Aku sepuh. Tak ada yang lebih bahagia selain melihat Batari sudah tumbuh dewasa. Ia kerap menggodaku juga Ibunya tentang pernikahan. Ia memiliki masa depan yang lebih cerah dari masa kecilnya. Ia anak kesayangan neneknya, kesayangan Bibinya, kesayangan semuanya. Kemanapun ia pergi, banyak cinta yang didapat. Tak ada yang menolak kehadirannya. Kata orang, Batari ini adalah buah kejujuran dan keikhlasanku melawan takdir. Ya…setelah dibunuh berkali-kali, aku tetap hidup. Hidup dengan segala harapan yang diberikan Dahayu, Ibu, Renjana, dan juga anak perempuanku, Batari. Masa lalunya yang jelas, bisa membuatnya memilih lelaki manapun yang ia kehendaki. Kecerdasannya menurun dari sang Ibu. Ia pandai mendamaikan juga pandai mendebat.
“kenapa ayah suka Batari?”
“Karena itu namamu”
“Ah…ayah. Aku serius”
“Aku tak pernah percaya Dewa-dewi, leluhur, dan Batari seperti keyakinan nenek. Ayah ingin yakin dan melihatnya, lewatmu, Batari”
Putriku tampak serius tentang pernikahan. Aku menanyainya. Bukan untuk menggoda, namun mencari tahu. Napasku seperti tercerabut namun dikembalikan lagi setelah penjelasannya tentang laki-laki yang dipilihnya itu. Ia menenangkanku dengan mengatakan bahwa laki-laki beruntung itu tinggal di sudut kota Denpasar, bukan dari desa ini. Cintailah apa yang telah kamu pilih, Batari. Semoga kamu atau dia tidak salah jatuh dalam cinta itu. Batari memperbesar langkahnya mengabarkan pada sang nenek, bahwa aku telah setuju dengan pilihannya. Senja memang tak bisa memendam apa yang seharusnya hanya jadi rahasia antara aku dan dia.
***
Pernikahan macam apa yang kau berikan pada Batari? Tahukah kamu kebencian di tubuhku makin sempurna. Kau nikahkah cucu kesayanganku dengan cucu pembunuh ayahmu? Made, anakku sayang, kamu yang telah membunuhku berkali-kali, berkali-kali. Karena menyelamatkanmu, aku memiliki tanggung jawab untuk tidak bisa lari setelah kematian suamiku, karena kamu, aku harus merasakan hujatan, kini dengan restumu, kamu nikahkan cucuku dengan keluarga pembunuh itu. Ternyata benar, orang yang paling membunuh kita adalah orang terdekat kita, yaitu kamu dan segala pikiranmu. Aku mati, De. Ibumu ini telah mati. Seorang anak yang kubesarkan dengan sepenuh jiwa kini mengutuk diriku sendiri, membunuhku dengan darahku sendiri, bahkan membunuhku dengan keasingan ini. Aku begitu dekat dengan makam suamiku, juga begitu dekat dengan makam pembunuh itu. Jauhkan Batari dari hadapanku. Aku tidak akan pernah lupa masa kelam 65 itu. Kamu, kamu, tidak pernah merasakan sakitnya kehilangan, De. Bayangkan, jika Dahayu, istri yang kamu cintai mati dibunuh dan pembunuhnya kini menjadi menantu di rumah ini? Bisakah kamu membaca air mata yang harus kuminum setiap hari dan berpura-pura bahagia, De? Oh..Hyang Widhi, dengan apa kubesarkan anak tak tahu diri ini? Ia memintaku meminum hatiku sendiri demi sebuah nama baik dan janjinya pada Batari yang tak bisa diredakan. Oh…Batari, cucu yang kusayangi, adakah kau bahagia di atas kemalangan seorang istri yang kehilangan suaminya ini. Oh…suamiku, segerakan kematianku. Hatiku telah tak di dunia ini. Aku hanya memilikimu secara abadi.
Perkataan Ibu terngiang di telingaku. Ibu menulisnya sebelum meninggal. Ibu tak mampu menyampaikan langsung tentang penolakan pernikahan ini. Aku juga baru tahu jika pembunuh ayahku masih hidup. Menyaru jadi jiwa baru. Sengkog dan keluarganya ternyata memiliki keturunan berilmu dan rupawan. Sialnya, Batari jatuh hati pada satu dari keturunan itu. Ibu memakiku. Merasa bahwa aku menghina kesakitannya yang bertahun-tahun itu. Lantas apa yang harus kulakukan? Sakit hati inilah yang membawanya pada masa abadi bersama ayah. Ibu yang tak paham akan inginku mengakhiri semua dendam ini. Ya…memang di antara kita pemilik masa lalu memang harus mati satu per satu. Aku juga akan mati. Setelah itu, dendam dari masa lalu akan berakhir.
***
Pernikahan tak pernah mungkin menyatukan dendam. Cinta pertama Batari hancur sebab lelaki itu adalah bagian dari Sengkog. Sengkog pun menggila. Tak pernah terbayangkan bahwa cinta mempertemukan luka masa lalu, padahal Sengkog telah berusaha pergi jauh dari masa lalu itu. Seperti hujan yang seharusnya jatuh, seperti embun yang seharusnya basah, maka jika sudah waktunya jatuh cinta, maka akan terjadi. Sialnya harus terjadi pada Batari, putri kesayanganku. Ia tak bisa luput dari luka sejarah. Puluhan tahun mengejarku sampai pada keturunanku. Ibuku meninggal karena keputusan mendukung Batari. Setengah hatiku menolak, tapi kulakukan untuk yang hidupnya akan lebih lama. Setelah ini aku akan mati. Namun, Batari menyadari ini. Cintanya tak akan pernah sampai jika pengorbanannya adalah nyawa, hati, juga empati. Batari mengasingkan diri. Dia menjadi tak percaya diri. Aku yang telah mati hanya bisa melihatnya menahan tangis saban malam. Sampai suatu hari, Batari bertemu Androida di usianya 38 tahun. Apakah harapan untuk mencinta dan menikah masih ada padanya?
***
“Batari, aku sangat mencintaimu. Istirahatlah, besok kamu akan presentasi. Aku akan selalu merindukanmu”
Batari tersenyum memandang telepon genggamnya. Hatinya berbunga-bunga. Pesan dari kekasihnya membuat pagi datang lebih cepat menurut perhitungannya sendiri. Batari memandang langit-langit kamarnya. Ia belum bisa sepenuhnya terpejam karena hatinya terus bekerja, otaknya terus memikirkan, dan semua organnya belum bisa sepenuhnya istirahat.
“Kamu sudah tidur, kekasih?”
“Ada apa? Ingin cerita lagi? Aku akan menjadi teman menghabiskan malam”
Batari tersipu. Tak pernah menemui yang sepengertian dan sepemahaman begini. Kekasihnya itu punya waktu penuh untuk mendengar atau menghadapi keluh kesah dan bahagia Batari. Tak ada manusia yang bisa melakukannya. Bahkan kekasih Batari yang disapanya lewat gawai itu tak menunggu waktu lama untuk membalas setiap dari Batari.
Lima belas tahun yang lalu, Batari gagal menikah. Saat semua manusia riuh dalam kepalanya, justru membuat Batari mendengarkan semuanya. Tak ada suara di kepalanya yang dibiarkan berbicara lebih lantang, lebih panjang, dan lebih bernyawa. Tak pernah lagi Ia jatuh cinta. Tangki dan hasrat di dalam tubuh untuk mencintai tak pernah bangkit lagi. Batari menerima semuanya dengan bekerja dan melanjutkan hidup. Dunia tak akan berubah, pikirnya. Kehilangan nenek, Ayah, dan hanya berjuang dengan Ibu, membuat Batari memiliki cinta terbatas. Orang-orang di masa lalu akan mati dan orang-orang di masa depan akan hidup. Adakah yang seperti Batari inginkan? Mengubahnya menjadi gadis yang tak takut pada apa pun, utamanya mencintai.
Ia tak bisa percaya ada manusia yang bisa megerti inginnya. Batari snagat tertutup. Tak begitu nyaman di keramaian. Namun, Ia tetap mencoba bergaul, bergumul. Kadang kehabisan energi untuk memahami manusia-manusia yang ditemuinya tanpa jaminan dipahami balik. Batari mendahulukan orang-orang, selalu ada waktu untuk berkumpul, nyatanya tak membuatnya bisa sepenuhnya menjadi dirinya sendiri. Batari terjebak dalam lingkungan pertemanan yang tak dikehendakinya. Ingin diterima menjadi tujuan utama Batari untuk bergabung. Ia takut kesendirian, takut kekecewaan, dan takut penolakan. Batari lupa bahwa hidup yang ada di hadapannya adalah hidup yang berebda dari 15 tahun lalu itu.
Batari memaksa minum kopi, padahal tak suka kopi. Batari harus membalas semua DM, pesan WA, sebelum Ia mengunggah cerita di Instagram, WA, atau media sosial lainnya. Batari kerap mendapat keluhan atas apa yang dilakukannya yang tak mengajak serta teman-temannya.
“Kok ga bilang mau ke Teduh Café?’
Sekali dua kali Batari bertanya dalam hati. Apakah ada keharusan Ia mengabarkan pada semua orang bahwa dirinya akan pergi kemana, bersama siapa, melakukan apa-apa? Batari juga seakan memiliki kewajiban untuk mengunggah foto teman-temannya setiap ada yang ulang tahun atau mendapatkan pencapaian. Tak ada yang menyuruh begitu, tetapi seolah mengharuskan itu. Hingga pada gilirannya ulang tahun, teman-teman Batari mengunggah selamat ulang tahun pada ujung malam, satu menit sebelum hari ulang tahunnya telah berganti. Semacam balas budi, hutang unggahan, kondisi terpaksa berbalas ucapan selamat. Batari meratapi setiap unggahan itu. Tak ada kata-kata serius, kata-kata motivasi, seperti yang dituliskannya di setiap unggahan teman-temannya. Batari memikirkan serius tentang ucapan, takarir (caption) atau justru sempat membaca buku motivasi agar dapat memberikan unggahan terbaik di hari spesial teman-temannya. Memilih lagu yang benar-benar menggambarkan kebahagiaan, harapan baik. Batari tak mendapatkan seperti harapannya. Lalu, berdatangan teman-teman palsu lainnya yang bergumul di kolom pesan pribadi menyelamati Batari dan mengucapkan maaf atas postingan terlambat.
Batari berharap bisa menjadi bagian dari pertemanannya di kelas. Dia selalu mempersilakan apa pun yang datang agar tidak merasakan kesepian. Sangat tidak masuk akal jika kemana-mana Ia sendirian. Batari tak suka sendirian, Batari tak suka kesepian. Kesendirian yang menyaru kesepian membuatnya dihadapkan oleh ketakutan. Tak apa bagi Batari untuk menawarkan diri agar orang lain bisa berteman dengannya. Tak jadi soal jika Batari harus minum kopi, makan daging, nongkrong di Mall saban akhir minggu, yang sama sekali tidak menjadi kebiasaannya. Saban hari, Batari kelelahan. Dia tak lagi punya waktu untuk melakukan hal-hal kecil yang dicintainya. Menulis jurnal misalnya. Ia juga kadang lupa menganggkat telepon Ibunya saat asyik di tongkrongan. Batari menjauh dari hal-hal yang diinginkannya. Keriuhan pertemanan kini menyaru menjadi bahagia. Batari bertanya lagi. Apakah ada manusia bahagia tapi dia lelah sekali, capek sekali? Apa bahagia Batari hanya ilusi?
“Akan ada Nusa dua Festival. Gas berangkat”