Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #1

Januari Kelabu

Januari, 1965

Bangunan peninggalan Belanda yang baru empat tahun lalu berubah kegunaannya menjadi rumah sakit itu terlihat kusam dan muram. Bagian depannya berbentuk joglo, dan difungsikan sebagai pintu masuk bagi pasien, keluarga pasien, atau para pembesuk. Sementara itu, bau formalin dan obat-obatan menyebar ke seluruh ruangan, merayapi dinding udara bulan Januari yang keruh oleh butiran debu dan uap air. Beberapa orang tampak berlalu-lalang di lorong rumah sakit. Dua orang perawat yang berpakaian putih-putih itu berjalan berdampingan. Mulut keduanya saling berbagi celotehan, dan sol sepatu yang mengetuk-ngetuk lantai keramik itu sebagai pengiringnya.

Tiba-tiba tiga orang laki-laki terlihat memasuki pelataran rumah sakit. Ketiganya bertelanjang dada, bercelana komprang hitam, dan memakai udeng di kepala. Dua orang menandu seorang perempuan dengan kain sarung, satunya lagi mengikuti di belakang. Dua batang bambu itu menyelip di kedua sisi sarung yang lusuh. Batikannya pudar, tak terlihat lagi warna aslinya, entah hitam atau cokelat. Kedua kaki perempuan itu berjuntai di udara, sementara mulutnya sesekali berdesis-desis, menahan nyeri yang amat sangat pada perutnya.

Suro, Warto, dan Dulah telah berjalan kaki selama dua jam, berangkat Subuh tadi. Mereka menembus hutan jati, meniti pematang sawah, menyisiri jalan setapak yang dipenuhi oleh semak, dan berpenerangan obor saja. Istri Suro membutuhkan pertolongan; nyawanya harus segera diselamatkan.

Dulah dan Warto meletakkan perempuan yang tampak pucat dan terus merintih itu di pelataran rumah sakit, tak jauh dari ruangan yang difungsikan sebagai tempat pendaftaran pasien. Dengan tergesa-gesa, Suro mendekati laki-laki berbaju putih yang sedang asyik membaca koran di dekat loket pendaftaran pasien.

“Pak, segera ditolong, Pak! Istri saya sakit keras. Sudah sejak kemarin menceret dan muntah,” kata Suro, sementara matanya dipenuhi oleh harapan. Dia membungkuk-bungkukkan badannya, bersikap sesopan mungkin.

“Menceret? Kamu kasih makan apa? Singkong mentah?” tanya si baju putih tanpa mengalihkan mata dari koran yang sedang dibacanya.

“Tolong segera ditangani, Pak! Kasihan! Sejak kemarin perutnya hanya kemasukan air putih. Istri saya tidak mau makan apa-apa,” kata Suro lagi, kembali membungkuk-bungkukkan badannya.

“Mendaftar dulu ke loket pendafataran itu! Istri kamu biar tetap di sana!” Si baju putih mengacungkan tangan kirinya ke arah bilik di depannya, melirik Suro sekilas, lalu meneruskan bacaannya.

Dengan gegas, Suro menuju tempat yang ditunjuk si baju putih tadi. Dia menengak-nengok, menelanjangi seluruh isi bilik kayu yang berkawat kasa pada bagian dinding depannya itu.

“Tidak ada orang, Pak!” teriaknya.

“Tidak ada?” Laki-laki berbaju putih itu justru balik bertanya. “Mbok dicari yang bener!”

Suro kembali melongokkan lehernya. Siapa tahu si penghuni bilik itu sedang berjongkok di bawah meja, entah untuk keperluan apa. Namun, bilik itu memang benar-benar kosong. Hanya ada lubang seukuran kepalan tangan di bagian depan, sebuah meja kecil dan setumpuk kertas di atasnya, kursi kayu, serta kalender yang menempel pada dinding, gambarnya wayang.

“Tidak ada, Pak!” teriaknya lagi.

“Tidak ada, ya?” ucap si baju putih. “Coba sekarang dipanggil namanya. Siapa tahu menyahut.”

“Dipanggil? Namanya siapa, Pak?”

“Budi Hartawan. Coba panggil, ‘Pak Budi’ gitu!”

“Pak Budi!” teriak Suro.

“Kurang keras!”

“Pak Budi!” teriak Suro lebih keras lagi.

“Nah, begitu. Saya jawab dulu: ‘Ya!’ Pak Budi itu saya,” kata si petugas, “orangnya tidak di dalam situ sebab sedang membaca koran di sini.”

Petugas pendaftaran itu menyingkirkan koran dari mukanya, lalu bergerak malas seperti penderita encok dengan kategori akut, bahkan gerakannya lebih lambat daripada seekor kura-kura. Dia memasuki ruang pendaftaran pasien, sementara koran itu tak lupa dibawanya. Setelah menarik kursi kayu itu hingga mengeluarkan jeritan, dia pun duduk. Kedua lengannya dia tumpukan pada meja, diambilnya kertas dan bolpoin, lalu diputar-putarnya di antara jari-jemari.

“Nama?”

“Suro Didgo, Pak.”

Lihat selengkapnya