Kau tidak tau bagaimana rasa sakit itu menyerang, hingga satu ketika tubuhmu sudah tidak lagi kuat menahan berat tubuhmu yang lunglai. Aku faham rasa sakit itu, mengerti bagaimana cara kerjanya, tau betul ketika tulang, kulit, darah hingga isi kepalamu akan mati dalam waktu yang bersamaan. Setidaknya begitulah cinta berkembang dihidupku. Tidak ada yang spesial, apalagi menyentuh. Semua terasa hambar, kaku, dan kelam. Kisah cinta yang biasa orang tua bagi ke anaknya, tidak berlaku bagiku. Seperti memberikan perhatian, pujian, pelukan, atau bahkan sikap sabar ketika mereka merasa kesal padaku. Yang lebih menyedihkannya lagi mereka tidak pernah mencoba memahami atau mendengarkanku dengan baik.
Aku pernah bertanya dengan guruku saat di SMP, apakah kasih sayang orang tua itu penting?
Jawabannya, tentu penting. Kasih sayang orang tua itu memberikan perasaan bahagia, aman dan nyaman. Memberikan kasih sayang pada anak-anaknya akan menunjukkan bahwa Ibu dan Ayah sangat menyayanginya dan bersyukur karena telah mendapatkan anugerah terindah dalam hidup mereka.
Namun jawaban itu sama sekali tidak berguna untukku. Setidaknya untukku. Setiap keluarga sejatinya berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anggota keluarga. Namun, ada keluarga yang tidak mampu memenuhi fungsi tersebut. Dan itulah yang terjadi pada keluargaku, mereka menyebutnya dengan disfungsional. Jadi dari semua jawaban itu, aku berkesimpulan.
Siapa bilang, mencintai seseorang itu adalah sebuah keharusan yang perlu dilakukan oleh setiap manusia. Aku tidak merasa harus terbebani dengan hal-hal klise semacam itu. Tapi, aku menghormati mereka yang bisa mengambil keputusan sebesar ini. Karena untukku yang masih SMA ini, memiliki kekasih saja itu sulitnya minta ampun. Apalagi harus membayangkan, aku harus menikah suatu saat nanti? Tidak, rasanya aku tidak akan sanggup. Mungkin ini tidak berlaku bagi anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang bahagia secara lahir batin. Tapi bagiku yang sudah hancur sejak awal, ini tidaklah mudah-butuh keberanian yang cukup besar untuk melangkah sejauh itu.
“Tidak.”
“Kalau saja keluargaku hari ini tidak ada acara, mungkin kau sudah kuajak.” Rani melipat pakaian kotornya kedalam tas, ia berencana mencuci semua bajunya di rumah. Enak memang menjadi anak satu-satunya seperti Rani ini, semua keinginannya bisa terkabul.
“Terimakasih atas tawarannya."
"Tentu, karena kau temanku."
Hari Minggu, ketika semua anak di asrama sibuk bermain dan pulang menemui keluarganya, aku justru hanya terdiam di kamar. Menahan lapar, tentu tidak. Aku sudah dapat jatah makan dari Langit. Anak itu menyelamatkan uang simpananku yang mulai sekarat. Sekolah kami tidak menyediakan makan untuk anak yang tinggal di asrama, namun kantin sudah buka sejak pagi buta dan ada supermarket 24 jam di dalam sekolah. Kami juga diperbolehkan untuk memesan makan secara online, atau keluar sebelum malam untuk membeli makanan.
Saat sedang menatap langit yang cerah, aku terpikirkan satu ide. Bagaimana kalau aku pergi menemui kakak sepupuku, dan makan siang di sana? Tempo lalu, ia pernah mengundangku untuk datang. Tapi ajakan itu kutolak, karena masih tinggal dengan Ibu. Tapi sekarang aku sudah bebas untuk pergi keluar rumah tanpa perlu izin bertele-tele kepada Ibu.
Jarak rumah Kakak sepupuku dengan sekolah lumayan jauh. Sekitar 2 jam perjalanan dengan angkutan umum. Kalau dengan ojek online bisa memangkas waktu lebih cepat. Tapi uang simpananku akan habis dalam satu waktu, kalau aku memakainya untuk mempersingkat waktu. Kuputuskan untuk tetap naik angkutan umum gratis dan berbahyar setelahnya. Hanya tiga ribu lima ratus. untuk dua jam perjalanan. Hemat namun melelahkan.
Setibanya di sana, aku disambut dengan baik, dan banyak makanan tentunya. Aku langsung makan siang dan istirahat. Suami Kakak sepupuku ini selain bekerja kantoran, ia juga memiliki toko kelontong kecil-kecilan dii depan rumah. Garasi disulap menjadi toko. Mataku sibuk melihat orang yang masuk dan pergi setelah berbelanja. Aku duduk di ruang tamu sambil menyender kursi.
"Sudah terbiasa tinggal di Jakarta?" tanya suami dari Kakak sepupuku itu.
"Entahlah," jawabku parau.
"Tidak ada yang mudah, semua pilihan pasti ada konsekuensinya. Apapun pilihanmu sekarang, tetaplah berdiri tegak di sana. Jangan goyah hanya karena orang lain."
"Betul, tidak ada pilihan yang mudah," jawabku santai.
"Maka dari itu, cobalah untuk belajar mencintai." Suara yang agak keras terdengar dari sebrang kursi yang sedang kududuki.
"Cinta barang mewah untukku, lagipula untukku yang terlahir miskin ini, cinta hanya akan menjadi beban." Kakak sepupuku yang sedang bermain dengan anaknya menghampiriku dengan wajah aneh. Disela-sela percakapanku dengan suaminya, ia datang dengan pernyataan yang amat random, tiba-tiba topik beralih menjadi aneh. Bisa dibilang dari semua supupuku, hanya dia yang paling dekat denganku. Jadi kami sudah terbiasa diskusi banyak hal.
“Bukankah memang begitu konsepnya, ketika kau mulai mencintai seseorang, artinya kau siap menambah beban untuk apapun dalam hidupmu. Karena itulah yang dinamakan dengan berbagi.”
“Berbagi dengan cara memaksa!"
“Memaksa bagaimana sih Kir?”
“Memaksa untuk dinikahi. Memaksa untuk punya rumah sendiri. Memaksa punya anak. Bukankah semua itu seperti penjara?”