Setelah putusan MPR itu, aku memuja Gusdur. Matanya mungkin buta, tapi tidak hatinya. Gusdur melampaui yang pernah terjadi di zaman ini. Demonstrasi putusan MK pernah menjadi sejarah abu-abu yang terulang di musim negara yang katanya makin beradab. Saat Gusdur mencalonkan diri, dirinya terjegal aturan kesehatan menjadi seorang Presiden. Sehat secara fisik dan jiwa kemudian diakali dengan dalih kalimat mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas sebagai presiden dan wakil presiden. Nasib memang memilih Gusdur. Takdir memang menuliskan Indonesia harus dikenal dengan segalanya yang tak beraturan. Aturan sangat mudah berubah dengan dalih menuju peradaban manusia. Jika bukan karena sosok Gusdur yang sangat dicintai, mungkin demonstrasi zaman itu lebih kuat, bergetar, dan menumbangkan, melebihi 1998. Tak ada yang menyangka perjalanan Gusdur seterang ini. Meski belum dua tahun, Gusdur telah memiliki panggilan bapak pluralis, bapak toleransi, bapak Tionghoa, bapak perdamaian. Sebab Gusdur mengembalikan apa yang pernah direbut. Bahwa yang lahir dari pesantren bisa membebaskan mereka untuk merayakan Imlek. Persekusi atas tuduhan simpatisan maupun golongan berdasarkan kulit dituntaskan, diluruskan, membuat Gusdur menyala. Gusdur menjadi fenomena baru bagi bangsa ini. Aku seperti terlahir kembali. Zaman ini pun aku bisa bersuara lagi tentang malam jahanam yang meniadakan Ayahku juga sebagian dari hidupku. Gusdur disambut, dielukan sebab keputusannya sungguh melegakan banyak pihak. Mata hatinya menembus suara-suara di kepala yang justru terkungkung selama puluhan tahun. Tak ada yang memikirkan kebinekaan sebaik Gusdur. Hak yang tertuduh dan teraniaya dipulihkan. Seperti hidup berulang. Meski tak sama, tetapi lebih masuk akal. Apa yang semesta kehendaki padaku untuk terjadi? Aku kehilangan Ayah saat aku belum bisa mengenalnya lebih lama, lebih jauh, lebih dalam. Telah kukatakan bahwa aku hanya tahu Ayah pulang setahun paling banyak tiga kali. kehilangan sebelum pernah merasa memiliki. Rasanya tidak begitu sakit. Justru kesakitan bagi yang meminta mati setiap hari. Ibuku. TAP MPR itu disebut pembebasan. Aku tak harus menyembunyikan apa-apa lagi. Mungkin nasib baik bisa menemuiku lagi dan dipercaya jadi guru setelah sekian tahun jadi pegawai TU. Golongan hitam, sampul D, tak akan pernah lagi memberatkanku. Surat pemulihan, pemutihan atas nama korban dan seluruh keluarganya. Aku tak harus lagi membohongi Ibu, juga membohongi diriku sendiri.
Ibu mengucap merdeka pada Gusdur dan seolah memanggil Ayah dari persembunyiannya.
"Tak usah takut lagi, Bli. Namamu telah dihapuskan. Lekas pulang atau bisa kutemui dimana untuk menjemputmu?"
Ibu setengah gila menirukan pembacaan TAP MPR yang baru. Ia mencakup kedua tangannya di depan televisi kala Gusdur berbicara untuk menegakkan keadilan. Bila mana anak koruptor, bahkan bayi-bayi yang belum lahir bisa menerima pula hukuman atas apa yang tidak diketahuinya, tidak dilihatnya, dan tidak dilakukannya? Bertahun-tahun menunggu putusan ini. Meski Renjana meminta mengikhlaskan, Ibu masih memikirkan di dalam hatinya. Suatu saat akan ada titik terang atas malam jahanam itu. Penderitaannya panjang, penuh prasangka. Hingga senja usia, Ibu masih menunggu Ayah datang. Ibu terus mencari dalam dua pilihan. Menemukan dalam dua keadaan. Kehilangan dalam dua kemungkinan. Apa yang akan dilakukan Ibu ketika menemukan kuburan ayah? Apa pula yang akan dilakukan Ibu ketika Ayah nyatanya masih hidup, tetapi hilang ingatan, tidak lagi sempurna, atau justru dalam hilangnya, Ia telah menemukan keluarga baru? Jawabnya sungguh memilukan. Sekali pun Ayah tak lagi mengingat atau justru membangun keluarga baru, itu pilihan paling baik di antara keduanya, menurut Ibu. Ibu ingin melihat Ayah dalam sosok yang utuh. Bukan saja untuk dirinya, melainkan Aku dan Renjana juga masih memiliki seorang Ayah. Hidup kami tidak timpang, rumpang, bercelah, atau pincang. Tak ada anak yang menginginkan ini. Tak apa bagi Ibu jika pada akhirnya, Ia bukan satu-satunya. Setidaknya bisa melihat Ayah dalam kondisi utuh, hidup, dan baik, seperti melihat matahari tapi tidak terbakar terik. Semegah itu perasaan Ibu. Aku dan kakak, meski buah rahimnya, tak akan pernah bisa menggantikan kecintaan itu. Cinta yang wujudnya berlainan. Cinta yang tak bisa diterjemahkan, tetapi selalu mengagumkan.
Tak banyak perempuan mengurusi soal politik dan ingin tahu apa yang terjadi dengan dunia yang cepat sekali berubah. Ibu tidak seperti perempuan kebanyakan itu. Isu politik menjadi menarik baginya. Berharap bisa mengembalikan segalanya yang ada di masa lalu, sebelum malam jahanam itu. Ibu membaca koran, buku, mendengarkan radio hanya untuk tahu apa yang dilakukan Presiden atas jutaan kematian yang bahkan tanpa pengadilan itu.
“Untuk apa menghukum anak-anak yang bahkan ketika lahir tidak tahu persoalannya?”
“Toh jika benar terlibat, apa anak istri dan keluarganya juga harus dihukum?”
Kalimat Gusdur di televisi selalu ditirukan Ibu berkali-kali. Mengepal tangan di dadanya. Air matanya tumpah setelah ditahan di ujung beberapa detik. Tak bisa dibendung lagi. Semuanya tumpah. Meneriakkan merdeka, padahal kemerdekaan sudah tahun 45. Arti merdeka bagi negara dan bagi Ibuku berbeda. Meski tak lagi mendapati suaminya pulang, setidaknya keputusan Gusdur bisa membuatnya lari dari prasangka. Suaminya, ayahku, hanya tertuduh. Salah membaca prasangka yang disulut dendam, dengki, dan ketidakberdayaan. Ijazahku kini tak lagi terjerat sampul D, sampul kotor, yang membedakan aku dengan anak warga lainnya. Aku bisa menjadi profesi apa pun tanpa ada yang bertanya latar belakangku. Aku bisa menuliskan lagi nama ayah juga ibuku. Mereka adalah nama yang seharusnya ditulis. Hanya demi menyelamatkan masa depanku, nama orang lain disematkan. Sampai aku pun bertanya tentang siapa nama ayah dan ibuku sesungguhnya. Sejahat ini negara memberi luka. Pada mereka yang tersisa. Tersiksa tanpa pengadilan. Kehilangan tanpa seorang pun bisa membaca duka. Apakah ada utang lebih hina yang diberi negara?
Buku sejarah selalu mengingat September 65 sebagai peristiwa kelam. Mencekam bagi negara. Lalu, bagi yang ditinggalkan, diculik, difitnah, bagaimana mereka mengenang peristiwa paling berdarah itu? Saban tahun diperingati dengan alasan mengenang. Lalu yang tak ditemukan kuburnya, tak pernah kembali, dimana seribu tanya atas tubuhnya, jasadnya, atau abunya. Di buku sejarah itu, aku sempat membenci ayahku. Kalimat per kalimat membuat anak sekolah hanya memahami sejarah dalam satu sisi. Nyala kebencian benar-benar menyulut dan menyebar dengan cepat. Aku tak berani menatap teman-teman yang memiliki opini sama. Seakan mereka ingin melenyapkanku juga. Menyulut dadaku ketika tiap malam Ibu menangis mengatakan untuk tidak membenci Ayah. Siapa yang bisa menjelaskan jika Ayah tak bersalah? atau benar bersalah? Dia tidak pernah dimintai keterangan atau bahkan diadili. Hanya karena seseorang menyebut namanya, Ayah masuk barisan yang harus dilenyapkan. Ayah seorang prajurit yang tentu juga tahu bagaimana seseorang masih memiliki waktu untuk menjelaskan, menggugat, dan melayangkan praduga tak bersalah? Perlahan Ibu menjelaskan. Memanggil lagi ingatannya juga dukanya. Mengenang malam yang seharusnya dihabiskan saja. Malam ketika leluhur tak menolong Ayah juga tak mendengar doa Ibu. Dipegangnya bahuku pelan agar aku tak membenci Ayah. Mengatakan jika Ayah sama sekali bukan penghianat. Bertahun-tahun pengabdian meninggalkan anak istri hanya demi panggilan negara. Kini, kematiannya tak dikenang, tak dihidupkan sebagai prajurit. Apalagi yang bisa memperolok sejarah selain rasa dengki?
Ayahku, seorang pensiunan tentara tak bisa luput dari kematian. Bukan di medan perang. Bukan pula pada senapan atau pisau belati atau mati di hutan belantara. Seperti memiliki seribu nyawa, Ayahku selalu dilindungi leluhur. Ibu juga percaya ini dan kami, anak-anaknya selalu melihat Ibu dengan ritualnya yang tiada henti. Berdialog dengan leluhur setiap hari seperti seorang bestie. Kepercayaan memang hanya bisa dirasakan, bukan diamati. Pantangan dan kebaikan selalu dijalankannya. Menyusun kembang, membakar dupa, mempersembahkan sajian terbaik sebaik yang dimakan Ibu adalah caranya bersyukur atas hidup dan selamat yang berkali-kali Ayah rasakan. Aku jadi saksi bahwa benar kekuatan doa istri sangat mujarab untuk hidup dan karier suami. Namun, setiap manusia punya jatah bahagia dan jatah hidup yang sudah ditakar. Ayahku justru dihabisi di rumahnya sendiri, di tanah kelahirannya sendiri. Karena pergunjingan, sebab dendam, iri hati, membuat orang-orang berdalih untuk menguasai. Seandainya Ayah tak begitu mencolok di mata musuh-musuhnya, mungkin kematian bisa ditawar lebih indah, lebih lama, bahkan lebih alami sesuai doa orang hidup atas kematiannya nanti akan seperti apa.
Malam itu, umbul-umbul kecil berwarna kuning di letakkan di rumahku. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Simbol itu sebagai pertanda bahwa ada yang terlibat dalam kudeta kotor. Mereka tak mendatangi perempuan dan anak-anak. Mereka datang untuk satu pria dewasa di rumah itu. Ayahku. Pensiun dan dipercaya memimpin warga membuatnya terpandang dan cakap. Tutur laku ayah yang tegas, cerdas, dan berani, membuatnya tak banyak memiliki teman. Ayah tak suka pergumulan. Tak banyak yang suka membangun desa, memberdayakan petani, tapi ayah melakukannya. Justru ayah terasing di tanah kelahirannya sendiri. Dianggap orang baru yang tiba-tiba haru akan kondisi desa. Yang anti perubahan akan menganggap Ayah tidak waras selepas pensiun. Bukankah banyak yang setelah pensiun tiba-tiba hilang ingatan, sakit, bahkan mati, seolah tidak siap melepas yang pernah didapatkannya. Orang-orang menganggap Ayah bagian dari fase itu. Namun, Ibu meyakinkan bahwa Ayah tak ingin semua ini. Ayah pensiun lebih muda dari seharusnya agar dapat menemani anak-anaknya tumbuh setelah masa emas anak-anak tak pernah dilihatnya, tak pernah dimilikinya. Ayah ingin merasakan menjadi ayah sungguhan. Mengantar sekolah, menyiapkan bekal, mengajari anak bermain sepeda, menerima rapor hasil belajar, berenang bersama, serta bermain kuda-kudaan yang tak pernah menjadi kenangannya. Namun, permintaan seorang sepuh di desa yang juga dihormati membuat Ayah tak bisa menolak.
Materi bukan lagi yang dicarinya, melainkan hal-hal yang bersifat ke dalam. Ayah sudah selesai dengan itu. Ayah memiliki tanah yang cukup untuk bekal hari tuanya. Ibu berbisnis kain yang telah dikenal hingga luar pulau Bali. Kain geringsing yang memang magis dan bertaksu. Rumah tua dengan luas menakjubkan pun dimiliki Ayah. Ayah membangun seluruh desa agar teraliri listrik secara adil. Ayah membangun taman baca di sudut rumah yang kerap didatangi anak-anak. Buku sejarah dan militer paling banyak bertengger. Membaca aksara bali, lontar, ditekuni Ayah dengan sangat baik. Apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang prajurit yang pensiun, guru yang purnabakti, pegawai kantor yang pensiun, dan semua yang telah memiliki masa kerja, habis masanya? Bagi tetua, sepuh, dan senior, menjalani hari tua dengan memperdalam ilmu agama adalah pilihan paling mungkin untuk mempersiapkan bekal kematian. Ayahku juga begitu. Makidung, macepat, dharma wacana, mempersiapkan menghadapi kematian adalah kesukaan baru yang tak bisa dibendung. Ayah belajar pengobatan tradisional, pijat, dan jimat. Orang-orang kerap menganggapnya sebagai orang pintar. Sepintar apa bagi yanh hanya lulusan SD? Meski Ayah seorang prajurit, sekolah ayah juga tak dijalani dengan sungguh-sungguh. Zaman itu belum banyak yang sekolah tinggi, apalagi bermimpi jadi prajurit. Mereka yang dipersiapkan oleh nasib saja yang bisa sampai. Berbeda dengan zaman ini, justru pengangguran dibayar mahal, tak tersentuh bangku kuliah bisa duduk mewakili rakyat, orang kota meraup suara di kampung, di pedalaman hanya untuk batu loncatan. Semua dilakukan tanpa malu, malah menganggapnya biasa, wajar, dan tak apa. Beramai-ramai membawa keluarga untuk berbagi singgasana. Apakah setiap politisi hanya mampu dihargai dari nominal-nominal itu? Ayahku dibesarkan di hutan belantara, meski sekolah formalnya hanya sampai sekolah rakyat. Ia lebih banyak berpasrah pada alam. Instingnya tajam dalam berbagai hal. Akan tiba musim kering, musim hujan, paceklik, bahkan musim sakit, kesemuanya pandai dibaca Ayah. Kecuali membaca kematiannya sendiri, tak begitu terang baginya.
Ayah mendatangkan guru-guru muda untuk mengajar membaca. Keinginan Ayah semua orang di desa Manggul ini tak ada lagi buta huruf. Semua harus bisa membaca pertanda agar tak mudah diperdaya. Cara militernya yang tegas cenderung keras membuat banyak orang berhasil terentaskan dari kegelapan. Namun, sebaik-baiknya Ayah, ada orang-orang yang tak menyukai kesuksesan, alergi dengan keberhasilan, tetapi menginginkan kemapanan.
Ayah tak sempat memetakan jika akan terjadi pembantaian tak berprikemanusiaan. Tak pernah terbayangkan kekejian ini dilakukan di tanah yang menjunjung tinggi adab, sopan satun, dan penghormatan. Bahkan perang berdarah ibu kota, tercemar hingga desa. Namun, soal anggaran di pusat, tak pernah cipratannya sampai di desa. Pergolakan hitam 65 ini dijadikan kesempatan untuk memfitnah Ayah. Bahkan di saat Ibuku hancur oleh kemalangan, musuh itu justru makin berkelimpahan. Biji dengki yang ditanam erat di hati bedebah itu akhirnya berbuah juga. Karma apa yang membukakan jalan? Sebab bendera kuning itu, kematian menjemput paksa Ayahku. Sebab salah membaca pertanda, Ayahku jadi tertuduh. Sampai pada akhirnya Ibu tahu siapa yang meletakkan bendera kuning itu. Namun, tetap saja Ibu tak bisa melakukan apa-apa. Ibu mengingat lagi dialog itu. Membuka ingatan lagi tentang apa yang terakhir kali dibawa Ayah sebelum dinyatakan hilang. Selain hati Ibu, Ayah membawa hal yang sangat mungkin dikenali Ibu. Itu yang terlihat oleh Ibu dalam perjalanannya tempo lalu. Sangat dekat sekali. Mengapa lantas perlu waktu bertahun-tahun untuk mengetahuinya, menemukannya, lalu mempertanyakannya? Aku melihat lagi perangai Ibu seolah hidup dan dirayakan lagi. Ia pergi sendiri menelusuri keyakinannya yang hidup lagi. Benar bahwa bau busuk dari bangkai tak akan pernah berhasil ditutupi. Pada masanya, pada waktunya, kelak akan terungkap. Ibu belum siap, tetapi hatinya bergetar antara ingin tahu atau mati karena tahu.
“Sengkog, buka pintunya!”
Ibu mendobrak memaksa masuk pada satu rumah yang ternyata masih kerabat jauh. Rumah ini telah jauh berbeda dari sebelumnya. Telah berhias, bertambah luas, juga palinggih nya bertambah. Padahal Ibu tahu bahwa laki-laki bernama Sengkog ini tidak bekerja. Hanya mengandalkan hasil sawah. Badannya dulu kekar kini menjadi tambun sebab makan duduk saja kerjanya. Sengkog tak sering terlihat. Ia cenderung menutup diri. Rumah Sengkog dijaga banyak orang. Entah Sengkog bekerja sebagai apa dan jabatannya apa. Ibu mengingat lelaki ini. Di matanya ada kebencian ketika menatap Ayah. Namun, selalu berujar, berdalih mengatakan bangga, terpukau, pada Ayah. Dia salah satu pekerja pada proyek yang dipimpin Ayah untuk membangun jalan desa. Sengkog yang bertubuh kekar itu pernah digosipkan menjadi algojo. Tanpa tahu siapa yang akan dibunuhnya, Ia membabi buta mengikuti petunjuk ketuanya. Namun, Sengkog seolah lupa bahwa ketika membunuh seseorang, Sengkog sejatinya telah membunuh dirinya sendiri.
Sengkog membukakan Ibu pintu. Ia terheran melihat sosok yang begitu dikenalnya tiba-tiba berdiri di depan pintu rumahnya dengan raut wajah marah dan sisiran yang acak-acakkan. Sengkog masih menerka siapa perempuan ini. Asing, tapi memenuhi satu memori di kepala.
"Siapa sesungguhnya yang memanggilku Sengkog selain kerabat?" pikir pria itu.
Nama Sengkog tak pernah lagi disebutnya setelah kasus 65 itu. Pria itu dikenal dengan nama baru, Wayan Waru. Pandai benar menyaru. Ia tahu benar jika dipanggil Sengkog, maka seseorang telah datang menagih masa lalu atau membawanya pada masa yang sama sekali tak ingin dikenangnya. Ibu melihat tangan Sengkog penuh bekas luka. Tajam dan dalam. Namun, Ibu melihat pula di jarinya melingkar sesuatu yang sangat dikenalnya.
“Bedebah. Kembalikan cincin itu. Kau tak pantas memakainya. Kembalikan”
“Sabar, Mbok Dayu. Eling. Eling”
Ibu tak kuasa menahan amarahnya. Ia ingin sekali mencabik pria tambun dengan tampang paling menjijikkan. Genggaman yang menahan Ibu diludahi oleh Ibu.
"Bedebah. Najis sekali kau menyentuh tubuhku. Pembunuh. Seluruh keturunanmu akan kuhabisi"