Untuk mencapai tahap kuliah, aku harus menyelesaikan pendidikanku yang lama dan melelahkan. Mengapa belajar tak semenyenangkan ini? Melewati masa SMA, masa dimana setengahnya dipaksa menjadi dewasa. Aku masih ingin bermain-main.
"Made Sagara, sudahi kekonyolanmu. Andai aku terlahir laki-laki, aku akan sangat serius untuk belajar. Sayang, aku terlahir perempuan"
Renjana menamparku dengan kata-katanya. Ini jauh membunuhku dari ribuan peluru. Kata-kata yang memakiku dari kepala hingga seluruh nadi. Renjana amat serius menata hidup. Ia bersekolah sebaik-baiknya. Di SMA dia belajar selayaknya seorang yang berkuliah. Namun, banyak guru yang menganggapnya terburu-buru. Renjana sangat tahu jika Ia belum bisa berkuliah. Ibu memberitahunya pelan-pelan agar Renjana tak patah pada harapan yang dibangunnya sendiri. Agar Renjana tak kecewa atau memaki. Ibu berjanji akan memberinya kuliah setelah aku menyelesaikan semuanya. Renjana menatap datar mata Ibunya. Ingin sekali bertanya banyak hal, tetapi mulutnya tertutup rapat, tak mampu berkelakar.
"Aku upayakan beasiswa bisa, Bu?"
Ibu memegang pundak Renjana, membenahi posisi bahunya, mengelus kepalanya, seolah Ibu ingin agar harapan-harapan Renjana tak menguap di udara. Disimpan baik di kepala pada waktunya kelak akan merekah. Ibu meneteskan air matanya. Dia tak berdaya memilih. Jawaban apa yang paling bagus untuk dirangkai menata hati Renjana? Tak mungkin keturunan tertuduh bisa mendapatkan beasiswa. Aku yang terpaku mematung tak pula bisa memberi penolakan atau janji. Aku tak mampu menjanjikan bahwa jalanku menempuh kuliah adalah pilihan paling baik. Aku berusaha menolak semua agar Ibu bisa melihat di antara aku dan Renjana, kakakku itulah yang lebih pantas untuk berkuliah. Aku hanya bisa bersenang-senang, bermain-main, berandai-andai, tak bisa memegang amat dan tanggung jawab.
Andai pula bisa berganti peran, kuserahkan semua beban ini padanya. Aku tak berniat kuliah. Tamat SMA saja bagiku sudah sangat syukur. Aku ingin bekerja dan hidup bebas prasangka. Mau jadi apa, orang tak akan pernah mempertanyakan ijazahku. Tak akan ada yang bertanya jika aku jadi kuli panggul di pasar selagi fisikku tetap bugar. Tak akan ada yang bergunjing jika aku jadi penjaga toko asalkan uang dagangan masih rapi. Aku tak akan pernah kelaparan meski tak berkuliah. Aku juga tak akan jadi pengedar narkoba meski terpaksa. Tak akan merokok meski mulutku berisi ribuan keluhan yang bahkan untuk pekerjaan yang belum aku jalani. Lalu apa yang diharapkan padaku?
"Kalau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka yang tersisa adalah menahan perih dan malu untuk kebodohan seumur hidup"
Guru bahasa Indonesiaku menasihati. Sepertinya bersekongkol dengan Ibuku. Semua kebenaran yang baik sulit aku terima. Aku tetap bermalas-malasan. Aku tak ingin jadi harapan siapa-siapa. Sungguh berat menjalani hidup yang seperti itu. Merasa jika aku tak harus mengorbankan masa muda, waktu bermainku, dan hidup seperti teman-temanku. Aku tak benar-benar paham pentingnya bersekolah. Kesalahan adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Aku harus mahir di setiap mata pelajaran. Tak boleh tebang pilih. Senin hingga Sabtu dengan daftar mata pelajaran menumpuk. Menghafal, menghitung, menerapkan rumus, belum lagi beban psikologis untuk menerima setiap perkataan dan amarah bapak ibu guru. Aku membawa semuanya di punggungku. Dalam tas sekolahku. Bertumpuk buku tapi tak terdapat ilmu. Hanya ada keluhan, rasa tidak puas. Kecuali catatan majas, sastra, dan prosa yang benar-benar ku hias. Bolehkan aku datang ke sekolah ketika aku ingin? Ketika jam mata pelajaran yang kusukai? Bolehkan aku masuk kelas untuk kelas-kelas yang membawaku pada niat dan minat? Suara-suara di kepala berdialog makin kencang. Mengabaikan pengorbanan Renjana dan menolak semua harapan Ibu. Aku yang tertatih lari padahal tak sedang mengejar siapa-siapa.
Menjadi juara umum adalah impian semua siswa yang berarti mereka harus bisa segalanya. Segalanya. Matematika, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, agama, ilmu alam, seni, dan seluruh mata pelajaran yang tak terbatas jumlahnya itu. Aku hanya menyukai pelajaran bahasa Indonesia dan seni. Selebihnya hanya sekadar memenuhi kehadiran. Guru-gurunya tak begitu menarik. Mereka yang mengajar matematika tak pernah bisa menjelaskan bagian ilmu mana yang lebih penting dan bermanfaat dalam hidup kecuali pada kurang, tambah, kali, dan bagi?
"Begini saja kok tidak bisa, Made?"
Kalimat guru matematika selalu merundungku. Aku tak paham bagaimana rumus-rumus bekerja begitu cepat. Ada yang bisa sama cepat bahkan lebih cepat. Mengapa di antara banyak remaja memilih menghindari matematika, ada bagian manusia yang justru menggilai.
"Kenapa bisa matematika yang menjelimet begitu?"
"Mungkin kamu belum bertemu guru yang tepat, De"
Sejak kapan temanku itu sudah belajar matematika? Padahal yang kutahu kita ada di awal yang sama mempelajari itu. Tak ada les tambahan, bimbingan belajar, atau bisnis sampingan, guru membuka les di rumahnya sendiri dengan jaminan soal-soal ujian akan dibahas di les terlebih dahulu sehingga besok ujian, anak-anak yang mengikuti les itu akan takabur. Mustahil rasanya jika temanku bisa dan aku tidak bisa. Mengingat, baru tahap yang paling rendah saja, aku sudah jauh ketinggalan. Temanku itu cepat sekali memasukkan rumus seperti main puzzle saja. Sekali lagi aku bersepakat jika aku tak berbakat. Aku ada di titik yang itu-itu saja. Ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal membuatku memilih untuk menggantungkan nilaiku pada satu teman. Kami barter ilmu. Sebab yang mahir matematika tak pandai dalam pelajaran mengarang atau berpuisi. Namun, guru-guru di sekolahku tak memahami ini. Selalu ada dua kubu yang dibenturkan. Dikategorikan dalam inferior dan superior. Mata pelajaran IPA, matematika, hampir pasti mendapatkan porsi yang unggul, sedangkan mereka yang berbakat di bidang bahasa, seni, budaya, kadang-kadang dipaksa untuk ikut serta. Dalam pendidikan ternyata ada kasta juga. Ini menular ke siswa. Ada pergumulan siswa yang juga mulai mengotakkan diri. Seolah mereka yang mencintai matematika tidak boleh membuat puisi, atau yang suka mengarang cerita tak pantas bicara kimia. Siswa digiring pada pilihan-pilihan yang diambil orang kebanyakan. Takut sekali menjadi berbeda. Seolah pilihan orang banyak itu menyelamatkan hidup seseorang.
"Pilih jurusan IPA, lebih pasti"
"Mau apa jika bisa menulis cerpen? Hobi mengkhayal"
Hanya ada guru dengan mata pelajaran masing-masing yang mempromosikan ilmu mereka dengan cara-cara unik. Aku paling tertarik pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Suara-suara di kepalaku makin berantakan. Apakah benar bersekolah tinggi bisa memberikan manusia lebih banyak pilihan? Atau justru lebih banyak luka? Mengapa Ibu yang tak pernah kuliah begitu yakin jika nasibku akan berubah ketika selesai kuliah? Ingin pula kutanyakan pada Ibu soal pendidikan Ayah yang tidak tinggi-tinggi amat tetapi Ia jadi tentara. Apa Ibu tidak ingin aku jadi tentara saja? Bukankah setiap orang selalu ada keinginan menjadikan anaknya seperti dirinya terdahulu. Meski tidak semua, setiap orang tua punya ego dan merasa berhak menentukan hal paling baik, hal terbaik untuk anaknya. Namun, aku tak ingin melukai Ibu dengan pertanyaanku, dengan kata-kataku. Aku tak bisa menggugat sebelum membuktikan apa-apa, sebelum berkarya besar. Bukankah di negeri ini jika kita bukan siapa-siapa, maka kita tidak akan pernah menjadi apa-apa? Suara-suara di kepalaku ini berisik sekali. Aku ingin menyahut, tetapi di banyak sisi, semua kuiakan.
***
Aku bukan orang pintar, tetapi mungkin beruntung di beberapa kesempatan. Aku selalu menyukai hal yang ada hubungannya dengan dunia khayal. Tat kala sekolah dasar, aku mendapatkan kelas yang mengapresiasi keberadaanku. Aku bertumbuh menjadi pribadi yang belajar setiap hari. Aku menyukai sejarah, biologi, seni budaya, prakarya, dan paling suka pelajaran bahasa. Bertemu seorang guru di sekolah dasar bernama Ibu Desak. Guru yang tak pernah memandangku sebelah mata. Pernah memberiku kesempatan untuk ikut lomba mengarang. Meski saat itu tidak menang, guruku ini selalu menawarkan kesempatan-kesempatan lainnya. Sampai aku bisa menyumbang beberapa piala, medali, juga membangkitkan harga diri. Selalu terkenang dengan senyum Bu Desak yang menitipkan pesan bahwa aku bisa menerima semua nasib buruk dan menuntaskannya.
"Made Sagara, di sekolah kamu belajar dan diberikan ujian, sedangkan di kehidupan ini kamu akan bertemu banyak ujian yang membuatmu tidak berhenti belajar"
Saat itu Aku belum memahami kata-kata Bu Guru Desak. Aku hanya tersenyum membalas tulus paling senyum dari manusia. Tak tercipta kah manusia seperti Bu Desak-Bu Desak lainnya? Jika saja hari itu bisa kujawab nasihatnya dan bertanya balik. Apakah hanya saya yang diuji, Bu? Mengapa duka harus dibagi dan bahagia disimpan sendiri, Bu? Adakah dosa yang saya lakukan teramat besar sehingga luka belum berubah jenaka?
"Kak, apakah membaca setiap hari tak membuatmu bosan?"
"Jika semua buku ini dibakar, mungkin baru berhenti dibaca"
Renjana yang membakarku. Melihatku bergeming membuatnya enggan menjawab lagi meski Ia sangat ingin. Setiap hari sejak aku menolak untuk berkuliah, Renjana semakin mempertontonkan untuk menjadikan hidup bahagia setiap orang harus terbiasa menderita. Jika tak kuat menderita, kemiskinan, kebodohan, akan selamanya menghina manusia. Aku juga ingin meyakinkannya bahwa tak semua hal harus serius dijalani. Sisakan ruang kecewa yang pastid an paling mungkin juga dimiliki oleh manusia.
"Kau menghinaku lagi, De?"
"Tidak, Kak. Aku hanya mengingatkan bahwa yang tak bisa kau raih bukan sepenuhnya salahku"
"Suatu hari, De akan memahami jika bagaimana hidup dipertaruhkan untuk orang lain"
Aku berdebat lagi dengan Renjana. Dia begitu sentimental terhadap setiap pertanyaan yang kuajukan, setiap ragu yang kusematkan, setiap rupa senyum yang kutenggelamkan. Renjana bukan lagi teman diskusi yang meneduhkan, melainkan membakarku dengan dalih-dalih yang tak kusukai. Renjana berpesan bahwa suatu saat nanti aku akan memahami bahwa kesepian akan meredakanku. Aku tak paham sepenuhnya.
***