Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #11

Pelik yang dipilih #3

“Duduk sini. Ayolah lebih dekat”

Entah sedekat apa yang Ibu maksud. Padahal nyaris tak ada jarak antara tubuhku juga Ibu. Ia memelukku sambil menatap senja di Pelabuhan Buleleng, Singaraja. Sengaja Ibu mengajakku untuk lebih sering ke Singaraja. Bukan hanya perkara mengambil pensiunan, melainkan Ibu memaksaku untuk menebas jarak. Aku harus terbiasa dengan jarak. Karangasem hingga Singaraja harus kutempuh lebih sering, lebih dekat sehingga jarak tak akan berarti apa-apa. Pada waktunya, aku terbiasa mengukur jauh, peluh, juga keluh. Aku akan sedekat itu dengan Singaraja.

"Pelabuhan ini dahulunya jadi pelabuhan paling sibuk. Sekaligus paling tak peduli antara yang pergi dan kembali"

"Bukankah luka, perih, rindu, sepi menjadi tidak berarti, kita harus pura-pura sibuk, Bu?"

Ibu tertegun mendengar jawaban satirku. Aku belajar darinya. Meski belum sepenuhnya bisa, kami mencoba menertawakan luka-luka itu. Tahun berganti tahun, masa lalu malam jahanam dan sesudahnya sungguh masih terbayang. Tak pernah samar, buram, redup, apalagi memudar. Ibu pasti mengingatnya dengan detail, tajam, dan gamblang. Namun, apa yang bisa dilakukan selain mengingatnya? Membiarkannya tetap hidup sebagai ingatan juga kenangan. Sebagai bukti bahwa tak ada yang benar-benar selesai di hidup ini. Mengingat lagi bagaimana takdir berlaku kejam. Mengubah hidup seseorang dalam satu malam saja. Ibu, aku, Renjana, yang selalu berkecukupan ternyata tak berarti apa-apa ditinggal Ayah. Ibu mengingatkan tentang aku yang harus membayar semangkuk beras ketika harus mencukur rambut. Ini bukan zaman kerajaan yang nilai tukarnya masih dengan sistem barter. Saat itu Ibu mengakui jika Ia sama sekali tak punya kemahiran mencukur rambut, tetapi dipaksakannya. Aku menjadi korbannya. Renjana tak berhenti menertawaiku. Tawanya paling keras, paling lama, dan paling bahagia. Untung ada tukang cukur yang mau dibayar dengan sejumlah beras. Entah tukang cukur itu akan menjelaskan bagaimana pada istrinya. Aku pun memilih tukang cukur yang memiliki wajah cukup meyakinkan sebagai seorang yang baik. Benar saja, wajah tak bisa menipu kepribadiannya. Tidak seperti zaman sekarang. Setiap manusia punya topengnya masing-masing. Membuat setiap hari harus kebingungan harus menggunakan topeng yang mana lagi?

Pelabuhan Buleleng menjadi tempat pertemuanku dan Ibu. Beberapa kali datang untuk memastikan aku bertahan pada kuliahku yang setengah gila. Kala itu hanya ada surat dan kabar dari suara manusia yang bisa dipercaya. Tak banyak manusia yang terlahir pendusta. Memang setiap zaman didesain dengan amat sempurna. Bayangkan bagaimana saat itu, jika banyak manusia yang tidak bisa dipercaya? Bagaimana surat penting dari Ibuku bisa sampai padaku dengan selamat? Bagaimana pesan-pesan yang dititipkan Ibu pada tetangga, kerabat, teman, atau sopir izuzu yang melintasi kota Karangasem--Singaraja bisa menjadi petunjuk valid? Aku seperti hidup di dunia berlainan, kini. Saat pesan bisa menyala hanya dalam genggaman. Semua serba cepat, canggih, dan melesat. Manusia-manusia jadi menggampangkan persoalan, informasi penting menjadi tak begitu penting baginya yang tak menguntungkannya.

Ibu kerap menitip pesan pada sopir angkutan umum yang sangat kami kenal. Menjumpaiku di Pelabuhan Buleleng sebelum Ibu pulang lagi. Tak pernah Ibu bertanya tentang nilai-nilaiku. Kepercayaannya padaku melebihi nyawanya sendiri. Di tempat ini, banyak kisah diungkap Ibu. Tentang apa yang terjadi di rumah, di masa lalu, juga apa yang bergema di benak Ibu.

Pelabuhan Buleleng dibangun pada tahun 1846 hingga 1939. Pelabuhan ini menjadi pintu gerbang utama untuk distribusi logistik dan pusat lalu lintas Pulau Bali. Pemerintah Belanda membangun berbagai fasilitas untuk menunjang kebutuhan perekonomian, seperti dermaga, gudang, terminal, kantor pabean, dan jembatan. 

Pelabuhan Buleleng menjadi palagan pertempuran antara pasukan kolonial dan tentara serta rakyat Indonesia


Ia menenggelamkan pandanganku. Rebah di bahuku. Rasanya aku remuk menahan semua beban Ibu. Matanya kian lelah, tetapi bahagia bisa sedekat ini denganku. Biasanya hanya ada rasa khawatir di matanya. Khawatir Ayah tidak pulang, khawatir aku dan Renjana tak belajar dengan baik. Bahkan khawatir pada matahari yang lambat terbit sebab mendung. Semua dipikirkan Ibu, sampai Ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Sebelum malam kelabu itu, Ibu memiliki hal pasti yang ditunggu setiap hari. Setelahnya, Ia tidak pernah lagi hidup dimana waktu masih berjalan. Ibu tidak pernah hidup di mana hari masih hari ini. Pikirnya jauh tentang bagaimana jika Ia mati, bagaimana aku dan Renjana bisa hidup lebih baik, paling baik dari anak-anak di desaku. Ibu menantang kematian setiap hari. Mengembalikan seluruh yang telah direnggut malam kelabu Ibu. Perlahan, Ia berjuang seorang diri.

“Berikan aku rasa nyaman agar pergi tak pernah menjadi pilihan bagiku”

Berat sekali rasanya jadi Ibu. Dia bisa saja menghindar. Pulang ke griya Klungkung, tempat Ia dilahirkan dan dirayakan setiap hari. Cinta penghuni griya selalu utuh untuk Ibu, meski Dayu Manik telah memilih ingkar dari kastanya. Namun, tak pernah itu jadi pilihannya. Ibu mengingat lagi masa kecilnya, nama kecilnya, dan seluruh kenangan tentang Ayah Ibunya yang juga berarti tentang kakek nenekku.

"Jangan sebut kakek nenek, De. Sebut Niang Ayu dan Kakiang"

Penghormatan Ibu begitu besar pada keduanya. Tak pernah ada pertentangan, sekali pun Ibu harus menikah dengan Ayah yang merupakan orang biasa. Kakiang (kakek), bisa melihat dengan jelas bahwa Ayah pria bertanggung jawab, cerdas, dan berkharisma. Tak ada yang bisa menandingi kharisma Ayah dengan sejuta pilihan pria yang ada di griya. Ibu tak berusaha meyakinkan Kakiang lewat bujukan atau kalimat-kalimatnya. Restu telah didapat sejak kali pertama dipertemukan. Pertemuan pertama dan terakhir kalinya bagi Ayah, Kakiang, dan Niang Ayu. Ibu mendapatkan segalanya sebagai seorang putri. Pendidikan dan kasih sayang penuh dari Niang dan Kakiang membuatnya bisa memiliki hati seluas samudera. Kakiang juga bukan penganut patriarki akut, fanatik, seperti dalam tutur Ibu. Kakiang hanya memiliki satu istri, di antara saudara-saudaranya yang semakin jumawa memperistri banyak wanita. Kala itu, kesuksesan, kebanggaan lelaki dihitung dari banyaknya istri. Kakiang tak melakukannya. Kakiang sudah merasa penuh. Katanya, memiliki Niang saja sudah seperti memiliki seribu wanita. Kesal, amarah, lelucon, bahagia, tawa, kesempurnaan, kecelaan, semua ada pada Niang. Bagaimana jika memiliki dua Niang dalam hidup Kakiang? Tak pernah terbayangkan. Dari mereka Ibu belajar menjadi perempuan dan istri. Di Bali, perempuan yang siap menikah idealnya adalah perempuan yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Agar pernikahan tak merebut kemerdekaannya, tak merasa dihakimi, dan juga tak merasa direndahkan. Ibu telah belajar dan mendapatkan hampir sepenuhnya, maka Ia bisa menjelma sebagai Ibu paling ajaib di seluruh dunia bagiku dan Renjana. Ibu memintaku membayangkan ketika seorang perempuan yang nantinya kuperistri. Meninggalkan segalanya yang dimilikinya, termasuk siap meninggalkan kedua orang tuanya, mengabdi di rumahku sebagai teman hidup, seumur hidup, selamanya. Aku diminta membayangkan lagi ketika tak pernah ada yang bertanya apakah perempuan siap mengandung, melahirkan. Yang artinya menggadaikan tubuhnya, merusak sebagian tubuhnya? Tapi semesta, suami, keluarga, juga dunia sekala niskala menuntutnya melahirkan dan memiliki anak. Kodrat ini tak bisa dilanggar. Tubuh perempuan memang dipersiapkan untuk menampung kehidupan. Hanya pada yang benar perempuanlah yang bisa melakukan ini. Muskil sekali menuntut lelaki mengandung, melahirkan, dan menyusui,

"Jika aku terlahir lagi sebagai manusia saat reinkarnasi kelak, Aku akan tetap memilih ini, De. Memilih menikahi Ayahmu, menjadi Ibumu, juga berarti menjadi anak dari Niang dan Kakiang"

Aku mendengar cerita Ibu sambil membayangkan bahwa aku juga penuh sebagai cucu. Tak pernah sekali pun aku melihat Kakiang dan Niang juga Kakek dan Nenek dari Ayah. Mereka dimana, tak pernah diberitahu Ibu.


Lihat selengkapnya