Di tengah deretan angka dan rumus-rumus Kimia yang sedang kutelaah, aku melepas pandangan dari buku yang sedang kubaca, seolah-olah ada sesuatu yang menarik perhatian di luar jangkauan pikiranku. Mataku kosong sejenak, namun perlahan, kilatan ingatan yang sudah lama terpendam itu kembali muncul—kenangan gelap yang hampir saja merenggut nyawaku beberapa tahun yang lalu. Kenangan itu datang begitu saja, tak diundang, menyusup melalui ruang-ruang sunyi di kepalaku yang berisik.
Pandanganku beralih dari Langit yang asyik dengan buku catatannya, menuju papan tulis yang memantulkan sinar lampu kelas dengan tajam. "Kerjakan tugas Kimia buku paket halaman 15, kumpulkan dalam 30 menit,” tertulis jelas. Namun aku tidak bisa lagi fokus pada tugas itu. Mataku mulai menelusuri kelas, mencari pengalihan yang tak bisa diajarkan oleh rumus-rumus Kimia yang sedang kupelajari.
Ada anak yang dengan cuek mengabaikan tugas, ada yang sibuk berbisik-bisik dengan teman sebelahnya, bahkan ada yang diam-diam memainkan game di ponselnya. Kelas unggulan memang, tapi seperti kebanyakan tempat yang penuh ambisi, kelasku tidak selalu diwarnai dengan kepatuhan.
Di tengah keramaian itu, aku menyadari ada ketua kelas yang sedang ngos-ngosan, berusaha menenangkan suasana yang mulai gaduh, sementara Guru Kimia, yang sedang hamil besar, tampak lelah dan harus beristirahat. Aku tahu betul bagaimana suasana seperti ini—suasana kelas yang sedikit kacau, namun tidak ada yang benar-benar peduli. Semua seperti berjalan dalam kesibukan mereka sendiri.
Namun pandanganku kembali tertuju pada Langit, yang duduk dengan tenang di mejanya, wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada soal-soal yang ada di buku. Tiba-tiba, dalam keheningan yang mengikutinya, aku merasakan sesuatu yang mengganggu. Tubuh dan hatinya seolah menyatu dalam perasaan yang tidak bisa ia tolak—perasaan yang datang tanpa peringatan. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku pagi ini? Kulihat layar ponselku dengan sekilas. Aku sempat lupa dengan segala yang pernah terjadi padaku selama ini, karena setelah pindah dan tinggal di asrama- bisa kubilang hidupku sedikit berubah.
Tanggal itu, tanggal yang mengerikan, selalu muncul setiap tahun. Saat usiaku menginjak 14 tahun, aku sudah hampir mengakhiri hidupku dua kali. Benar, dua kali aku sudah mencoba melarikan diri dari dunia yang terlalu keras dan mengekangnya, dunia yang tidak pernah memberiku ruang untuk sekedar bisa bernafas. Tapi kenapa sekarang, dalam kelas yang penuh dengan teman-temanku ini- yang tampaknya begitu biasa, begitu damai, kenangan itu tiba-tiba datang? Kenapa kenangan itu muncul lagi, seperti bisikan yang tidak bisa dIbungkam?
Bagiku, Jakarta adalah tempat yang jauh berbeda dari kota kelahiranku. Ini bukan kampung halamannya yang penuh dengan patriarki yang mengakar dalam. Ini bukan rumah yang penuh dengan ketegangan, di mana ayahku memegang kendali, sementara Ibuku hanya bisa menurut. Aku tahu, kehidupan ini adalah kesempatan langka—kehidupan di Jakarta, di mana segalanya tampak lebih terang dan lebih bebas. Ditambah lagi, sekarang aku tinggal sendiri di asrama. Sudah lama aku mendamba memiliki ruangan yang nyaman dan aman. Dan akhirnya, setelah sekian lama bertahan, aku berhasil mewujudkannya sekalipun harus berbagi kamar dengan teman sekelasku. Setidaknya, itu jauh lebih baik.
“Kirina,” panggil Langit dengan heboh. Suara Langit berhasil memecah lamunanku, Aku kembali tersadar. “Kir, kalahin nilai gue di ulangan Kimia, Matematika, Fisika, dan Bahasa Inggris minggu depan. Kalau lo bisa dapat peringkat 1, gue akan berikan hadiah ponsel terbaru ini buat lo.” Langit menyebutnya dengan santai, seolah itu hanya lelucon kecil, tapi bagi Kiri, itu terasa seperti kebodohan yang menyedihkan.
“Tiba-tiba?”
“Bukan tiba-tiba, gue sudah merencanakan ini sejak lama.”
Aku menanggapi dengan acuh tak acuh, mataku kembali terfokus pada tugas, meski hati dan pikiranku masih terombang-ambing oleh kenangan sialan itu.
Langit, yang merasa diabaikan olehku, mulai menggangguku lebih jauh. Dengan gerakan cepat, Langit meraih buku paketku, dan melemparkannya ke meja dengan sedikit kesal. “Tatap gue, Kirina!” Langit berkata dengan suara sedikit mendesak, namun aku hanya diam, tetap terfokus pada buku dan dunia yang lebih tenang itu.
“Jangan ganggu aku!”
Langit tak menunjukkan tanda-tanda mundur. Ia berdiri tegak di depan mejaku, wajahnya dipenuhi ekspresi yang sulit terbaca. Rani, yang sejak tadi terfokus pada soal kimia, akhirnya terpaksa berpindah tempat duduk, terganggu oleh kehadiran Langit yang tiba-tiba muncul.
“Jangan berlebihan, aku tak butuh ponsel darimu Langit Anak Agung.” Akhirnya aku memutuskan untuk menanggapi, berusaha mengakhiri percakapan yang mulai mengusik ketenangan belajarku yang damai.
“Ponsel lo ini sudah waktunya diganti. Mana ada anak gadis zaman sekarang, masih pakai barang usang seperti ini?” Langit mulai duduk di sampingku, bergeming seperti anak kecil yang merajuk. Ia bahkan dengan cepat mengambil buku Kimianya untuk duduk disebelahku.
“Ada. Ya, itu aku.” Aku menjawabnya dengan datar, berusaha mengalihkan perhatian dari Langit yang semakin menyebalkan.
"Tapi, apa lo nggak tertarik dengan ponsel pintar yang tipis dan bisa memudahkan hidup lo di masa depan?" tanya Langit, tapi suaranya kini lebih lembut, seolah berharap dapat memikatku untuk bertaruh dengannya.
“Kerjakan saja tugas Kimiamu dengan tenang, atau aku akan pindah ke meja sana untuk duduk bersama Rani.” Aku mengancamnya dengan suara datar. Langit terdiam, sesaat menatapku dengan ekspresi murung.
Aku kembali menundukkan kepala, fokus pada tugasku yang belum selesai, seakan mencoba mengabaikan segala hal di sekitarku yang mulai terdengar riuh. Namun, di balik sikapku yang tampak acuh tak acuh, ada perasaan halus yang perlahan mengusik hatiku. Aku sedikit tersentuh oleh perhatian Langit, meski bukan karena hadiah atau ponsel yang ditawarkannya. Perasaan itu lebih dalam dan lebih kompleks. Yang membuatku terkesan adalah kenyataan bahwa Langit—meskipun sering kali mengganggu dengan caranya yang ceroboh—ia adalah satu-satunya orang yang tidak membuatku merasa terperangkap atau terkekang. Tidak seperti ayahku yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, atau ibu yang lebih sering memberikan perintah daripada perhatian. Langit, dengan segala sikapnya yang kadang menyebalkan, memberikan ruang bagiku untuk menjadi diriku sendiri, tanpa tuntutan atau harapan yang membebani.
Namun, kedamaian itu segera pecah ketika suara keras seorang gadis tiba-tiba terdengar dari depan pintu kelas. "Siapa di sini yang bernama Kirina Aspandi?" teriak gadis itu, suaranya menggetarkan seluruh ruangan. Aku masih diam saja, ia sama sekali tidak perduli dengan panggilan itu.
“Ibu lo datang,” katanya lagi.
Gadis itu memberi pesan yang tidak bisa diabaikan olehku, Aku berdiri sembari mengangkat tangan “Kamu dipanggil ke ruang guru, Ibumu datang,” kalimat itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Aku merasa tubuhku beku beku, seakan waktu berhenti bergerak. “Ibu?” mataku menatap Langit, yang masih terduduk disampingku.
“Kenapa Ibu lo datang kesini? Apa kalian bertengkar lagi?” Langit bertanya, namun Aku hanya bisa menjawab dengan gelisah, “Entahlah. Sudah satu minggu ini, aku mengabaikan pesan dari Ibu dan Bhas.”
“Semoga Bibik tidak membuat masalah di sini ya,” jawab Langit dengan hati-hati.