LUKA ITU, BERNAMA KIRI

Rafiahs
Chapter #5

LANGIT

Di tengah-tengah buku Kimia yang sedang dibacanya, Kiri tiba-tiba mengangkat matanya keatas seolah-olah ia baru saja mengingat sesuatu yang telah ia lupakan sejak lama. Kenangan buruk beberapa tahun lalu, yang nyaris merenggut nyawanya. Matanya beralih dari Langit yang sedang menulis, menuju tulisan di papan tulis, "Kerjakan tugas kimia buku paket halaman 15, lalu kumpulkan dalam 30 menit" lalu matanya kembali ke seluruh penjuru kelas. Ada anak yang tidak peduli dengan tugas yang diberikan oleh guru, anak yang sedang begosip hingga anak yang bermain game. Ini memang kelas unggulan, bukan berarti kelas ini selalu patuh dengan perintah. Guru Kimia kelas ini sedang dalam keadaan hamil besar, beliau harus istirahat sebentar karena beban ditubuhnya semakin berat.

Kiri bahkan bisa melihat ketua kelas yang sedang sibuk ngomel, karena teman-temannya mulai berisik. Lalu yang terakhir matanya menuju Langit, ia bisa melihat Langit yang sangat berkonsentrasi mengerjakan soal. Lalu apa yang membuatnya tiba-tiba mengingat moment menyedihkan itu? Sepertinya tubuh dan hatinya masih mengingat tanggal kelam itu, maka tanpa sadar Kiri bisa merasakan apa yang tubuhnya sadari. Tanggal menyeramkan itu selalu muncul setiap tahun, saat usianya 14 tahun Kiri sudah nyaris melenyapkan dirinya sendiri, dua kali.

Ini adalah kota Jakarta. Bukan kampung halamannya yang masih menyisakan patriarki yang mengakar. Ini bukan kampung halamannya, yang hanya memiliki satu departmen dan restoran franchise seperti KFC. Ini bukan juga rumah, yang berisi Ayah Ibu dan adik laki-laki yang suka menyiksanya lahir dan batin. Saat itu juga, segala kekhawatiran dan ketakutannya terhadap dunia lenyap, setidaknya pada saat itu Kiri bersyukur sedang duduk di kelas dengan teman-temannya yang sedang sibuk belajar dan bercanda. Dengan teman-temannya yang hidup rukun denga orang tuanya di rumah. Dengan teman-temannya yang memiliki masa depan lebih damai darinya. Dengan teman-teman yang memiliki kehidupan yang lebih normal darinya. Dengan teman-temannya yang mungkin saja lebih bahagia dari dirinya.

"Kir, kalahkan nilaiku di ulangan Kimia, Matematika, Fisika dan Bahasa Inggris minggu depan. Kalau kau bisa mendapatkan peringkat 1, aku akan memberimu hadiah ponsel keluaran terbaru." Sungguh, Kiri tidak tertarik dengan ocehan Langit. Gadis itu masih sibuk mengerjakan tugasnya dengan tenang. Langit yang merasa diacuhkan mengmbil buku paket Kiri dengan kesal, "Tatap aku Kir!" Kiri hanya diam, tidak membalas. Langit memaksanya menoleh dengan pelan, Kiri mulai kesal dan Langit tidak perduli. Entah sejak kapan Langit berdiri di depan mejanya dengan tatapan bodoh itu. Rani yang sejak tadi sibuk dengan soal kimia, akhirnya pindah tempat duduk karena merasa terusik dengan kehadiran Langit yang tiba-tiba.

"Jangan macam-macam, aku tidak butuh ponsel darimu."

"Tapi ponselmu ini sudah harus diganti, mana ada anak gadis jaman sekarang memakai benda usang seperti ini?" Langit mulai duduk disebalahnya sambil merajuk.

"Ada, ya itu aku."

"Kir."

"Kau ingin belikan aku ponsel baru, karena kau tak percaya ponsel usangku ini bisa kupakai untuk untuk menghubungimu dan semua orang di kelas ini? Lagi pula, apa maksudnya taruhan untuk mengalahankan nilaimu?"

"Kalau aku beri langsung, pasti kau tolak."

"Tanpa harus mengalahkanmu pun aku akan menolaknya!!"

"Kau tidak tertarik dengan ponsel pintar dan tipis?"

"Kerjakan tugas Kimiamu dengan tenang, atau aku pindah ke meja gadis itu?" Wajah Langit berubah, ia tidak membantah lagi. Sejenak, Kiri tertarik dengan pertarungan kecil itu, tapi bukan untuk mendapatkan ponsel. Nilai bahasa Inggrisnya adalah yang tertinggi di SMP dengan nilai nyaris sempurna, karena hanya salah menjawab satu pertanyaan saja. Bahasa Inggris lisannya juga luar biasa, tetapi hal ini tidak berlaku di kelasnya yang sekarang. Semua anak di kelasnya nyaris lancar berbahasa Inggris tidak terkecuali yang malas sekalipun.

"Siapa di sini yang bernama Kirina Aspandi?"

Seorang gadis datang tanpa salam, dan berteriak di depan seluruh kelas, Kiri menatap anak itu dengan malu-malu. Tapi wajah anak itu terasa sangat gelap.

Kiri tiba-tiba merasa setiap ubin lantai di koridor sekolahnya terlihat hitam, dan papan tulisnya juga jadi sangat menyeramkan.

"Kau dipanggil ke ruang guru, Ibumu datang."

"Ibu?" Mataku tertuju pada Langit yang sama kagetnya denganku. .

"Mau apa Ibumu datang?"

Lihat selengkapnya