Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #1

Makan Malam Terakhir #1

 

Menuju petang segerombol orang menumpang makan malam di rumah Ayahku. Selarut ini orang-orang dengan badan tinggi besar itu menuju rumah orang hanya untuk menumpang makan malam? Makan larut malam, tepatnya. Kami sekeluarga sudah makan malam sebelumnya. Apakah harus makan kali kedua bersama mereka yang seolah memaksa masuk? Selarut ini, makan malam apa yang mereka harapkan pada sebuah rumah yang jauh dari kata kaya raya? Mengapa mereka tak pergi ke warung terdekat atau membuat mie instan saja. Melihat tubuhnya yang kekar dan bugar, mereka tampak tak pernah kekurangan. Cukup olahraga dan kulitnya bercahaya. 

Ayahku meminta mereka duduk satu per satu. Sial, tamu-tamu itu seperti tak tahu sopan santun. Gerak mereka sangat cepat dan seperti tahu seisi ruangan di rumah ini. Apakah mereka telah terlebih dahulu mematai? Atau satu di antaranya sering kemari? Aku melihat tak ada yang dikenal Ayah. Apakah mereka mengenal Ayah? Sepertinya begitu. Ayah diperlakukan sangat baik dan mereka bicara pelan, layaknya Ayahlah yang menjadi tamu. Kerut di kening Ayah menunjukkan bahwa Ia sedang berpikir keras. Tidakkah tamu ini salah tujuan, salah sebut, atau salah melihat daftar. Ayah kehilangan arah untuk mennetukan pembicaraan. Ia jarang memulai, hanya menjawab saja. Tak seperti biasanya yang selalu lantang ketika mimbar diserahkan padanya. Hanya kata tidak yang bisa dijawabnya. Sisanya, tak dapat kuingat lagi. Sulit bagiku menebak, meski dia adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang ini. Jika ada yang paling tidak memahami Ayah, itu mungkin aku. Ayah selalu keras, tetapi tak pernah memaki. Sering batinku mengiba pada cinta Ayah yang penuh untuk Renjana. Perlakukannya lembut, sabar. Aku juga ingin diperlakukan begitu. Namun, tak pernah terjadi. Sampai usiaku delapan tahun, aku hanya mampu mengingat bahwa kerasnya Ayah membuatku enggan belajar serius. Kemarahan seperti hujan setiap hari di pikiranku. Ibu yang memeluk segala dukaku, lukaku, dan mengatakan jika Ayah teramat menyayangiku. Ibu mengingatkan ketika badanku menggigil karena malaria, tiba-tiba Ayah datang, rebah di sampingku sambil memberikan obat yang didapatnya dari camp. Ibu selalu mengingatkan tentang Ayah yang ajaib, Ayah yang tiba-tiba, dan Ayah yang banyak rahasia. Instingnya, telepatinya terus tepat jika itu berkaitan dengan anak-anaknya. Lalu, bagaimana Ayah kehilangan insting pada malam itu, Bu?

Aku harus bisa mengayuh sepeda roda dua sebelum umur empat tahun. Sepeda yang kugunakan sudah karatan, tidak mulus, dan dudukannya sungguh kasar. Setiap kali terjatuh, aku bangkit lebih dulu sebelum Ayah menolehku. Rasa sakit akibat jatuh tak seberapa, memar masih bisa kusembunyikan, luka-luka gores, bahkan patah masih bisa kuobati. Namun, mendengar nasihat dan petuah ayah seakan menghujam jantungku, aku tak pernah benar-benar siap menjadi anak laki-laki bagi Ayahku. Ingin sekali menjadi tuli dan bisu ketika berhadapan dengannya. Aku harus bisa segalanya. Segalanya.

"Kunamai kau Sagara untuk menjadikanmu seluas samudra"

Aku hanya tertunduk dan menahan air mataku. Jika Ayah sudah menyebut nama, berarti marahnya tidak main-main. Tak banyak yang kuingat tentang Ayah. Paling penuh ingatan tatkala Ayah memintaku membaca buku setiap hari. Paksaan ini lama-lama jadi candu. Meski hidup sederhana, aku dan kakak perempuanku seperti tak pernah kekurangan apa pun. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana hebatnya Ibu yang mengisiku penuh sebagai satu-satunya anak laki-laki. Aku merasakan kehadiran Ayah, meski dalam samar, gelap. Dia satu-satunya makhluk tiada rasa ada, Ayahku. Kedatangannya tak pernah lebih dari tiga hari. Matanya selalu cemas. Pikirannya selalu awas. Ia bisa duduk tenang, tapi pikirannya terus perang.

Entah, Ayah akan atau sedang perang dengan siapa, dengan apa. Ibu hanya mengelus pundak Ayah sambil bibirnya berkomat-kamit. Setengah dialog itu berisi pertanyaan Ibu dengan jawaban yang tak diselesaikan Ayah. Bertahun-tahun aku menyaksikan ini tanpa ada kalimat atau narasi penjelas yang keluar dari Ibu atau Ayahku. Pernah Ayah pulang dengan luka-luka yang parah. Ayah tahu benar di rumah ini tidak ada yang menjadi perawat atau dokter. Mengapa lantas Ayah berbaring di kamar Ibu, lalu keesokan harinya Ayah sudah bugar seperti tidak terjadi apa-apa. Benarkah Ibu mempunyai mantra-mantra ajaib seperti yang sering diprasangkakan tetangga kepadanya? Ibu hanya tamatan SD, yang kutahu. Namun, buku-buku selalu penuh dalam lemari. Catatan bertulis tangan selalu dilakukan Ibu ketika bangun tidur dan sebelum tertidur lagi malam harinya. Siaran radio tak pernah menjadi hal yang menganggu pendengarannya. Ibu akan menjadi berisik ketika kami, anak-anaknya bersuara lebih lantang daripada radio. Informasi apa yang hendak Ibu cari? Bukannya radio itu melulu bernyanyi lagu-lagu sendu?

Apakah ada banyak hal yang tidak aku tahu dan tak diizinkan untuk tahu? Ibu gemar membaca, menyimak, berbicara sendiri, dan suka sekali menjahit. Selain itu, Ibu juga pengusaha muda yang menjual kain-kain tenun gringsing. Bukan tentang kainnya, melainkan sejarahnya yang menjadi daya tarik. Ibu sangat mengenal dirinya dengan baik. Orang-orang yang datang bukan hanya membeli kain. Mereka ingin mendengar lisan Ibu. Ibu, ibarat perpustakaan di desa. Darinya sumber pengetahuan dialirkan. Ibu yang bisa membaca aksara lalu mengalirkannya pada wanita-wanita lain. Banyak orang yang tadinya bersedih, kemudian datang pada Ibu. Ibu membawakan beberapa pilihan kain, lalu bercerita, menggosok-gosokkan tangan di bahu yang bersedih, maka segala luka itu seperti tertampung, tertinggal di rumah kami. Beberapa kali mataku menelan cemas berlebih dari mereka yang datang karena disia-siakan, diduakan, dianaktirikan, dipukuli, juga diadili. Aku seharusnya terlatih dan terbiasa menangani duka semacam ini. Selayaknya Ibu. Namun, aku tak punya bakat. Duka ternyata tak mampu diamati, hanya bisa dirasakan. Renjana nyaris bisa merasakan itu, tapi belum sepenuh Ibu. Aku jadi berpikir duka yang bagaimana lagi yang belum dirasakan Ibu?

Barangkali mencintai adalah hamparan sabar yang subur bersama waktu. Ibu melakukannya, merasakannya. Dia yang bersuami bayangan, hanya meminta tambahan di setiap malam. Mungkin Bli Gede akan datang. Tat kala subuh, Ibu juga meminta tambahan pagi. Mungkin embun menjelma suara parau Bli Gede yang saban hari dinantinya. Rindu Ibu, Iba Ibu, sedih Ibu, pilu Ibu, tak semuanya disambut semesta. Perasaan-perasaan itu begitu diseleksi. Sampai pada akhirnya Ibu tak pernah lagi terlalu berharap. Ibu mulai mencintai takdir yang dipilihnya sendiri. Bersuamikan prajurit pernah lantang diperingatkan oleh Kakekku. Namun, cinta membuatnya selalu siap, seolah matang, seolah sengsara baginya hanya perasaan perih yang sekejap lalu menghilang. Ibu berdamai. Kedatangan Ayah adalah bonus. Kepergian Ayah adalah kepastian. Ibu hanya berharap semua yang datang padanya bisa mengobati kesepian itu. Rumah ini terbuka bagi setiap warga. Menampung seluruh duka orang-orang yang datang, bisa mengobati rindu yang menjelma kesepian itu. Bagi Ibu, pilihannya menikah dengan Ayah tak bisa dipertentangkan. Ibu tahu benar bahwa jarak paling biadab. Ibu juga tahu bahwa waktu adalah penyembuh segalanya. Kedatangan Ayah selalu menjadi hari paling istimewa bagi Ibu. Jika saja setiap hari adalah sama, mungkin tidak ada penyebutan istimewa itu. Ibu sebenarnya sudah cukup terlatih untuk kehilangan. Kehilangan waktu bersama Ayah, kepulangan Ayah yang pasti mendadak, termasuk juga kepergiannya yang mungkin tak akan pernah kembali. Aku jelas bisa melihat pilihan terakhir itu tak pernah dipersiapkan Ibu dengan matang, dengan sungguh-sungguh. Siapa yang benar-benar siap untuk ditinggalkan?

Orang-orang yang datang ke rumahku malam itu duduk di meja makan yang kursinya hanya ada empat, sedangkan jumlah mereka 5 orang. Tak pernah kulihat Ayah tak perhitungan begini. Pertama sekaligus terakhir kali, aku melihat Ayah segugup ini. Aku juga melihat ketidaksiapan dalam tatapannya. Jika bukan hari ini, malam ini, mungkin kedatangan tamu ini akan disambut dalam persiapan yang cukup matang. Sayu matanya makin menegaskan bahwa Ayah akan menuruti semua yang dikatakan tamu-tamunya malam itu. Pandangannya lalu rebah padaku, kakak, dan paling dalam pada Ibu. Ayah tak mengatakan apa pun malam itu. Namun, sorot mata Ayah tertuju pada satu di antara lima tamu itu. Dalam anggukan mereka bersepakat. Selebihnya, Ayah lebih banyak duduk seolah mengerti keadaan seperti apa yang dikehendaki tamu-tamu itu. Tamunya meminta Ayah untuk tetap di kursi makan, menemani mereka makan. Dua lagi berdiri di sisi kiri kanan seperti menekan pundak Ayah. Seolah menegaskan bahwa Ayah tak akan bisa kemana-mana. Aku, Ibu, dan kakak perempuanku dilarang ikut berdialog. Rumah yang jauh dari kata luas ini tak bisa menyembunyikan apa pun. Desahan, napas, bahkan kentut yang dipendam diam-diam tak memiliki kesempatan untuk lolos dari pendengaran penghuninya. Suara tamu-tamu ini jelas sekali. Mereka memperbincangkan soal pertemanan, bisnis, penolakan, pada akhirnya pengkhianatan. Hebat manusia malam itu, hebat sekali tamu-tamu di malam itu. Dalam sekali duduk, semua isu ditumpahkan seolah Ayah narasumber satu-satunya. Ayah tak menanggapi, dibiarkannya orang paling vocal terus merongrong bicara. Seperti cinta sendirian, berbicara sendirian juga membuat pada akhirnya manusia itu sakit hati dan memukul meja makan kami. Ibu masih bisa mengintip di balik tirai, menebak-nebak siapakah yang bertamu malam itu. Jika teman, tidak mungkin datang mengendap begini. Seseorang melihat tatapan Ibu lalu memintanya mendekat.

***

Ayah meminta Ibu menghidangkan apa yang tersisa. Ayah terus mengawasi tangan Ibu, wajahnya, tubuhnya, rambutnya, juga pakaian Ibu malam itu. Tak satu pun lolos dari pandangan Ayah. Ibu menahan air matanya. Ia mendingak melihat langit-langit ketika menunduk justru membuat air matanya akan pecah. Disendoknya beberapa nasi, seolah nasi yang tersisa itu banyak sekali. Percayalah, di rumahku ini selalu ada makanan tersisa. Disisakan oleh Ibu sebab keluarga kami percaya bahwa selalu ada yang akan datang paling awal dan paling akhir setelah kami sekeluarga makan. Makanya, di awal, sebelum kami sarapan, Ibu tak luput menyiapkan banten saiban dan menghaturkan rarapan, sejenis persembahan makanan kepada dewata, leluhur, dan segala hal yang tak terlihat sebagai raya syukur atas nikmat. Kata Ibu, makanan seenak apapun jika belum dipersembahkan kepada pemiliknya yang sejati, nikmatnya masih tetap kurang. Di akhir pun, Ibu selalu menyisihkan sesendok dua sendok nasi putih lengkap dengan lauk pauk. Ibu berkeyakinan bahwa ada leluhur kami yang akan datang sehingga kami harus tetap menyisihkan makanan. Apa Ibu menyembunyikan duka, rindu, cinta, juga harapannya yang menyamar sebagai doa? Menyelinap dalam agama? Ibu yang menginginkan Ayah menjadi lelaki biasa. Di rumah, bekerja, bisa dipandang detiap hari, bisa berdialog panjang, juga bisa diciumi berkali-kali. Apa artinya sisa makan malam di setiap hari untuk harapan Ayah akan pulang? Cara Ibu mencintai sungguh ajaib. Tak banyak yang siap melakukannya.

Lihat selengkapnya