LUKA ITU, BERNAMA KIRI

Rafiahs
Chapter #4

Duka yang Tak Terucapkan

Kau tidak tau bagaimana rasa sakit itu menyerang, hingga satu ketika tubuhmu sudah tidak lagi kuat menahan berat tubuhmu yang lunglai. Aku faham rasa sakit itu, mengerti bagaimana cara kerjanya, tau betul ketika tulang, kulit, darah hingga isi kepalamu akan mati dalam waktu yang bersamaan. Setidaknya begitulah cinta berkembang dihidupku. Tidak ada yang spesial, apalagi menyentuh. Semua terasa hambar, kaku, dan kelam. Kisah cinta yang biasa orang tua bagi ke anaknya, tidak berlaku bagiku. Seperti memberikan perhatian, pujian, pelukan, atau bahkan sikap sabar ketika mereka merasa kesal padaku. Yang lebih menyedihkannya lagi mereka tidak pernah mencoba memahami atau mendengarkanku dengan baik.

Aku pernah bertanya dengan guruku saat di SMP, apakah kasih sayang orang tua itu penting?

Jawabannya, tentu saja, penting. Kasih sayang orang tua adalah sumber kebahagiaan, rasa aman, dan kenyamanan. Ketika orang tua menunjukkan kasih sayang mereka kepada anak-anak, itu berarti mereka mengungkapkan betapa besar cinta dan rasa syukur mereka atas anugerah yang telah diberikan kepada mereka—anak-anak yang mereka cintai dengan sepenuh hati.

Namun, jawaban seperti itu sama sekali tak berarti bagiku. Setidaknya, untukku. Setiap keluarga seharusnya menjadi tempat perlindungan yang aman bagi anggotanya, tempat di mana cinta dan perhatian dapat tumbuh dan berkembang. Tetapi, ada keluarga yang tak mampu menjalankan peran ini. Keluargaku adalah salah satunya. Mereka menyebutnya keluarga disfungsional. Dan dari semua jawaban yang ada, aku hanya bisa menyimpulkan satu hal.

Siapa yang bilang mencintai seseorang itu adalah keharusan yang harus dijalani setiap orang? Aku tidak merasa ada beban untuk mengikuti anggapan klise semacam itu. Tapi, aku tetap menghargai mereka yang bisa membuat keputusan besar seperti itu. Bagi aku, yang masih SMA ini, bahkan memiliki kekasih saja sudah terasa seperti tantangan berat. Bayangkan saja, bagaimana rasanya membayangkan suatu hari nanti aku harus menikah? Tidak, rasanya aku tak akan sanggup. Mungkin ini berbeda bagi mereka yang tumbuh di dalam keluarga yang utuh dan bahagia, yang hidupnya terjamin penuh kasih. Tapi bagiku, yang sudah hancur sejak awal, itu jauh lebih sulit. Mungkin bukan sekadar soal cinta, tapi soal keberanian—keberanian untuk melangkah ke arah yang tak pasti, tanpa jaminan.

Dengan gaun merah muda selutut yang Ibu pilihkan untukku, dan wajah yang dirias seadanya—dengan bedak tipis dan lipstik merah yang sedikit terlalu mencolok menurutku—aku melangkah keluar kamar. Rasanya, seluruh tubuhku terasa kaku, seakan langkahku dituntun oleh sesuatu yang tak tampak. Sudah dua hari aku pulang ke rumah, setelah sekian lama tinggal di asrama. Beberapa hari yang lalu Ibu memaksaku untuk datang, dengan alasan akan ada tamu penting yang ingin bertemu denganku. Pada awalnya, aku mengira itu adalah kesempatan langka—bahwa Ibu dan Ayah akhirnya ingin merayakan hari lahirku, berkumpul bersama sebagai keluarga, merayakan keberadaanku sebagai anak perempuan mereka. Aku membayangkan hari itu akan penuh kebahagiaan, penuh kehangatan, dengan kue ulang tahun, tawa, dan percakapan ringan tentang masa depan. Namun, ternyata itu semua hanya khayalanku belaka. Harapan yang kujaga dalam diam, yang hanya ada dalam angan-angan yang semakin jauh dari kenyataan. Begitu aku melangkah ke ruang tamu, kenyataan itu langsung menghempasku. Suasana rumah terasa hampa, seperti selalu, dan pandanganku pun segera tertuju pada tamu yang dimaksud. Namun, mereka bukan orang yang kurindukan. Bukan orang yang aku harapkan hadir. 

Apa aku mengenal mereka? Tentu saja, aku mengenal mereka dengan jelas, seolah setiap detail tentang mereka terukir dalam memoriku. Pria tua di samping Ayahku adalah seorang pengusaha kaya, yang pernah menawarkan Ibu untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah megahnya. Di sampingnya, duduk seorang pria muda—yang aku tahu adalah cucunya, seseorang yang kurasa tak asing, meski kami tak pernah benar-benar berkenalan. Aku tak mengerti, bagaimana bisa mereka tiba-tiba duduk di ruang tamu kami yang sempit dan sederhana ini, seakan ruang yang penuh dengan kenangan kelam tak cukup untuk menampung kehadiran mereka. Aku hanya mematung, tak tahu harus berbuat apa. Hening, hanya suara detak jantungku yang terdengar jelas di telinga. Mataku berkelana, mencoba memahami, mencoba menelaah seberapa jauh Ayah dan Ibu bisa mempermainkan takdirku—seberapa jauh mereka tega terhadapku, dalam permainan yang tak pernah aku pilih.

Keluarga ini, jelas-jelas sudah tidak berfungsi dengan baik, seolah semuanya hanya sekadar topeng yang dipaksakan. Aku bisa melihat bagaimana dandanan Ibu yang mencolok dan menor itu seolah hanya sebuah upaya untuk menyembunyikan ketegangan yang membara di dalam dirinya. Sementara itu, raut wajah Ayah, meski terlihat ceria dan penuh senyum, justru terasa begitu jauh dari kenyataan—seolah senyum itu hanya sebuah pelarian dari kegelisahan yang tak terungkapkan. Semua terasa terbalut dalam kebohongan yang tak bisa lagi disembunyikan, dan aku hanya bisa menyaksikan dengan diam, merasakan betapa rapuhnya segala sesuatu yang mereka coba bangun. Ditengah-tengah acara aneh ini, pikiranku melayang pada ucapan Langit.

Beberapa hari yang lalu, saat aku menangis tanpa henti, Langit mengatakan sesuatu yang panjang dan penuh makna. Saat itu, aku menangis dalam pelukannya, merasakan kehangatan dari pundaknya yang lebar, seolah-olah aku mencari perlindungan darinya. Tangisku pecah seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, penuh kesedihan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

“Kirina itu tumbuh dalam keluarga yang telah lama kehilangan arah, seperti pohon tua yang berdiri di tengah kampungnya. Sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan perasaan terasing, dikelilingi oleh ikatan-ikatan yang tak pernah dia pilih, seperti ikatan kain yang menggantung di dahan pohon besar di dekat rumahnya. Pohon itu bukan sekadar pohon bagi orang-orang di kampung, tapi simbol harapan yang terkubur dalam tradisi dan doa-doa yang terucap di bawahnya. Bahkan, jika didebat dengan sengit sekalipun, mereka akan tetap percaya bahwa pohon asam itu punya kekuatan mistis—kekuatan yang entah datang dari mana, tapi menjadi tempat mereka menggantungkan harapan.”

“Begitukah aku di matamu?”

“Belum selesai, jangan potong dulu!”

“Meski tak ada yang mengikatkan kain doa di tubuhnya, dia merasa seperti pohon itu—besar dan semakin tua, namun terbelenggu dalam takdir yang tidak pernah dia pilih. Setiap hari, dia merasa seperti ranting yang rapuh, yang terus tumbuh meski didera badai dari segala arah. Orang-orang di sekelilingnya mungkin tidak tahu, tapi baginya, keluarga adalah pagar beton yang mengekang tubuh dan jiwanya—pagar yang dibangun bukan untuk melindungi, tapi justru untuk menahan dia agar tetap berada dalam ruang sempit yang sudah lama tak memberikan kebebasan. Ayahnya, yang dulunya adalah sosok yang dia harapkan bisa membimbing, kini hanya menjadi bayangan yang semakin kabur, seiring dengan semakin menumpuknya luka-luka dalam keluarganya. Ibu, dengan segala keteguhan dan harapan palsunya, menyelimuti diri dengan perasaan yang dipaksakan—senyum yang selalu dipaksakan, seperti dandanannya yang menor dan penuh lapisan, berusaha menutupi segala ketidakberesan yang menggerogoti hatinya. Kirina tahu, semua ini tak lebih dari sekadar permainan peran yang dipaksakan. Mereka seolah mengikatkan kain-kain doa pada batang pohon kehidupannya, berharap agar semuanya berubah, tanpa pernah benar-benar berani membuka ikatan itu.”

“Aku dan pohon?” 

“Ini bagian terakhirnya. Dengarkan dengan seksama.”

“Di tengah keluarga yang disfungsional ini, Kirina merasa seperti pohon yang akar-akarnya tak lagi mencengkeram tanah dengan kuat. Semua doa dan harapan yang digantungkan padanya bagaikan ikatan yang semakin mengikat dan mengekang, membuatnya bertanya-tanya apakah suatu hari nanti dia bisa melepaskan diri dari semua ini, atau apakah dia akan terus berdiri diam, terperangkap dalam ikatan yang tak pernah dia pilih?”

Begitulah Langit berbicara padaku, dengan kata-kata yang begitu lembut dan penuh pengertian, yang justru membuat tangisku semakin membabi buta. Namun, aku tahu, bagi Langit, kata-kata itu hanya kalimat kosong. Di balik setiap kalimatnya, ada rasa bersalah yang mendalam—rasa bersalah karena ia merasa tak mampu menyelamatkanku dari segala situasi rumit ini. Langit sempat bertukar pesan denganku, ia bertanya apa Ibu sudah melakukan hal aneh lagi? Atau malah hal mengerikan? Aku hanya menjawab dengan satu kata. Entah

Mataku kembali tertuju pada Ibu. Percakapan yang sejak awal sudah bisa kubaca arahnya, akhirnya sampai pada tujuan yang sudah kutebak. Pria tua di hadapanku itu dengan penuh percaya diri mengusulkan agar aku bertunangan dan menikah dengan cucunya. Usianya tiga tahun lebih tua dariku, sedang menempuh kuliah di universitas ternama di Jakarta, dan bercita-cita menjadi dokter. Pria itu, seperti diriku, hanya diam, terperangkap dalam percakapan ini. Sementara itu, kakeknya dengan penuh semangat menawarkan segala keuntungan—A, B, dan C—kepada Ayah yang jelas-jelas tergoda dengan janji-janji mahar yang menggiurkan. Di sisi lain, aku bisa melihat kilatan mata Ibu yang seolah berkilau karena "peluang" ini, seolah-olah segala hal lain bisa dibeli dengan uang. 

Lihat selengkapnya