu seakan sedang menghukumku karena berani dengan terang terang-terangan menghina Ibuku sendiri di depan umum.

Aku membuka mulutku lebar-lebar dan tidak bisa lagi menarik kembali apa yang baru saja kukatakan bukan?

***

 "Aku tidak memiliki kain kasa, alkohol, pengalaman, dan keterampilan. Kau sungguh ingin menyerahkan tanganmu yang sedang terluka ini padaku?" Mata kami saling memandang untuk waktu yang lama, dan anak laki-laki itu tertawa terbahak-bahak, "Sekolah ini punya ruang UKS, apa kau tidak tau?"

Langit berjalan ke wastafel dan mulai membilas tangannya yang terluka dengan santai menggunakan air keran. Luka di tangan kanannya tidak besar, tersembunyi di balik lengan bajunya yang panjang dan pendarahannya sudah lama berhenti. Darah kering yang menempelpun dengan cepat hilang. Dia mematikan keran, dan berteriak, "Ini tidak sakit, dan tidak akan membuatku mati!"

"Aku tarik semua perkataanku tadi. Tidak ada kompensasi, luka ini terjadi karena kau yang sok menjadi pahlawan."

"Hey."

"Aku tidak masalah dengan tatapan itu, kau saja yang terbawa perasaan!"

"Kau sungguh tidak marah?"

"Untuk apa marah, toh aku yang memilih untuk bercerita."

"Tapi mereka tidak berhak menghinamu dengan semua tatapan kejam itu. Setidaknya tidak dengan tatapan itu!"

"Dan sejak kapan, seorang Langit sudi ikut campur dengan urusan orang lain?" Langit adalah kawanku sejak kecil, kami sempat berpisah dua tahun lalu karena ia harus pindah sekolah. Dan sekarang, entah bagaimana bisa Tuhan kembali mempertemukan kami dalam satu kelas yang sama.

"Karena kau terlihat semakin mengkhawatirkan."

"Aku?" tanyaku dengan santai.

"Hidupku masih saja terbaca olehmu."

"Bukan terbaca, tapi memang terlihat jelas. Matamu yang lelah, garis garis hitam yang seharusnya tidak ada di wajah anak seusiamu, dan lihat seragam lusuh ini? Kali ini, seragam bekas siapa yang Ibumu pungut?"

"Jaga bicaramu tuan lebah!" kusikut lengannya yang sedang sakit dengan pelan. Namun Langit masih saja tertawa.

"Pulang sekolah nanti mampir kerumahku, Ibu pasti senang kau datang. Lumayan kan, kau bisa menghemat uang saku untuk makan."

"Tidak bisa, kalau Ibuku tau aku keluar asrama, ia bisa marah. Susah payah aku keluar dari rumah sialan itu, jangan karena masalah sepele aku harus kembali kesana, tidak ... tidak."

"Bibik masih melakukanya?" aku hanya mampu mengangguk pasrah. Bel masuk istirahat berbunyi, Langit dengan wajah semunya tersenyum. Ia memeluk pundakku dengan lembut, "Jangan khawatir, aku akan datang dan membawakanmu makanan nanti malam."

Hubunganku dengan Langit terbilang cukup unik. Kami berteman sejak masih TK, dan selalu berada di kelas yang sama. Semua seluk beluk keluargaku, Langit sudah faham. Termasuk urusan perut. Agaknya kehidupan baruku di sekolah ini, dimulai dengan sangat memalukan. Karena rupanya Langit tau, aku sedang kelaparan.

Lihat selengkapnya