Dahayu, istriku memanggil dalam 18 panggilan tak terjawab. Aku berusaha menepi, menyaksikan tetesan hujan yang sedari tadi kubiarkan mengguyur tubuhku. Aku tak kuat lagi dan memutuskan berhenti di salah satu minimarket. Baik sekali minimarket ini menyediakan kopi, mie instan, juga tempat duduk kokoh terbuat dari besi. Konon, kursi ini tempat semua lamunan tumpah. Tempat semua tangis pecah. Tempat semua irama khayal menjadi nyata, dan tempat mensyukuri segala yang ada. Apakah kursi ini juga memilih generasi? Yang duduk di sini kebanyakan mereka yang muda-muda. Milenial dan generasi Z, sedangkan padaku yang renta ini, apakah kursi besi ini masih bisa menampung dukaku? Masih mampu memahami bahasa galauku? Setua ini apa aku tidak kelihatan cukup waras untuk duduk santai di kursi besi ini? Ah...mengapa aku begitu risau pada pandangan dunia kepadaku? Bukankah bertahun-tahun dunia tak lagi melihatku sebagai manusia yang punya perasaan? Aku sendiri tak pernah percaya jika manusia membawa takdirnya seluruhnya adalah tentang kekecewaan. Ini terjadi padaku. Hanya padaku. Aku mengasihani diriku. Karma yang bagaimana lagi harus ku tuntaskan? Semua yang terjadi bukan tentang aku, melainkan orang-orang di masa lalu yang justru mengobrak abrik masa depanku.
Pernah seseorang bercerita jika tiga puluh menit duduk di kursi besi itu, teriakan akan muncul tiba-tiba. Pernah pula seseorang yang duduk, tiba-tiba terbangun dan mengemudi motornya dengan kencang hendak mengejar seseorang. Pernah pula keputusan-keputusan juga dipikirkan di kursi besi ini. Keputusan berpisah, berdamai, bercerai, mendua, juga keputusan-keputusan yang berakhir diam saja. Kursi besi ini menampung segalanya. Segalanya. Menerima siapa pun yang datang lalu duduk, tanpa memerhatikan latar belakangnya. Kopi hangat telah kugenggam. Aku ingin duduk di kursi besi itu. Biar segala rapuhku tuntas. Benarkah sejaib itu kursi yang bahkan tak mengenal diriku juga permasalahanku?
"Pulang, Bli. Batari sudah menunggu lama. Keputusanmu amat penting untuk masa depannya"
Pesan singkat Dahayu melalui telepon pintarku semakin membuat dingin kursi besi ini. Aku tak mengerti bagaimana harus memulai obrolan ini. Kurebahkan punggungku, mencari posisi ternyaman untuk bersandar. Aku memperbaiki di sisi kiri dan kanan. Mencoba tengadah. Akhirnya rebah pada posisi satu kaki menekuk kaki lainnya. Nyaman sekali. Rasanya aku didekap seluas punggung. Tubuhku tak lagi goyah. Aku mengamati di sekeliling. Hujan begitu amburadul, bagiku. Bagi yang lain, hujan berarti kerinduan. Hujan bisa menjelma harapan. Hujan pula tak berarti apa-apa bagi yang terjebak karenanya. Bahkan bisa jadi makian, umpatan, bagi mereka yang trauma romantisasi. Begitu banyak tipe manusia yang ada. Siapa yang harus memahami semua ini? Sungguhkah kursi besi ini mampu menampung duka juga bahagia setiap yang bersandar padanya? Mencoba mengamati lagi semua hal yang telah, sedang, dan akan terjadi.
"Jangan terlalu keras pada dirimu, Bli. Masa lalu milik mereka yang ada di masa lalu. Tugas kita hanya hidup di masa kini. Pulanglah, anak perempuanmu membutuhkan restu"
Telepon pintarku berkedip lagi. Pesan dari Dahayu berkali-kali gagal membuatku membangun obrolan dengan kursi besi. Mengapa istriku menyebalkan sekali hari ini? Apakah dia tak memahami dukaku, keraguanku, juga langit abu-abu di kelapaku? Padahal kami sudah melewati lebih dari dua puluh tahun pernikahan. Pernikahan timah, pernikahan porselen hingga menginjak pernikahan perak tak pernah Dahayu membuatku sekesal ini. Apa makin tua pernikahan, justru perpecahan makin menantang untuk dibuat? Tak ada yang memahami apa yang sedang aku jalani. Bahkan Dahayu tak memahami masa lalu yang sangat menghidupi masa depanku. Aku melihat seseorang yang juga duduk berbarengan telah rebah sepenuhnya pada kursi besi itu. Kakinya kumal, bajunya lusuh, juga kerutan di dahinya yang saling balapan ingin keluar. Satu botol air mineral dingin digenggamnya erat. Entah apa yang ada di kepalanya, lelaki ini tersenyum sendiri, bahagia yang berlipat ganda menyamarkan tangisnya dalam hujan. Karung-karung yang dibawanya berisi penuh. Diletakkan begitu dekat dengan kursi besi tempatnya duduk. Takut akan diambil orang. Tampaknya isi karung-karung ini sangat berharga. Aku menatapnya heran. Dia juga menatapku cemas. Sama sekali tak bermaksud mengambil karung-karung itu. Dia menyinggungku dengan memindahkan karungnya menjauhi tempat dudukku. Kami jadi asing dan kembali pada lamunan kami masing-masing.
"Gelas kopinya jangan dibuang, Bli"
Aku seperti terhipnotis menyerahkan gelas kopi yang terbuat dari plastik itu. Padahal kopiku masih sepertiga. Aku tahu alasan di balik larangan pemulung dilarang masuk. Mereka bisa menghipnotis sungguhan. Lebih tepatnya menyadarkan seseorang yang ada dalam bayang-bayang kemewahan, menuntut untuk hidup serba enak, serba terpenuhi. Padahal kata cukup sudah sangat berarti. Pelajaran pertama dari kursi besi ini. Tidak ada hidup yang lebih baik dari yang sedang dijalani. Bagi mereka yang kekurangan, segelas air mineral didapatkannya dengan setengah mati. Tubuh mereka lebih keras dari terik dan derasnya rintik. Hanya kata mati yang dapat menghentikannya untuk mencari sesuap rezeki. Aku melihat ke dalam diri. Mengenakan seragam, tidak berjalan kaki, dan setiap bulan selalu menghasilkan gaji, mampu menyekolahkan anak, hidup mana yang tak kusyukuri?
Aku masih berdiri mengamati yang keluar dari minimarket ini. Seorang Ibu berbelanja barang yang lumayan banyak. Mengerahkan seluruh pekerjanya untuk memasukkan belanjaan itu satu per satu. Bagasi mobil terbuka otomatis. Semuda itu, pekerjaannnya apa, ya? Berapa gajinya sehingga bisa membeli mobil semewah itu? Keluar lagi seorang pria tua dipapah cucunya. Duduk membaca buku bersama di kursi besi, sambil menanti hujan reda. Sepertinya pria tua itu sudah selesai dengan dirinya sendiri. Aku melihat ke dalam diriku lagi. Kerja sebagai guru sudah puluhan tahun. Menjadi wakil kepala sekolah. Namun, aku belum bisa membeli mobil semewah itu. Bahkan sampai anakku dewasa, aku belum memberi hidup yang layak padanya. Melahirkan anak dalam kondisi miskin katanya adalah kejahatan. Seburuk itukah aku? Aku yang menanggung semua karma masa lalu. Yang harus dipersalahkan hanya aku. Bukan pada Dahayu apalagi pada Batari.
"Laki-laki memang sulit bercerita, Sagara! Rebahlah padaku" Kursi besi ini seolah bicara padaku. Aku dimintanya rebah agar bisa mengingat bagaimana masa kelam yang berhasil kulalui seorang diri. Yang kulalui tidaklah mudah. Ada duka Ibu, luka ibu, duka Renjana, luka Renjana. Meski aku tak merasa terluka, aku yang menampung semua luka itu. Menertawakan luka itu sampai pada akhirnya aku berdamai dengan semuanya. Mengapa kini, anakku, Batari, harus menghadirkannya lagi? Di hadapanku, dengan terang-terangan, terbuka, tanpa aba-aba. Tidakkah Batari melihatku berdarah-darah agar luka-luka masa lalu tak menghantuinya? Cukup berhenti padaku, pada Dahayu, juga pada Renjana. Berapa harga sebuah ketenangan? Aku terseret lagi. Mestinya, semua orang yang terlibat masa lalu, akhirnya harus mati. Jejaknya tak akan ada lagi, tak diketahui, dan tak diwariskan.
Hujan membuat orang yang paling ingin pulang menjadi terhalang. Atau hanya akal-akalan saja. Laki-laki katanya tak boleh menangis, maka maafkan aku yang melakukan dosa itu. Hujan menyamarkan air mataku. Tak ada yang mampu menyaksikanku terisak, bernapas dalam-dalam sebab air mata berlomba untuk keluar. Ini kali kesekian aku terluka. Sebelumnya, tak pernah seperih ini. Tak pernah sepahit ini. Tak pernah sengilu ini. Aku tak ingin cepat pulang. Di sanalah sumber luka itu. Melihat anak perempuanku menagih restu, sedangkan hatiku masih ngilu. Mengingat lagi apa yang telah dan akan terjadi. Aku di ambang batas antara merelakan dan menjerumuskan. Aku belum ingin pulang. Ingin rebah pada kursi besi dan hujan yang memanggil-manggil. Padahal ada jas hujan di motorku yang bisa melindungiku dari deras gerimis juga deras air mataku. Aku tak melakukannya. Aku tak ingin cepat pulang. Hanya tak ingin. Kursi besi ini, tempat anak muda mengadu, tempat anak muda merasa didengarkan. Usiaku tak bisa menipu. Aku bukan seorang muda lagi, tapi kursi ini juga mampu melegakan yang setengah baya sepertiku. Aku rebah pada besi-besi dinginnya. Menopangku sekuatnya. Tanpa malu-malu kukatakan pada kursi ini. Aku gagal jadi anak, gagal jadi suami, gagal jadi ayah, gagal jadi kakak, sejak dulu gagal menjadi diri sendiri. Jika manusia lain merasakan puncaknya menjadi manusia ketika sukses. Aku sebaliknya. Segalanya telah gagal. Ini puncak menjadi manusia yang diinginkan Tuhan terjadi padaku.
***