Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #2

Duka di Pelataran Rumah Sakit

Baru juga baru hendak menyeberangi jalan raya yang tidak begitu ramai itu, tiba-tiba langkah Suro terhenti. Teriakan Warto menerjang gendang telinganya, keras sekali, bahkan hampir merontokkan jantungnya:

“Ro, cepat! Cepat! Bojomu! Iki bojomu piye?”

Suro segera berbalik badan, terbang melintasi pelataran rumah sakit, dan jarak lima belas meter itu ditempuhnya dalam tujuh lompatan saja. Tak sampai satu menit, dia sudah sampai di tempat istrinya sedang terbaring lemah. Perempuan berdaster itu tampak mengggigil kedinginan. Bola matanya berputar-putar dan hanya kelihatan putihnya. Sementara itu, kepalanya yang berbantalkan gumpalan kain terkulai lemah ke sisi kiri tubuhnya, menghadap ke arah Suro.

Jantung Suro seakan-akan berhenti berdetak, darahnya bagai tak mengalir lagi. Dia tak tahu yang sedang terjadi. Bahkan, sekadar memikirkannya saja dia tak berani. Pada akhirnya, tak ada yang bisa dilakukannya, kecuali memegangi tangan istrinya yang gemetar dan sedingin es itu, erat-erat.

“Sur! Surati! Ngomong! Yang dirasakan apa? Yang sakit bagian mana? Tak pijeti, ya?”

Perempuan itu tak menjawab. Berkali-kali matanya tampak memejam dan membuka dengan gerakan yang tak beraturan. Dia mencoba mengangkat kepalanya, tetapi lehernya seolah-olah sudah dipakukan ke lantai semen, susah digerakkan. Sesaat bibir perempuan yang makin terlihat pucat itu bergerak-gerak. Sepertinya dia ingin mengucapkan sesuatu. Namun, yang terdengar dari mulutnya hanya desisan dan rintihan.

“Yang keras! Apa? Mau omong apa? Minta apa?”

Suro mendekatkan telinganya ke mulut istrinya, hampir menempel, tapi tetap saja tak terdengar apa-apa, kecuali degup jantungnya sendiri. Juga napas istrinya yang makin memburu, berkejar-kejaran di lubang hidung.

“Sur, bicara! Aku tak dengar! Sur, Surati!”

Suara Suro sudah terdengar parau, tetapi dia masih menyeru-nyerukan nama istrinya. Matanya tampak merah dan basah. Wajah yang biasanya terlihat sekeras batu kali itu melumer seperti sebongkah mentega di atas wajan penggorengan.

“Surati! Surati!”

Perempuan yang bertubuh kurus kering itu tak menyahut, bahkan napasnya mulai tersenggal-senggal. Giginya bergemeretak. Mata yang sebelumnya membuka dan menutup tadi kini hanya membelalak, kelihatan putihnya saja. Tiba-tiba, seakan-akan sedang dialiri listrik bertegangan tinggi, tubuh perempuan itu menghentak-hentak. Dia menggelepar-gelepar seperti ikan lele yang terlempar ke daratan. Sesaat kemudian, tarikan napas yang panjang dan berat itu pun mengakhiri segalanya. Jantung itu tak berdetak lagi.

“Sur! Surati! Surati! Surati!”

Suro memekik-mekik, menggoyang-goyangkannya tubuh istrinya. Dia mencoba menahan tangisannya, sebisa-bisanya, tetapi napasnya justru tersengal-sengal, sebongkah batu seakan-akan sedang menindih dadanya.

“Sur! Surati! Surati! Bangun! Bangun, Sur!” serunya.

Warto mendekat, menepuk-nepuk punggung laki-laki yang baru saja kehilangan istrinya itu. Dia ikut merasakan apa yang sedang dirasakan sahabatnya saat ini. Kehilangan orang yang sangat dicintai memang selalu menyedihkan.

Lihat selengkapnya