Luka Jenaka

NI NYOMAN AYU SUCIARTINI
Chapter #12

Cerai Mati #3

"Bu, kenapa masih berdoa jika semua yang terjadi adalah takdir Tuhan?"

Ibu menatapku nanar. Matanya menggugat. Namun, bibirnya tak mengatakan apa pun, meski Ia ingin sekali menyampaikan sebanyak yang dia tahu. Sudah sekian lama Ibu mencari yang hilang, berdoa setengah mati, tetap memercayai, tetapi tak ada yang berubah. Semua orang masih abai, masih alergi untuk memperbincangkan malam jahanam itu. Seharusnya pun Ibu menggugat leluhur yang ditunggunya saban malam. Leluhur yang seharusnya menyelamatkan sebelum malam jahanam itu. Yang berubah wujud jadi tamu paling tak bisa dilupakan Ibu. Tamu yang membawa semuanya pergi. Dalam sekejap, semua harapan, semua doa baik, semua kata semoga lenyap bersama kabar yang tak pernah mampir lagi. Bertahun-tahun Ibu mencari kebenaran, bertahun-tahun pula kebenaran seolah ingin dilupakan. Bertahun-tahun Ibu mimpi buruk. Setengahnya tentang ingatan malam itu. Setengahnya lagi tentang menjumpai Ayah dengan wajah lebih putih, lebih bercahaya, dan mengatakan jika Ayah tak pernah mati. Semakin menguatkan Ibu bahwa kekasih hatinya itu tetap menunggu di suatu tempat. Betapa berat batin Ibu untuk hidup antara ketidaksadaran yang demikian luas. Ibu harus tetap waras untuk memberi aku dan Renjana hidup layak, sedangkan Ia juga sukar menerima bahwa Ia orang tua sendirian. Tak pernah dibayangkan oleh Ibu dalam usia mudanya Ia harus mengurus kami seorang diri. Ibu masih cantik, ranum, berpendidikan, punya daya komunikasi yang baik, tetapi bertahun-tahun Ia masih tetap di luka yang sama. Tidak berusaha menyembuhkan luka itu di hati orang lain.

"Aku berdoa, barang kali doa-doa itu akan terkabul esok hari"

"Sampai kapan akan ada esok, Bu?"

"Sampai kita tak bisa percaya apa pun lagi"

Kala itu menjadi orang dewasa seperti Ibu sungguh rumit. Banyak sekali yang bercabang, menggenang, hilang, bahkan menetap di pikirannya. Cinta Ibu pada Ayah, pada leluhurnya, pada agamanya begitu candu. Membuatku kadang berpikir apakah ada manusia seteguh itu. Ya...Ibuku jawabannya. Apa yang diyakininya, dipercayainya, maka akan dibawanya sampai mati. Diam-diam Ia juga mencari tahu barisan tamu-tamu yang datang di malam itu. Banyak surat yang Ibu tulis. Orang-orang asing sering ditemui Ibu. Gerakan kepala mereka kuhafal betul. Semuanya menggelang, tanda tak menemukan apa yang dicarinya. Ibu kerap mengunjungi teman lamanya. Ia datang untuk menyeleksi orang-orang. Orang-orang pun pergi karena menyeleksi Ibu. Semua kehadiran dan kepergian membuat Ibu sadar bahwa tak banyak yang bisa membantunya menemukan kejelasan tentang kekasih hatinya. Ibu memetakan orang-orang. Sekian tahun, sekian mengerucut manusia-manusia yang bisa memberi Ibu rasa tulus. Pertanyaan yang sama dilontarkan pada orang-orang di masa lalu, masa kini, maupun masa depannya, tentang siapa yang memberi terang atas peristiwa malam itu. Suamimu tertuduh, suamimu pengkhianat, suamimu terjerat, ada yang memfitnahnya, seluruh keturunan suamimu ingin dimiskinkan, seandainya suamimu pensiun dan berkebun, mungkin kalian sampai tua bersama menikmati pikun. Opini orang-orang membayang di kepala Ibuku. Kapan Ibu akan lepas dari kemungkinan-kemungkinan dan menemukan satu titik yang paling mendekati kebenaran? Bertahun-tahun setelah malam itu, rasanya nyawa Ibu masih terpaku di sana. Masih berharap Ia melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukannya untuk mencegah tamu jahanam membawa kekasih hatinya. Setelah banyak kebohongan, jika pada akhirnya ada satu, dua, atau bahkan semua kebenaran menjadi sangat mencurigakan. Ibu sering menggerutu ternyata selalu menuruti kehendak atau keinginan suami tidak selalu berakibat baik. Jika saja Ia menentang malam itu, mengambil parang, atau mempersenjatai suaminya, mungkin hidup tak terpisahkan begini. Saat Ibu menceritakan kemungkinan-kemungkinan itu, aku semakin tak berdaya. Andai aku bisa membaca pertanda, andai Renjana bisa menebak keinginan tamu-tamu itu, andai aku berusia lebih dewasa kala itu, tak pula kutanggung duka ini seumur hidup. Kehilangan bagiku yang turut membuntutiku, mempertanyakan darahku, juga menyangsikan masa depanku. Malam jahanam yang tak bernama itu sejatinya telah ikut membunuhku perlahan. Sejak saat itu, rasanya aku ikut bertanggung jawab atas semua perasaan manusia di bumi ini. Aku harus memikirkan apakah kehadiranku akan berterima, memberatkan, atau mengharamkan? Ketakutan untuk ditolak membuatku enggan memulai pertemanan, pertemuan, bahkan sebuah hubungan. Memaknai bahwa harapanlah yang akan mendatangkan kekecewaan, maka aku tak berharap pada apa pun, siapa pun. Jika memang orang-orang yang datang selalu memiliki alasan, seperti kata-kata Ibu, bagiku mereka hanya mengingatkan tentang betapa tidak beruntungnya menjadi aku. Semakin bercerita tentang kurangku, burukku, karmaku. Namun, tak sepenuhnya berlaku. Memiliki Ibu, Renjana, adalah bagian favoritku untuk tetap melanjutkan hidup. Maka kesepian Ibu tak boleh lagi jadi air matanya. Kerinduannya harus berujung. Entah, pada manusia yang mana luka Ibu bisa berhenti. Pada lelaki yang mana, hatinya bisa menyerupai Ayah?

"Tak apa jika Ibu menikah lagi"

Renjana berani sekali bertanya begini. Padahal mulutku juga ingin mengucap. Dia selalu melakukan lebih dulu dari yang bisa kulakukan. Lalu, aku hanya mengutuk diri, mengapa bukan aku yang mengatakan, bukan aku yang melakukan, bukan pula aku yang bertanya duluan. Pun tak perlu heran jika Ia mendapatkan kesempatan, pujian, keberuntungan, kasih sayang yang lebih banyak dariku. Hanya sebab Renjana seorang perempuan, Ia pernah kehilangan satu kesempatan berharganya. Tertunda duduk di bangku perkuliahan. Sebab pilihan harus menggugurkannya. Karena apa? Ya...karena Ia perempuan. Perempuan yang di zaman itu tidak boleh terlalu pintar, tidak boleh lebih dari laki-laki, termasuk saudara lelakinya. Aku kerap mengutuk diri. Tak seharusnya bertanggung jawab atas duka yang ditanggung Renjana. Namun, Ibu mengingatkan bahwa ada kesempatan kelak, setelah Made jadi sarjana. Pernyataan yang jadi labirin hitam, lorong gelap di kepalaku. Tidak mampu pulang sebelum menjadi apa-apa.

Sekali lagi Renjana mengulang.

"Menikahlah jika Ibu inginkan itu"

"Bagaimana aku bisa melangsungkan pernikahan jika ini saja belum selesai?"

"Aku dan Made bisa menerima semuanya, Bu. Asal hati Ibu tidak sepi, asing sendiri"

"Pernikahan lagi bagiku sungguh berat. Cintaku masih tinggal di tempat yang lama. Ibu tak mungkin meminta lelaki lain menetap sedang hatiku masih berserakan begini. Memiliki kalian membuat sepi itu tak terlalu buruk"

Renjana memeluk Ibu sambil berpesan hati-hati. Bahwa ketika Ibu siap dan memilih menikah lagi, tak apa bagi Renjana dan aku untuk menerima Ayah baru. Renjana memastikan tak ada yang akan berubah ketika pernikahan itu memnag dikehendaki Ibu. Sungguh, anak-anak Ibu akan berjumpa pasangan kelak, memiliki keluarga baru, dan tidak mungkin Ibu menua sendiri. Aku mendebat. Jika kakak berkeberatan merawat Ibu

Cerai-mati. Ini tertulis di dokumen Ibu. Ibu menerimanya dengan tangan gemetar. Sebab dokumen itu tak bisa memberinya rasa puas tentang kematian suaminya. Dibacanya berulang. Tetap tak mengubah apa pun. Tulisannya masih sama, cerai-mati. Kondisi yang tak pernah dipilih. Tak pernah dipersiapkan. Pernikahan yang dilangsungkan Ibu dan Ayah tak pernah membahas tentang perceraian. Janji berpisah juga tak diatur. Apakah negara bisa memutus ini sebagai sebuah perceraian? Karena perkawinan dalam Hindu tidak hanya disaksikan oleh manusia saja, melainkan disaksikan oleh dewa saksi atau Tuhan bahkan disaksikan oleh bhuta saksi dalam semesta yang tidak berwujud. Di pikiran Ibu, dokumen-dokumen ini menyelamatkan sementara waktu. Lalu, bagaimana Ibu akan menjalani peran dalam tataran adat jika Ibu tak ingin beranjak dari tempat di mana kedukaan akan terus bergumul? Masihkah Ibu akan dianggap menantu, ipar, juga bagian dari keluarga Ayah tat kala cerai mati tak dapat dihindarkannya? Ibu menjaga kemungkinan-kemungkinan paling buruk yang bisa dilakukan orang-orang padaku juga pada Renjana. Dengan hati-hati menimbang, Ibu sudah siap terjun ke jurang, jurang untuk mendapatkan lagi apa yang hilang setelah malam jahanam itu. Semua mungkin kembali, kecuali Ayah. Mata Ibu masih tertahan pada dokumen cerai-mati itu.

Lihat selengkapnya