Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #4

Guru Hidup #4

Tahun 1986. Benar saja, aku menjadi sarjana. Sarjana Pendidikan, sesuai ingin Ibuku dan kala itu yang paling masuk akal. Waktu seakan menjadi bisu. Aku sendiri tak percaya jika bisa melampaui ini. Bukankah filsuf mengatakan jika manusia tidak pernah benar-benar tahu batasnya, sampai Ia dipertemukan berbagai keadaan, berbagai cobaan. Belum banyak yang bisa jadi guru. Guru legal, maksudku. Masa itu, sekolah, pendidikan, guru adalah barang mahal, langka, dan berwibawa. Skripsiku berjumlah dua puluh halaman yang setengah mati kukerjakan. Tipis sekali. Sekali duduk, seseorang akan memahami masalah yang hendak kupecahkan. Tentunya, duduk dan membaca dengan serius. Setiap kata menjadi kalimat, kalimat menjadi wacana. Bukan..bukan hanya itu. Ada kumpulan emosi, kumpulan pendapat, dan ribuan pertanyaan yang tak bisa kuutarakan langsung. Lembar demi lembar ada nyawa-nyawa yang berarti. Skripsi bagiku kumpulan peluh yang selalu mengingatkan tujuan hidup. Pengetikannya menggunakan mesin tik. Betapa mesin ini melatih sabar dan konsentrasiku. Artinya harus nir kesalahan. Tidak ada copy paste. Kata persembahan seharusnya ditujukan kepada diri mereka sendiri dan orang tua yang mendukung secara mati-matian. Semua murni kata-kataku yang kusarikan dari literatur. Buku masih sangat langka zaman itu. Referensi skripsiku semua berbahasa Melayu, Belanda, beberapa bahasa Inggris. Kala lulus, Ibu memajang skripsiku selayaknya lukisan dewa-dewa. Mungkin, baginya, skripsi ini paling berharga yang bisa ditemukan di sudut rumahku.

Skripsi atau sebutannya tugas akhir adalah seleksi alam pertama bagi seorang calon sarjana. Banyak yang berguguran sebab tak cukup tangguh direndahkan, dipermalukan, dan dimintai pertanggungjawaban. Teman sekelasku hanya dua belas orang dan yang benar-benar menjadi sarjana tersisa delapan orang. Tak ada toleransi. Rasa kasihan ditunjukkan dosen dengan menyentuh sanubari. Bukan mengatrol nilai atau meluluskan saja. Setiap dosen memegang teguh janjinya. Nilai A berarti mereka punya keahlian mumpuni, presentasi fantastis, dan gaya bicara yang layak disebut mahasiswa. Sangat langka. Setiap pertemuan perkuliahan sayang untuk dilewatkan. Ada banyak cerita, sejarah, memori, juga teknik menghadapi hidup dari dosen yang membuat setiap manusia belagu di kelas menjadi terbahak-bahak bahkan tersedu-sedu. Kami menyadari bahwa kesarjanaan ini dirindukan oleh banyak orang. Kursi yang kami duduki, gedung yang kami tempati, kertas-kertas berisi pena dan tulisan ilmu pengetahuan adalah mimpi banyak orang. Seketika penaku melukis Renjana. Renjanalah satu dari sekian manusia yang mendambakan ini semua. Perkataan dosen menamparku seketika. Bahwa aku tak boleh bermain-main. Renjana dan Ibu menggadai perasaan mereka untuk melihat aku jadi sarjana. Tak ada lagi pertanyaan mengapa harus aku. Laki-laki sepertiku harus menyelesaikan apa yang telah aku mulai, apa yang telah aku sanggupi, dan segala janjiku untuk perempuan-perempuan hebatku. Kelak, jika aku memiliki anak perempuan, Ia harus sekolah setinggi-tingginya, setara dengan manusia lainnya, dan tak harus mengalah untuk hal-hal yang Ia perjuangkan, yang Ia mimpikan.

Singaraja yang panas selalu membakarku. Membakar dalam arti sesungguhnya. Membakar semangat, mimpi, dan cita-cita. Juga membakar untuk menakar sedih, luka, kecewa. Jika keadaan sedang tidak baik, aku bisa bersedih seharian. Hanya sehari, setelah itu tak ada lagi yang celah untuk mengeluh bahkan mengeluarkan air mata. Tak tertulis di skripsiku sebagai kata persembahan. Tak ada yang perlu tahu saat aku memegang perut menahan lapar. Tak ada yang perlu tahu saat aku rindu pulang. Tak ada yang perlu tahu saat aku diberi peringatan pembayaran SPP serta pembayaran lain yang menumpuk. Tak ada yang pernah tahu bagaimana aku menyelesaikan itu semua. Aku pun tak tahu bagaimana aku tiba-tiba bisa selesai. Aku jarang pulang. Sebab jeda semester kuisi dengan bekerja. Mendapatkan tawaran untuk menjadi pembaca dongeng, pelatih pentas seni, pelatih puisi, membuatku bisa merayakan setiap sepi. Kadang bayaranku bisa sepiring nasi, akses membaca gratis selama sebulan di sebuah toko buku, juga uang beberapa rupiah yang bisa mengisi dompetku. Kerap menjadi asisten ahli untuk teman-teman yang memang malas tetapi memiliki uang melimpah. Aku bertugas mengetik, memandu mereka presentasi, dan mereka kerap memberiku upah. Hadirku selalu dirindukan kala ujian sudah dekat. Aku menjelaskan ulang penjelasan dosen dan mereka mendengarkanku. Mirip seperti joki. Tapi, joki sepertiku apakah menyalahi hukum? Melakukan ini saja, aku seperti dewa bagi mereka. Pernah sekali waktu Ibu hampir tidak bisa membayar uang kuliahku. Merekalah yang beradu waktu, iuran bersepuluh agar aku tetap bisa melanjutkan kuliah. Jika aku harus dipenjara karena menerima bayaran untuk setiap tugas orang lain yang kukerjakan, aku meminta maaf pada negara yang gagal memelihara yatim sepertiku. Bukankah fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara? Bukan dipelihara oleh jalanan juga kehampaan. Beberapa kali ingin menyerah, tetapi bayang Renjana juga Ibu selalu lebih terang dari rasa menyerah itu.

Butuh akal yang lebih panjang dari lidah, dari tangan, dari kaki, dari mata. Menyiasati makan hari per hari. Berkelompok membeli daging untuk dijadikan kuah. Aku bertugas membuat bumbu dan mengolah daging. Dipotong kecil-kecil agar cepat meresap dan diberi kuah yang banyak. Tanpa tambahan sayuran. Sebab sayuran bisa mempercepat kuah dan daging ini basi. Masakan khas Karangasem bernama tim. Olahan base genep dan rindu pada masakan Ibu membuat tim ini sungguh lezat, aromanya memikat. Kuah kuning dari olahan bumbu dan daging yang empuk membuat kami anak kosan seperti tidak pernah benar-benar makan selama sebulan. Lahap sekali. Meski kami harus mematuhi aturan. Hari pertama kami menyantap nasi dan kuah serta bumbunya yang melekat. Hari kedua, masih menyantap nasi dengan kuah serta irisan mentimun untuk lalapannya. Hari ketiga, kuah sudah menipis, dipanaskan lagi dan ditambahkan sedikit air lagi agar kaldu-kaldu daging benar-benar terperas habis. Tak ada mahasiswa gizi di kosan ini, sehingga aturan karbohidrat, protein, menjadi hal ke sekian yang kami perhatikan. Perut terisi, otak bisa jalan, dan tubuh bisa bekerja, Itu saja yang kami pedulikan. Hari keempat, kami mulai menikmati dagingnya. satu per satu gigitan. sedikit demi sedikit dan tak boleh berebut jatah. Semuanya ditakar dan kami tak terbiasa menyantap yang bukan jadi takaran kami. Hari kelima, jika ada sisa daging, maka kami diizinkan berebut. Ini paling nikmat. Mendapat jatah daging terakhir sebelum makan nasi dengan garam dan minyak kelapa. Kami menyebutnya uyah lengis. Rasanya nikmat sekali jika dimakan sesekali waktu. Jika berturut, mungkin kala itu, kamilah mahasiswa paling stunting yang dimiliki Fakultas Ilmu Pendidikan. Selembar daging bisa menjadi cerita untuk mengenal manusia. Ya... cara manusia memakan daging, sayur, nasi, dan segala remah-remahnya menentukan pula adab mereka yang sesungguhnya. Perihal makan bisa membuat hubungan manusia makin karib juga makin menjauh sejauh jauhnya. Tidak jarang makan bersama menjadi alasan untuk melanjutkan atau menyudahi sebuah hubungan. Zamanku juga pada masa kini kukira polanya masih sama. Mengajak bertemu, lalu makan, lalu hati menawar. Perihal omongan orang bisa setinggi langit, tetapi perilaku makannya, tak bisa menyembunyikan apa pun. Inilah cara mempelajari manusia, menimbang apakah cukup bijak untuk menjadikannya kawan atau hanya teman biasa. Giliran memasak seperti ini kadang membuat personil kami berubah, berkurang, dan jarang sekali bertambah. Mereka yang culas, licik, mau menang sendiri, rakus, biasanya tak bertahan. Pola makan yang bergiliran ini pun semakin memperkaya wawasanku tentang aneka menu masakan khas berbagai daerah. Tum, dibuat oleh temanku dari Klungkung. Adapula membuat topot kuliner tradisional yang berasal dari Desa Peliatan, Ubud. Topot mirip dengan entil, kuliner khas Desa Pupuan Tabanan. Ini bisa membuat nasi awet hingga dua hari. Membuat ayam kecap, be sitsit, yang bisa tahan seminggu. Asalkan tidak mencuri, berbohong, nyolong, menipu, akal kami harus lebih panjang dari segalanya untuk bertahan hidup. Sebab kami bagian manusia yang memaksakan bermimpi menduduki bangku kuliahan dengan uang tipis, tetapi tekad seolah melebihi yang berkelimpahan. Perihal pertemanan dahulu, kami tak perlu melakukan apa pun, tak perlu usaha keras untuk meyakinkan seseorang agar tetap tinggal sebagai teman. Kami tak memerlukan hal berarti untuk menjaga pertemanan itu. Hanya kejujuran, menjadi apa adanya, dan bisa menampung seluruh duka suka, itu saja kriterianya. Tidak seperti zaman ini, menjaga pertemanan adalah hal yang mahal, mewah, kadang mengorbankan diri sendiri. Bahkan, tidak memiliki teman pun, hidup masih bisa berjalan, tertawa, dan bahagia. Untuk apa menggenggam yang terus melukai? Melelahkan.

Semua pilu yang ku ceritakan pada akhirnya menjadi kebanggaan yang tak mungkin terulang kali kedua di hidupku. Menjadi sarjana rasanya muskil sekali menghampiriku. Ada bagian baik dari takdirku untuk mengizinkan semua ketidak mungkinan ini terjadi. Beban yang selalu menguatkanku, membangkitkan lagi, dan tak takut terluka, sebanyak apa pun itu, hanya karena bayangan Ibu. Paling sulit bagiku adalah berlomba dengan usia Ibu, usia Renjana, dan usiaku. Satu alasan aku jarang pulang, meminta Ibu tak pernah mengunjungiku. Kerutan, nadi-nadi kecil yang menyembul di kulit putih Ibu tak bisa menyembunyikan seberapa keras Ia telah bekerja. Seberapa jauh usianya terpaut untuk memastikanku lulus lalu bekerja. Selurus itu. Akah kah Ibuku hidup selamanya? Paling jelas, saat beberapa pertemuan di Pelabuhan Dermaga Buleleng, kulit pipi Ibu telah turun, rambutnya telah memutih sebagian, senyumnya turun meski Ia sudah tersenyum lebar sekali, jalannya melambat, gerakannya terikat. Sanggul dan kebaya yang digunakan Ibu bukan lagi berwarna cerah, terang, melainkan lebih redup, sendu, tetapi tetap motifnya bunga-bunga. Sungguh, meski menua, termakan usia, kulitnya tak lagi kokoh, Ibuku tetap memesonaku. Keanggunan seorang Ida Ayu, sedikit pun tak pernah luntur. Caranya bertutur membuatku harus belajar jika benar aku anak dari rahimnya yang gembur. Menata setiap kata, memilih dengan tepat kapan waktunya berbicara. Ibu hanya lulusan Sekolah Rakyat, tetapi keinginannya, pengetahuannya tak terbendung. Proses kuliahku pada awalnya agak terlambat berusaha ku percepat. Aku tak bisa melawan waktu. Aku tak sedang melawan apa pun, tidak pula bersaing dengan siapa pun, tidak sedang, tidak pula sedang membuktikan apa pun. Aku hanya ingin melihat harapan-harapan Ibu terwujud. Ibu memberiku bangku kuliah dan berharap aku memberi bangku selanjutnya pada Renjana. Ibu percaya betul jika sarjana, terdidik, berilmu pengetahuan, memiliki gelar, maka aku akan sangat mudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Maka, dariku bangku kuliah yang Ibu gadaikan bisa dimiliki oleh Renjana. Setiap merayakan ulang tahun Ibu, hatiku teriris. Berharap tahun per tahun tak berjalan secepat ini. Ibu selalu menanti hadiah dariku dan itu menyesakkan.

"Mana buku yang Ibu ingin, De?"

Ini sama sekali bukan tentang berapa mahal harga buku yang Ibu minta setiap ulang tahunnya. Melainkan isi buku itu yang membuat getirku ingin menyudahi semua. Kehidupan setelah Kematian menurut Hindu, Atma Prasangsa Kisah Perjalanan Roh Setelah Kematian, Perjalanan Sapta Rsi, serta buku-buku lainnya yang justru membuatku ingin menghentikan Ibu untuk membacanya. Belum lagi pertanyaannya padaku.

"De, di perkuliahan apa pernah dijelaskan, setelah mati keinginan-keinginan kita akan ikut mati juga?"

"De, dapat mata kuliah agama? Tanyakan pada Profesornya siapa yang paling bersedih ketika seseorang mati?"

"Untuk apa semua pertanyaan itu, Bu?"

"Persiapan, De. Mempersiapkan segalanya. Bukankah kematian adalah hal yang paling pasti?"

"Kematian Ayah tanpa persiapan sama sekali, Bu"

Lihat selengkapnya