Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #2

Berduka #2

Tak pernah datang kabar apa pun sejak malam-malam panjang pergulatan batin. Ibu masih menyisakan nasi dan lauk pauk saat makan malam berakhir. Bedanya, bukan leluhur lagi yang Ibu tunggu. Melainkan kepulangan Ayah. Membayangkan Ayah lari di hutan sendirian, bersembunyi dari tamu-tamu tak dikenalnya, hingga pulang karena sangat lapar. Ayah akan makan dengan lahap sembari memuji Ibu atas sedianya menunggu. Segalanya tentang Ayah masih penuh diingatan Ibu. Keesokan harinya, nasi beserta lauk pauk itu selalu basi. Tidak langsung dibuang. Ibu memakannya sebagai sarapan. Sarapan yang menguatkannya setiap hari. Setiap hari. Duka yang menyaru cinta ternyata membunuh Ibu setiap hari. Ibu menjadi pemarah. Seakan semuanya salah. Aku dan kakak kehilangan arah untuk memahami perasaan orang dewasa yang terluka. Sebab sudah biasa ditinggalkan Ayah, aku dan kakak mungkin tak merasakan kehilangan itu. Namun, Ibu seakan kehilangan dunianya. Tak ada kepastian harus menunggu atau merelakan. Langit abu-abu seakan tak memiliki pilihan untuk semua duka atau cinta Ibu. Ibu membuka simpanannya. Sejumlah uang yang lebih dari cukup. Tiba-tiba, Ibu meremas lagi uang-uang itu yang seakan tak bisa mengembalikan yang tiada.

"Mayat siapa yang akan kubersihkan saat prosesi ngaben, Bli?"

Ibu memukul dadanya yang sesak sambil menggenggam foto Ayah. Bertanya seakan Ayah ada di hadapannya. Aku meminta Kakak mendekati Ibu. Bukankah anak perempuan yang paling mujarab untuk tempat berkeluh kesah bagi Ibunya? Aku hanya melihat dari kejauhan. Pelukan Renjana ternyata bisa meredakan Ibu yang menyakiti dirinya sendiri. Renjana, berumur 15 Tahun. Kakak perempuanku ini tengah menempuh sekolah menengah, sangat pintar matematika. Dia tak begitu suka berbicara. Hidupnya selalu tenang. Apakah ada hubungannya sedikit bicara hidup akan tenang dan bahagia? Itulah yang terjadi pada kakakku. Dia tak pernah mendapatkan teguran atau hukuman dari Ibu. Dia hanya diam. Dalam diam, maka kesalahan akan tertumpah kepadaku. Ibu tak memarahi yang diam, melainkan yang menjelaskan yang akan mendapat segala perlawanan. Pernah aku diam tak menjawab atau menjelaskan apa-apa. Namun, tetap saja aku yang kena marah dan kesal Ibu. Nampaknya, menjadi pendiam bukan nasibku. Justru kemalanganku. Tak semua orang cocok dengan karakter diam itu.

Ibu rebah di dada Renjana. Aku memberi aba-aba padanya untuk mengelus rambut Ibu. Payah sekali kakak perempuanku itu. Dinginnya serupa Ayah. Ia sama sekali tak bisa menunjukkan cinta pada manusia. Bukankah setiap cinta harus diutarakan? Kecuali bagi mereka yang hanya mencintai diri mereka sendiri. Tangan Renjana kaku, tetapi masih dilakukannya dengan hati-hati. Aku menuntun di kejauhan dengan satu kalimat, lalu Renjana membaca gerak bibirku untuk meneruskan kalimat-kalimatku. Tunggu...aku memperhatikan mulut Renjana ternyata tak mengikuti kalimat-kalimatku. Dia berbicara sendiri. Aku tak pernah benar-benar mengerti siapa pun di rumah ini. Ayahku, Kakakku, kini Ibuku, seperti seorang berlainan. Adakah manusia memang selalu berubah? Renjana tiba-tiba mahir tata bahasa. Puisi dilagukan, lagu dipuisikan. Tak pernah gadis itu memiliki kalimat romantis. Renjana si pemarah, keras kepala, yang sangat tidak patut untuk menjadi guru. Aku saja adiknya sungguh tak tahan belajar atau berdiskusi dengannya. Renjana yang mahir matematika itu, kini bersastra. Ia mengutip kalimat-kalimat dari buku-buku yang dibaca Ibu. Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah. Mata Ibu berbinar mendengar kalimat itu diucap Renjana. Apakah kini Renjana telah berpindah haluan untuk menggemari sastra? Belakangan kutahu jika buku Soe Hoek Gie lah yang dibacakannya untuk Ibu.

Anehnya, Ibu memeluknya erat. Aku mematung seorang diri. Melihat Renjana ternyata tidak sepenuhnya diam. Ibu mulai memperbincangkan dukanya. Namun, hati-hati sekali agar tak membagi dukanya pada Renjana maupun padaku. Bahwa yang mati haruslah diupacarai. Orang-orang di desa ini akan menggelar upacara ngaben, kira-kira sebulan lagi. Ibu tak mendaftarkan diri sebagai bagian sebab Ia belum mendapatkan kepastian tentang kematian itu. Bisakah Ibu menemukan mayat Ayah dalam waktu kurang dari satu bulan? Bisakah Ibu menemukan kuburan Ayah, lalu membawa tanahnya itu sebagai simbol yang akan diupacarai? Ataukah Ayah akan datang malam ke sekian sebelum sebulan itu dalam keadaan sehat tak kurang satu apa pun?

Tak ada yang bisa memahami kedukaan ini. Belum habis proses memanggil ingatan-ingatan tentang Ayah, Ibu telah dan harus disibukkan dengan upacara. Bahkan, semua orang mengatakan untuk melepaskan. Melepaskan yang berarti meyakini bahwa Ayah telah mati. Dua tahun sejak malam kelam itu, air mata telah habis, rasa malu, rasa tertuduh, harta benda, semua menjadi abu-abu. Dua tahun berlalu tanpa kabar menggembirakan. Bagaimana Ibu melanjutkan hidup? Lalu, para wanita yang ditinggal tanpa kabar dan kepastian ini merasa harus memakamkan suaminya, saudaranya, atau siapa pun agar yang mati bisa kembali dalam dimensi yang berlainan.

"Tak ada yang selamat malam itu. Jika selamat, mungkin sudah cacat dan bunuh diri"

"Mereka harus diupacarai agar tenang. Mereka akan menitis kembali. Itu satu-satunya yang bisa kita percaya"

Semua harus bersiap melakukan upacara setelah kematian itu. Ibu bertanya pada setiap orang, setiap jalan, setiap kemungkinan. Bahkan Ibu memanggil Ayah hingga ke mimpi. Diminta berkali-kali untuk datang. Tak pernah sekali pun Ayah mampir ke mimpi Ibu. Baik saat masih hidup atau mungkin setelah mati. Bukankah yang hadir di mimpi adalah yang dipikirkan setiap hari, setiap detik? Tak ada tanda yang bisa digunakan Ibu untuk mencari. Semua orang menutup akses informasi. Seakan tak mau ambil risiko. Bagi mereka, malam kelam itu malam jahanam, malam kelam, malam pembalasan, malam tanpa hukum dan pengadilan, malam penjarahan atas nama negara.

Dengan benih duka yang disimpannya dalam-dalam, Ibu melangsungkan upacara ngaben. Ngaben swasta, upacara kematian yang tidak mengunakan jenasah melainkan dengan tanah sebagai representasi dari tubuhnya. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur, disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).Tanah itu diyakini mengandung unsur tubuh Ayah. Meyakini mereka “mati” bagi sebagian anggota keluarga jauh terasa lebih aman daripada meyakininya “hilang”.

Meyakininya mati adalah cara untuk bertahan hidup bagi keluarga korban, agar bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai nasib anggota keluarganya yang hilang. Mereka tak ingin pertanyaan-pertanyaan itu memberatkan langkah mereka saat melewati jalan terjal pasca pembantaian massal 65. Hidup dimulai lagi setelah hari ini, setelah prosesi ngaben ini. Berjuang dari nol, memulihkan lagi yang dijarah, dirampas dari Ibu, lalu membuatku dan Kakak merasakan hidup sekali lagi.

Aku dan kakak hanya melihat Ibu dalam sunyi. Tak pernah ada pertanyaan yang bisa kami tanyakan. Aku juga kakak tak bisa mengeluarkan kata-kata penguat. Kalimat apa yang harus kami katakan untuk menyaru duka Ibu? "Sabar ya, Bu. Kuat, ya, Bu" rasanya tidak pantas, rasanya hanya basa-basi saja. Kata-kata ini malah akan melukai Ibu. Aku tak bisa membaca dukanya, hanya mampu merasakannya. Ibu kehilangan Ayah, sedangkan Aku dan Kakak kini seolah juga kehilangan Ibu.

Wajah cemas Ayah kini menurun ke Ibu. Setiap hari Ia mengumpulkan kertas-kertas yang berisi nama Ayah juga nama Ibu. Kertas-kertas yang tampaknya sangat berharga. Dikumpulkan Ibu satu per satu. Diletakkan dalam wadah mewah, tak tertembus air dan tak mudah terbakar. Ibu memanggilku juga Kakak. Mengatakan bahwa segala hal akan hilang satu per satu dalam hidup. Apalagi yang hilang? Belumkah cukup? Ibu mengeluarkan setumpuk berkas itu.

"Putu Renjana, ingatlah baik-baik tanah kosong di rumah pertama yang kita bangun. Itu milikmu. Milik Ayah yang diwariskan padamu. Made Sagara, sawah tempat kita selalu menghabiskan penat, itu adalah bagianmu. Hari ini mungkin menjadi milik orang lain"

Kala itu aku dan kakak tak memahami pentingya surat-surat ini. Ibu mengatakan berkali-kali bahwa ketika keadaan sudah mulai membaik, surat-surat ini akan mengembalikan hidup keluarga ini. Saat ini tak akan ada orang percaya pada yang tertuduh. Saat duka belum redup, penolakan, caci maki, fitnah, bahkan kemiskinan akan menjadi peta jalan hidupku, hidup kakak, juga hidup Ibu.

***

“Sagara, bangun!”

Subuh itu Ibu tampak panik. Tidak ada rainan (hari raya keagamaan) hari ini yang mengharuskanku bangun pagi untuk menyiapkan sesaji. Hanya hari-hari besar keagamaan yang membuat kami mengalahkan kokokan ayam. Rainan adalah hari special yang aku dan kakakku nantikan. Sebab hanya di hari ini, hari yang membuatku dan kakak bisa makan nasi putih dengan lauk pauk cukup mewah sebagai sisa sesajen. Jika hari biasa aku hanya mendapatkan nasi kering, nasi dengan campuran ubi, kadang pula nasi basi yang dimasak setengah hati. Seandainya rainan itu setiap hari, akankah ada hari spesial bagi kami anak-anak miskin desa ini? Anak-anak yang sangat menghargai sebutir padi. Anak-anak miskin yang percaya jika ada dewa yang bersemayam dalam nasi, sehingga tak boleh disia-siakan. Jika itu terjadi, maka dewa akan mengutuk sang pembuang nasi.

 Seakan pagi itu Tuhan benar-benar meraba setiap yang memujanya. Sebelum mentari terbit, asap dupa telah membumbung tinggi. Ibu juga kakak perempuanku telah nampak cantik dengan kebaya putih kuningnya dengan sumpang bunga kamboja di telinga kiri dan kanannya. Ketika kami berdoa, Tuhan tak menanyakan siapa ayahku, bagaimana masa laluku. Hanya padaNya lah Ibu selalu kagum. Seberapa kotor pun kami, Tuhan tak pernah mengembalikan sesajen Ibu, tak pernah memberi air tirta suci dengan warna berbeda. Ibu yang paling gembira saat hari ini. Ia mengurung diri di kamar sucinya. Menangis sejadinya seperti sedang bercerita dengan teman curhat yang sudah dikenalnya lama. Tertawa sekenanya, seperti bertemu dengan cinta pertamanya. Entahlah, apa ini yang benar-benar Tuhan berikan saat hari-hari suci. Aku dan kakak hanya menunggu Ibu di depan pintu, berharap Ibu dapat mereguk cinta yang tak dapat kami berikan.

***  

Ibu tampak tergesa. Katanya jika hari ini tak berhasil, beras-beras kerikil ini akan menjadi makanan berbulan-bulan ke depan. Ia tak mau langkahnya didahului sang fajar. Ia mengemasi beberapa pakaian, juga pakaianku. Tidak lupa, Ibu memasukkan beberapa buku pelajaranku. Apakah kami tiba-tiba harus pindah? Lagi? Gunung mana lagi yang tiba-tiba meletus? Atau lahar mana yang akan mengubur kami hidup-hidup? Atau cacaian mana yang tak bisa Ibu obati? Bukankah Ibu yang paling tangguh atas segala cacian yang baunya lebih busuk dari bangkai? Ibu yang selalu menawar bahwa cacian itu hanya pura-pura. Pura-pura yang menyakitkan. Berpura-pura menyembunyikan kesedihan, padahal di matanya hanya itu yang ada, yang terasa. Apakah Ibu akan tiba-tiba mengasingkanku ke hutan, seperti yang dilakukan Ibu Rama juga Ibu Pandawa? Yang tidak bisa dikalahkan adalah waktu. Ibu berusaha berjuang, setidaknya waktu masih memberinya napas. Beberapa hari aku akan membolos sekolah untuk pergi ke Buleleng, Singaraja. Setengah sadar, aku marasakan hangat yang tiba-tiba. Dadaku berdegup kencang, seolah Buleleng itu tempat yang amat jauh. Singaraja seperti nama kota yang cantik yang akan menemukanku dengan kenangan yang lebih indah. Renjana dititipkan pada keponakan Ibu. Matanya ingin sekali ikut. Namun, Ibu menolak. Akan sangat berbahaya bagi anak perempuan tertuduh jika lama di jalanan. Tak ada yang tahu apakah dendam masih serupa bayangan yang akan terus mengejar. Renjana menurut perintah Ibu. Renjana juga sudah siap jika kepulangan Ibu pada akhirnya hanya sebuah janji. Aku tak sempat berkata-kata atau mengolok Renjana sebab bus sudah menunggu.

Lihat selengkapnya