Rumah kami selalu tertutup, bahkan sinar mentari begitu diseleksi oleh ibu untuk masuk. Entahlah sudah berapa manusia yang sama gelapnya dengan ruangan-ruangan di rumah ini. Mereka datang mengendap-endap, lalu menghilang bersama temaram. Selalu ada aduan, selalu terdengar tangisan. Apakah ibuku ahli nujum, sehingga mereka mencari pembenaran juga nasihat-nasihat di tempat ini? Di antara yang datang, tak ada satu pun yang menjelaskan bagaimana sosok ayah yang hanya kukenal dalam bayang-bayang. Sayang, bayang-bayang itu tak ada yang baik. Bagaimana mereka yang hidup di masa sekarang, seumur denganku bisa membenci ayahku, padahal mereka tak pernah bertemu. Bagaimana mungkin bisa membenci padahal tak pernah saling mengetahui. Sungguh ganjil. Membenci mungkin hal menular. Sama seperti kusta.
Ruangan gelap, semuanya gelap. Kecuali satu ruang, kamar suci. Ruangan ini penuh lilin dan nyala dupa yang bercahaya. Ada juga foto Ayah yang setia tergantung di dindingnya. Hanya di kamar itu, apapun tentang ayah disimpan rapi. Kenangan, air mata, tawa, semuanya disimpan rapat. Bahkan, untuk anaknya, kenangan itu tak dibagi secara utuh. Tentang Ibu. Dia yang paling tahu masa lalu. Namun, ia seolah enggan hidup di masa ini maupun masa mendatang. Ibu seperti seseorang yang datang dari balik bukit pasir. Lalu, meninggalkan semuanya dalam jejak agar dihapus badai juga angin. Namun, ia lupa jika masa lalu sekaligus menjadi masa depannya. Sebab aku. Aku yang dilahirkan dalam masa lalunya, dibesarkan dalam masa lalunya, lalu kini telah dewasa, entah apa Ibu masih bisa berpikir jika aku sebuah masa depan. Berkali-kali ia mencoba tanggalkan. Yang ada hanya tinggal, bahkan menetap. Sehingga masa lalu akan menghantui seumur hidupnya, hidupku, juga hidup kakakku.
Tentang rumah ini. Rumah yang tak memiliki pita suara. Atau pita suaranya pernah ada dan tiba-tiba hilang, lenyap bersama kepergian seseorang. Bukan hanya rumah ini. Desa ini juga tuli. Suaraku tak pernah didengar, matanya tak pernah benar-benar melihatku ada, bergerak, dan hidup. Entah sejak kapan rumah ini begitu sunyi dari kenangan-kenangan yang tak diungkapkan. Sama sekali bukan rumah baru, namun tanahnya tak pernah basah oleh kenangan. Yang sempat kuingat adalah masa-masa sebelum aku sekolah, masa-masa yang sama seperti ini. Yang hidup antara aku, ibu, kakak, juga dinding yang tak pernah sepi oleh cacian. Meski semua bungkam, rumah ini terasa hangat kala nanah di hatiku mulai terasa nyerinya. Seakan rumah ini ikut mendekapku. Rumah hangat dan satu-satunya arti pulang yang kutahu. Mungkin ini alasan Ibu selalu ingin kembali. Sebab tubuh dan hatinya menginginkan ini.
***
“Gimana di sekolah tadi, De?”
“Baik Bu, aku sudah bisa perkalian. Kata Pak Guru, jika bisa jawab soal, akan pulang lebih awal”
“Wah bagus. Terus kenapa kamu tadi pulang agak lambat? Tidak bisa jawab soal, ya?”
“ehhh..bukan Bu. Tadi Made dipanggil Pak Guru untuk cukur rambut”
Seketika Ibu menatapku. Matanya mencari-cari sesuatu. Ia tahu benda yang dicarinya tak pernah ada di dompet usangnya. Hanya untuk menguatkanku, bahwa Ibu tak pernah kekurangan apapun. Ya.. tak pernah kekurangan apapun. Kecuali harapan, Ibu sesungguhnya tak pernah memiliki apapun.
Bunyi biji hujan yang jatuh bebas ke tanah mengiringi kegiatan mencukur rambutku. Seketika Ibu bisa menjadi tukang cukur meski tanpa bayaran. Satu per satu kupasrahkan rambutku terjatuh. Aku tak berani menatap cermin langsung. Sungguh, aku tak pernah melihat Ibu mencukur sebelumnya. Mungkinkah Ia hanya berpura-pura mencukur atau mencukur sungguhan? Perasaanku semakin tidak biasa. Kakak yang berdiri di belakang pintu tak bisa menahan tawa. Giginya yang panjang muncul dari sela-sela jari yang menutup mulutnya itu. Aku tahu benar keadaan ini. Bukan keadaan yang baik. Ibu memang gila. Mencukur bukan persoalan sepele, juga bukan pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan saat waktu senggang atau dalam keadaan tak punya uang sekali pun.
“sudah, De. Coba lihat”
Aku tak pernah menentang apapun yang dibuat Ibu untukku. Kuyakini adalah yang terbaik. Namun, tawa kakak perempuanku membuat cukuran ini tak begitu keren. Kakak yang menggoda terus membenamkan kepercayaan diriku. Katanya seperti “pacul”, sebutan untuk orang tua yang lusuh. Aku takut melihat cermin. Sama seperti takutku menghadapi kenyataan. Cermin sepertinya tak pandai berbohong. Cermin tak menerima suapan, rayuan, atau janji manis. Ia berujar dan memantulkan senyatanya. Berapapun harga sebuah cermin, sebagus apapun kualitasnya, dimanapun diletakkan. Entah di dinding rumah mewah atau rumah tua seperti kepunyaanku ini, cermin tetap memancarkan kejujuran. Wajahku nampak lebih tua setelah model cukuran yang dibuat Ibu.
“Ibu, kenapa tidak habiskan saja rambut Made?”, ucap kakakku sambil tertawa terbahak.
“Sudah..sudah. De, besok, sepulang sekolah, kamu mampir ke Pak Giur. Rapikan cukuranmu di sana. Harga merapikan akan jauh lebih murah daripada mencukur dari awal”, jawab ibu sungguh enteng.