Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #7

Siapa yang ada di pikiranku?#8

Menjadi petugas TU sungguh kunikmati setelah pagi ini menemukan Dahayu. Aku akan jadi Pak Gangga yang setia pada berkas agar dapat melihat Dahayu sekadar menyapa. Aku tak berkeberatan. Ada getaran lain yang membuat nasib burukku tak lagi terlalu buruk.

Dahayu memenangkan hatiku tanpa Ia melakukan apa-apa. Pertanyaannya, tatapan matanya yang hanya efek komunikasi semata telah membuat aku menjauh dari pikiranku. Dahayu memperkenalkan namanya, berdiri seperti layaknya dirinya telah membuatku jatuh cinta. Apakah bisa kumenangkan pula hatinya tanpa melakukan hal-hal yang kutakutkan? Bisakah membuatnya terkesan dengan sekelumit masa lalu yang tak pernah bisa kusimpan dan kutinggalkan? Akankah keluarga Dahayu bisa menerima pegawai TU ini? Jangan-jangan alasan Pak Gangga tak menikah juga karena alasan yang sama sepertiku untuk takut jatuh cinta? Aku takut memelihara cinta tak bisa kulakukan. Mudah buat orang untuk jatuh cinta. Sangat mudah. Itu normal terjadi dan wajar. Bisa datangnya dimana saja, kapan saka, dan dengan cara yang seperti apa saja. Namun, tak semua siap dan bertahan untuk memeliharanya. Apakah Dahayu menginginkan seorang sepertiku? Dahayu memenuhi semua pikiranku. Hingga jika saja hari ini dan seterusnya aku bertemu Dahayu, maka tak akan bisa mengatakan apa pun, tak akan mampu melakukan apa pun, meski setiap hari aku selalu melakukan hal yang sama.

Waktu mengembalikan segalanya untukku. Meski kutahu ini hanya ilusi sejenak. Dahayu membuatku tak lagi memikirkan berkas-berkas, masa lalu, Raya, Yuni, dan semuanya yang pernah singgah. Aku tak meyakinkan apa pun pada Dahayu. Ku katakan hanya keinginanku yang besar dan meluap tentang jatuh cinta pada saat aku tak ingin jatuh cinta dengan siapa pun, apa pun. Semua terjadi di luar kendaliku. Aku tak tahu harus meminta izin siapa untuk jatuh cinta sedalam ini. Aku tidak memiliki apa pun sebagai pencapaian, tetapi bersama Dahayu, aku menjadi utuh. Dahayu lebih sering datang ke sekolah. Dia melihat Pak Gangga yang juga berarti melihatku. Keinginannya menjadi guru sepertiku sangat tinggi. Beberapa kali kuajak dia mengajar langsung anak-anak didikku di rumah alang-alang. Sebuah sekolah nonformal kecil yang kubangun untuk anak-anak yang tak memiliki privilese, hak istimewa. Baru kulihat kesamaanku dengan Ayah telah sejauh ini. Aku dan Dahayu makin karib ketika kami berbincang tentang metode dan media apa yang akan digunakan untuk mengajarkan anak-anak tentang konsep hujan, fotosintesis, asam basa, gravitasi, juga hal-hal menarik lainnya yang terdapat dalam ilmu pengetahuan. Mimpiku makin tersusun lengkap meski sangat berlainan. Aku dan Dahayu tak saling menceritakan tentang kami. Aku hanya tahu Dahayu sebagai keponakan Pak Gangga, tak juga tahu siapa yang menjadi ayahnya atau keluarganya. Tak perlu alasan-alasan lain selain aku bahagia di dekat Dahayu.

"Aku tak ingin kau menjawab jika ini adalah kebalikannya. Pergilah dan jangan datang lagi jika suara hati kita ternyata berlainan"

Dahayu tampak tak mengerti apa yang sedang kuucapkan. Aku memegang tangannya seolah meyakinkan bahwa Ia harus memahami pernyataanku sekaligus merasakan getaran hatiku yang memintanya untuk datang esok hari dengan senyum yang sama, semangat yang sama, dan hati yang telah kumiliki. Dahayu melepasku tiba-tiba. Ia perlahan menjauhiku sesuai yang kuperintahkan. Punggungnya telah menyelinap di balik alang-alang. Dengan keyakinan pergi dan harapanku menginginkan kembali. Aku harus sabar esok hari. Berharap aku tidak jatuh cinta sendiri. Dahayu yang cerdas seharusnya memahami jika cinta sedang kuutarakan. Aku juga mengambil langkah masuk untuk memenuhi panggilan anak alang-alangku. Belajar tentang mengendalikan emosi. Kubuatkan media agar anak-anak bisa menumpahkan segala emosi bahagia, sedih, marah, kacau, tertawa, semua emosi yang harus dirayakan. Namun, satu-satunya yang gagal di kelas itu, adalah aku. Emosi bahagia, cemas, tak bisa kupatahkan. Aku memilih keluar kelas agar tak menebar cemas. Alang-alang setinggi tubuh orang dewasa menyaru di hadapanku. Alang-alang itu bergerak mendekatiku. Ilusikah ini? Perasaan menunggu membuat orang tak bisa membedakan alam khayal atau nyata. Seorang gadis yang sangat kukenal menyembul di balik alang-alang itu. Dahayu. Dia tidak pernah benar-benar pergi. Bahkan dia datang lebih cepat dari lamunanku.

"Aku tidak pergi kemana-mana, De. Hatiku di sini"

Alang-alang menusuk pikiranku dan suara-suara di kepalaku. Meyakinkanku bahwa aku pernah menang dalam perjalanan hidup ini. Tak rumit untuk meyakinkan Dahayu tentang keberadaan hatiku. Aku berjanji akan menunggu Dahayu menamatkan masa SMA nya. Akan kuajak pula Ia menuju mimpinya menjadi guru. Guru hidup. Entah seindah apa aku dan Dahayu di ujung sana, hari ini aku sedang mengupayakan, aku sedang di perjalanan memperjuangkan, dan aku masih tetap akan berjalan.

***

Pagi yang kurindukan sejak semalam akhirnya datang. Tetesan air yang jatuh perlahan di ujung daun membuatku yakin pagi tak salah alamat. Aku membersihkan seluruh kamar. Membereskan isi rumah. Hari ini hari libur, tapi aku tampak bersemangat. Aku seperti mengingat sesuatu yang harus kutanyakan pada Ibu terlebih dahulu.

"Ibu, aku akan menikahi seseorang yang kucinta. Aku meminta restu"

"Siapa perempuan itu, De? Apakah Dia telah mengerti asal usulmu? Apakah Dia tahu keberadaan Ibu dan Ayahmu?"

"Haruskah aku memperkenalkan diri sejauh itu?"

"Aku telah berjanji akan menikahkanmu dengan anak sahabatku. Dia yang membantumu bisa berkuliah di Singaraja, De"

Lihat selengkapnya