Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #8

Batari dan Lukanya #10

Setiap sedihmu adalah tanggung jawabku, setiap bahagiaku itu hanya karena kamu, Dahayu. Bersama lagu cinta semua tumbuh jadi satu dari Dian Pramana Poetra, aku dan Dahayu saling memandang. Kami saling memperlihatkan uban masing-masing lalu mencabutinya satu per satu.

Tangisan dan tawa serta

Riang canda

Berjuta benci juga rindu

Semua tumbuh jadi Satu

Khayalan yang nyata serta

Angan angan

Beruta mimpi dan harapan

Semua tumbuh jadi satu

 

Sesekali kami ikut bernyanyi, lalu kami menertawakan diri masing-masing. Lagu cinta ini tidak pernah tua. Sama dengan cinta kami yang selalu muda. Melihat Dahayu, dunia yang pertama-tama tidak adil menjadi adil. Tentang keputusanku yang tak bisa jadi guru atau pegawai negeri kurelakan. Setidaknya aku masih bisa bekerja sebagai pegawai administrasi di sekolah ini. Aku berusaha berdamai dengan segalanya. Dahayu yang kehilangan ayahnya serta tak sepenuhnya diterima Ibuku telah memberiku buah hati nan cerdas. Aku mengingat saat-saat ia masih di rahim ibunya. Kami benar-benar tidak tahu jika ia sudah hidup di tubuh ibunya selama 3 minggu. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa hidup di tubuh manusia lainnya? Inilah keajaiban yang tidak sembarang orang diberi kesempatan serupa. Kemanapun, apa pun yang dilakukan Dahayu seperti terekam dalam rahimnya. Ketika Dahayu memuja siwa dalam ayat-ayat, ia muncul bergerak-gerak tiada henti. Ketika Dahayu mendengar lagu-lagu cinta lewat radio usang, bayi ini seolah terperanjat dari tidurnya. Saat, aku mengelusnya pelan, ia seolah tahu bahwa aku begitu berharap ia bisa terlahir secepatnya. Kadangkala, 9 bulan ia hidup di rahim ibunya tak pernah masuk hitungan umur manusia. Jika ditanya, berapa umurmu? 25, 15, 19, 31, tak ada yang mencoba menghitung 9 bulan itu. Bukankah seorang telah benar-benar hidup saat 9 bulan pertama di dalam kandungan?

Tentang seorang wanita dan rahimnya. Bagiku, mungkin bagi jutaan manusia di dunia, tempat paling aman dan paling kokoh adalah rahimmu, Ibu. Di tempat ini tak ada konspirasi, tidak ada drama, semuanya hanya tentang keikhlasan seorang ibu yang rahimnya dipinjam semesta.

Dewaki menjadi wanita paling beruntung karena di rahimnya telah lahir sosok Krisna yang merupakan jelmaan Wisnu. Namun, Dewaki harus berbagai cinta dengan wanita beruntung lainnya, yaitu Yashoda. Perempuan ini membesarkan Khrisna dengan kasih sayang seolah Khrisna buah dari rahimnya. Tak banyak yang mengenal Dewaki sebagai Ibu kandung Khrisna. Yashodalah yang selalu dielukan namanya. Antara rahim dan membesarkan seorang anak. Semuanya punya nilai yang mulia. Hanya wanita yang bisa melakukannya.

***

Aku pernah salah, kuperbaiki hingga benar. Berkali-kali aku gagal, kucoba lagi, hingga gagal yang menyerah padaku. Aku teka pernah menyerah untuk bertahan atas pilihanku membahagiakan Dahayu, membahagiakan Ibuku juga Renjana. Seorang sarjana yang hanya tertulis dalam kertas kini pula dibesarkan oleh sawah. Aku menjadi penyakap, seorang yang dipercaya mengerjakan sawah atau ladang milik orang lain. Hasilnya dibagi rata. Aku mendapat beras layak dan putih legit. Aku juga mendapat sayur segar tanpa pengawet. Meski tangan-tangaku berubah kasar, aku bisa menghidupi Dahayu dan Ibu dengan keringatku sendiri. Aku mulai perlahan seperti Ayah dahulu. Ibu menuntunku. Pemilik sawah yang kukerjakan juga tak pernah bertanya dari desa mana aku berasal, siapa ayahku, atau bagaimana masa laluku. Ia hanya melihat kerjaku yang demikian gembur, membuat apa yang kutanam tumbuh subur dan menghasilkan. Meski, akhirnya ia tahu siapa aku, ia tidak memiliki alasan untuk tidak memperkerjakanku lagi. Tadinya, aku berpikir bahwa pemilik sawah ini hanya memperhitungkan materi. Aku salah. Ia kerap memberiku bagian lebih. Katanya, untuk persiapan persalinan istriku. 

Ternyata, kehamilan Dahayu inilah yang mengobati Ibu dengan sendirinya. Ia sangat jatuh cinta pada wanita hamil. Dahayu begitu diperhatikan. Ibu pulang dari pasar lebih pagi dari biasanya. Tak lupa dibawakannya bubur kacang hijau dan kelapa muda agar kelak bayiku bisa tumbuh dengan sehat dan bersih. Ibu kerap berbincang dengan calon anakku. Ia mengelus perut Dahayu, seolah calon bayi ini sudah bisa diajak bicara layaknya seorang dewasa.

“bagaimana rasanya menjadi wanita hamil, Dahayu”, tanya Ibu

Dahayu tak menjawab apapun. Ia takut jawaban yang keluar tak sesuai dengan yang ingin didengar ibu. Dahayu menuturkan padaku kadang-kadang Ibu menangis di perutnya. Ibu berbincang sendiri. Ada penyesalan dalam diri Ibu. Pertanyaan yang hanya bisa dijawab Tuhan. Ibu memintaku untuk melahirkan bayi laki-laki. Ibu percaya bahwa yang reinkarnasi itu adalah suaminya, ayahku. Ibu mengelus dan berharap yang terlahir sekali lagi adalah laki-laki. Dahayu sangat tahu jika harapan besar akan sangat mungkin mengecewakan Ibu. Dahayu menguatkan Ibu dengan sentuhan, tanpa kata-kata. Sekali lagi, Dahayu takut apa yang diucapkannya tak ingin didengar oleh Ibu. Dari Ibu juga Dahayu, aku belajar cara berjuang. 9 bulan yang tak pernah mudah bagiku. Seorang wanita yang rela tubuhnya mulai berubah bentuk, seorang wanita yang rela tidurnya tak lagi nyenyak dan teratur, dan tentang seorang yang dapat hidup di tubuh orang lain, hanya wanita yang bisa melakukan itu semua. Aku hanya bisa mendoakan kelahiran anakku bisa membuat kebahagiaan di rumah ini bertambah, setelah puluhan tahun hanya tentang kemelaratan. Lebih banyak berdoa, itu yang Ibu, Dahayu, dan aku lakukan. Sebab, tak ada satu pun dari kami yang tahu, doa mana yang Tuhan pilih untuk dikabulkan.

***

Hujan kali ini pertanda baik. Meski disertai petir, hujan membuatku kian kuat. Aku hanya menunggu tangisan pertama seorang anak yang baru saja dilahirkan. Aku tak peduli keturunan mana yang singgah ke rumah ini sebagai kelahirannya kembali. Ibu yang paling percaya bahwa dalam tubuh seorang anak ada jiwa dari masa lalu yang dikenal dengan numitis. Ibu menggenggam erat tangaku yang mulai kasar. Aku balas meremas jemari Ibu yang kian menyembul keriputnya. Kami berdoa. Hingga….tangisan itu pecah…keras sekali. Seorang bidan tua menghampiriku. Di tanganku ada tubuh mungil yang tak berhenti menangis. Tubuh yang masih diselimuti lendir bercampur darah.

“Seorang putri"

Ibu menggenggam bidan tua itu dan memastikan lagi. Ibu berdoa saban hari agar yang terlahir adalah laki-laki. Lalu, reinkarnasi kemana suaminya? Ibu bermimpi tentang ayah yang hadir setiap hari di rumah ini. Rumah yang mana yang sedang dituju suaminya? Apakah kelahiran lain? Atau suaminya tak benar-benar meninggal sehingga tak bisa menjelma reinkarnasi. Aku menggenggam tangan Ibu. Menyudahi pertanyaan yang memenuhi kepala Ibu. Kutenangkan lagi hatinya.

Hai, putri kecil. Selamat datang. Di ruangan ini hanya ada kamu, ibu, dan aku. Kelahiranmu sungguh berbeda. Tanganku ini yang memandikanmu kali pertama. Ingatlah ini, betapa gugupnya aku memandikan nyawaku sendiri. Kamu begitu mungil, bersih, dan sangat licin, hingga aku tak benar-benar bisa menggenggammu penuh. Seperti itu juga harapanku agar kamu melangkah jauh dengan keyakinan. Entah seperti apa keinginanmu nanti, akan berusaha kupenuhi. Jangan pernah takut melangkah. Berjalanlah dari seorang perempuan lugu menjadi perempuan dewasa dengan tujuan pasti. Aku, Ibumu, nenek, dan saudara sekandungmu nanti tak bisa memberimu banyak. Lakukan, yakini, dan selesaikan dengan baik. Jangan hanya sekadar selesai”, kalimat kuselesaikan dengan mengecup kening bayi mungil ini dan membisiki telinga mungilnya dengan bait-bait Trisandhya.

 

“Selamat, De. Jangan hanya memandangi putrimu saja. Lakukan kewajibanmu untuk menanam ari-ari”

Ibu mengingatkanku tentang hal yang tidak kalah penting setelah kelahiran. Aku menyerahkan putriku di tangan Ibu Kembang. Langkah kakiku kian cepat. Tiba-tiba langkah kaki ini seperti bersahutan.


Ibu menyambut bungkusan yang kubawa. Digenggamnya erat, sebab kami meyakini bahwa yang ditangan Ibu itu adalah jiwa anakku, jiwa cucunya. Layaknya bayi, ari-ari juga seharusnya dirawat. Karena sang jabang bayi telah terikat janji.Ari-ari ini diyakini merupakan 4 saudara sang bayi.

“Sudah kamu cuci bersih ari-ari ini?”

“Belum, Bu. Ahh..aku sama sekali belum mengerti bagaimana merawatnya, Bu”

Aku gelisah. Semua pesan Ibu tentang menanam ari-ari ini tiba-tiba tak bisa kuterjemahkan. Aku gugup. Kali pertama bagiku melakukan semua ini.

“Meski tak benar-benar memiliki anak, akulah yang menanam ari-ari mu dulu, De. Juga kakakmu. Semua kulakukan sendiri. Mari kubantu kamu melakukannya”

Kalimat Ibu ini serupa teduh yang menyiramiku. Menanam ari-ari layak dilakukan sang ayah ketika anak-anak mereka lahir. Tidak boleh ditunda, sebab begitu kelahiran, sang bayi telah terikat sebuah janji dengan 4 saudaranya. Aku tidak percaya, Ibu melakukannya sendiri saat kelahiranku. Bagaimana ia bisa melakukannya, saat kutahu keadaan istriku yang belum pulih pasacamelahirkan. Ibu begitu kuat. Dimana ayah saat aku dilahirkan? Apakah cinta telah benar-benar hilang di hatinya untuk Ibu?

Ibu menuturkan banyak hal tentang jiwa sang bayi ini. Cerita yang sama yang akan kuceritakan kelak saat kelahiran cucuku, cicit, bahkan kelahiran-kelahiran lain yang membawa kebahagiaan. Dalam lontar Angastia Prana diceritakan bahwa dalam kandungan (buana alit) saat mencapai sembilan bulan terjadi dialog antara Sanghyang Titah (Çiwa) dengan si jabang bayi. Bahwa ‘rumahnya’ dalam kandungan sang ibu itu hanyalah sementara dan menunggu saatnya Sanghyang Tuduh memerintahkan untuk lahir ke dunia. Namun, si jabang bayi justru takut menjelma ke dunia. Karena dianggap hidup di dunia ini penuh tantangan. Namun setelah dijelaskan oleh Bhatara Çiwa bahwa lahir ke dunia adalah untuk mencapai peningkatan diri guna mencapai kedekatan dengan Hyang Widhi maka mengertilah dia tujuan lahir ke alam fana ini. Dengan saran Bhatara Çiwa tersebut maka sang jabang bayi minta bantuan pada Sang Catur Sanak (saudara empatnya) yaitu ari-ari (plasenta), yeh nyom, lamas, dan darah. Empat unsur inilah saudara sejati dari manusia yang lahir dan hidup sampai mati kelak. 

Lihat selengkapnya