Melulu merana, sedih yang aku ceritakan. Apakah tak ada bagian bahagia yang bisa diungkap seorang Made Sagara? Jika kau menyimaknya sejak awal, bagian indah sudah kuceritakan di setiap tulisan. Memiliki Renjana, Ibuku, setengah dari Ayah, bagian yang aku syukuri. Pernah menemukan karbon ajaib sebagai mainan termahalku juga sangat aku syukuri. Di zamanku, 1986 aku menjadi sarjana muda. Meski tertatih untuk diakui dunia, aku membuat pengakuan sendiri bahwa tak ada yang bisa menjanjikan hidup lebih baik dari yang aku jalani saat ini. Tak ada yang memiliki Ibu sehebat Ibuku. Tak ada yang memiliki kakak perempuan seikhlas kakakku, dan tak banyak pula sarjana abu-abu sepertiku. Melulu tersesat dalam sejarah dirinya sendiri.
Saat malam datang, itu jadi waktu paling liar untuk aku memikirkan segalanya. Termasuk pertemuanku dengan orang-orang. Sepertinya tak pernah sia-sia. Ada yang datang membawa luka, ada yang pergi dengan cinta, ada yang menetap dengan tanda tanya. Semuanya pada awalnya kupertanyakan. Namun, melulu bertanya membuatku makin tak berdaya. Kadang, hidup harus dibiarkan saja. Bahwa memang benar semua orang yang hadir di hidupku membawaku pada pertemuan yang tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. hingga aku bisa terluka beberapa kali, bahagia berkali-kali, juga menebak berulang kali.
Pekerjaan staf TU membuatku selalu bisa dekat dan merasakan profesi guru yang seharusnya jadi milikku, jadi jalanku. Namun, apa yang bukan milikku, tidak akan pernah jadi milikku. Pun sebaliknya. Aku merasakan menggenggam pena, menulis nama-nama siswa, mengajari mereka sastra, dan meminta mereka mendeklamasikan puisi. Favoritku, Sultan Takdir Alisyah Bana. Aku membayangkan kelasku akan riuh dengan berbelas pantun. Jenaka, candu, juga rayuan akan membuatku sejenak melupakan luka dunia. Setiap siswa akan datang membacakan buku-buku bagus hasil rangkuman mereka malam harinya, yang tidak punya buku akan bisa membaca lewat proses mendengar. Inilah kelas yang saling mengisi pengetahuan. Aku akan memimpin pembagian kelompok untuk bertukar biografi tentang tokoh dan sastrawan Indonesia. Benarkah seorang seperti Chairil Anwar, Rendra harus terjebak dalam cinta buta yang membuat pujangga mendua dan mendapat klaim tak bisa setia? Bisakah pujangga tak menjadikan wanita sebagai bahan kepengarangan? Mengapa harus membagi cinta untuk bisa berkarya gemilang? Untuk siapa sebenarnya cinta dirayakan?
Oh…aku sarjana muda yang idealis. Sungguh menjadi guru begitu mudah dalam bayanganku. Seperti bersenang-senang dengan apa yang kusenangi, kukagumi. Bahkan saat aku terluka, aku masih mau melakukannya. Apa namanya jika bukan kecintaan? Sayang, idealisme sarjana muda ini harus runtuh karena aku bukan siapa-siapa. Tak banyak dibahas di bangku kuliah tentang menghadapi luka sejarah pada yang tak bersalah. Satu pesan yang kuingat betul bahwa masing-masing dari manusia sudah tertakar dan tak mungkin tertukar. Tuhan telah memetakan sebaik-baiknya, jangan pernah mempertanyakannya.
Aku kira bersama dengan kepergian Ayah, kemalangan Ibu, juga nasibku yang tak menentu, aku telah sepenuhnya melunasi karma buruk. Sampai bertahun-tahun karma itu tetap membuntutiku. Menjadi bayang-bayang yang bahkan lebih gelap dari tempatku berjalan. Seharusnya Renjana, kakakku bisa menamatkan pendidikan tinggi, setidaknya D-1 kala itu. Seharusnya sudah jadi tuan tanah, Ibuku. Bisnis kain gringsingnya akan laris manis hingga ke tanah Jawa. Ibu yang pandai mempersuasi dan juga pandai bercerita memiliki modal tak tergantikan. Melebihi modal uang, jejaring. Tutur Ibu memikat membuat siapa pun bisa terikat. Datang bukan hanya sekadar belanja, melainkan mendengar semua kalimat Ibu, semua pengetahuan Ibu yang memanggil orang-orang untuk datang. Lagi dan lagi. Namun, semuanya tak terjadi. Tuhan peta jalan yang sesungguhnya. Tak ada lagi pertanyaan. Cuma ada dua pilihan. Diperjuangkan atau diikhlaskan. Laki-laki memang sulit bercerita. Aku juga begitu.
“De, bagaimana di sekolah? Anak-anaknya ga jahil kan?”
“Eh…aman, Kak”
“Tak kah kau sedang membohongiku, De?”
Aku membalik punggungku. Tak pernah kujawab pasti pertanyaan Renjana. Kubiarkan dia menebak dan aku juga tak ingin terjebak. Menahan untuk tak mengatakan apa pun akan lebih baik.
“Kamu guru muda, apa ga ada siswa yang jatuh cinta?”
Tawaku langsung melesat ke arah wajahnya. Renjana mengalihkan semua ketegangan malam ini. Aku yang sedang sendirian berbicara pada bulan, kini telah tergantikan badut bernama Renjana. Tak kujawab pula komedinya. Mungkin di telenovela ada kisah guru dan muridnya, tapi tidak mungkin ada kisah cinta seorang pegawai TU dengan salah satu siswa. Bagaimana membuat judulnya?
“Banyakan baca fiksi kau, Kak”
“Kan kau yang mengajariku. Jika tersesat di dunia nyata, lahirah pada sastra”
Renjana meninggalkanku lalu kesepian membalutku. Sudah lama sejak kurasakan cinta monyet sewaktu sekolah rakyat dulu. Kini, tak pernah kutemukan lagi rasa cinta yang seperti itu. Kawan perempuanku tidak banyak, tetapi tak satu pun memikatku lebih dari kawan. Mapan masih jauh dariku, sehingga tak berani kujanjikan apa pun pada wanita. Pertanyaan Renjana membuatku berpikir bahwa aku telah melupakan diriku sendiri. Tidak bertanya apa yang aku butuhkan dan apa yang tak kuperlukan. Aku tak lagi memahami diriku. Aku berusaha disenangi dan menyenangkan, tetapi lupa bahwa kesenangan dan disenangi berawal dari aku memelihara diriku sendiri. Berawal dari senang dan bahagianya diriku sendiri.
“Bagaimana rasanya setelah tidak mencintai siapa pun, De?”
Aku bertanya pada diriku sendiri. Jika semua disandarkan padaku, lalu aku bersandar pada siapa? Terlahir menjadi laki-laki sungguh harus kuat sekali. Matanya tak boleh basah. Mulutnya tak boleh lebih dari lakunya. Suaranya harus pelan tapi tegas. Semua standar kejantanan untuk tidak boleh lemah pada apa pun. Termasuk soal hatinya, lukanya, juga semua harapannya. Inilah alasan mengapa aku harus hidup tanpa Ayah dan dengan dua orang wanita yang harus ku bahagiakan hidupnya.
***
Setumpuk berkas sudah siap untuk dicap pagi ini. Seandainya masalah itu seperti pekerjaan pada berkas, maka aku tak akan takut mengalaminya. Seberapa pun tumpukan berkas di ruang TU, pasti selesai, pasti berakhir. Aku sudah terbiasa dengan ritme ini. Lagu Iwan Fals tengah diputar Pak Gangga. Mengalun bersama tangan yang sedang giat bekerja. Aku tak ingin berlama-lama. Sebab setelah berkas selesai, aku ingin menulis. Mesin tik di ruang TU lama sekali telah memanggilku. Aku tak memiliki cukup keberanian untuk memulai menulis.
“Pak, boleh saya menulis?”
“Tulis surat buat siapa, De?”