Sungai Kelor merupakan batas wilayah antara Desa Butuh dengan hujan jati milik Perhutani. Sungai itu tidak begitu lebar, jarang banjir, dan berair bening. Pada musim kemarau dan penghujan, airnya hanya setinggi paha anak kecil. Siang belum begitu menyengat; matahari baru setinggi penggalah. Angin berembus lembut, mengelus dedaunan pohon jati yang bergoyang riang. Seperti hari-hari sebelumnya, sungai kecil itu adalah tempat wisata yang menyenangkan bagi Ponirah dan Ponirin. Kakak beradik yang berselisih lima tahun itu sudah berbasah-basahan sejak setengah jam yang lalu, mencari udang.
Di salah satu bagian sungai yang berbatu-batu, Ponirin tampak sedang melangkahkan kakinya pelan-pelan, menjaganya agar tidak menimbulkan suara kecipak yang bisa membuat hewan buruannya kabur. Sementara itu, sang adik, Ponirah, membuntuti di belakangnya. Saat menjelang jarak dua langkah dari batu itu, bentuknya mirip gigi hiu raksasa, Ponirin memberi isyarat kepada adiknya bahwa di bawahnya ada udang yang sedang bersembunyi. Ponirah mengangguk-angguk, memberi tanda memahami maksud kakaknya. Ponirah melangkahkan kakinya dengan cara yang sama, mengangkat dan menurunkannya pelan-pelan. Sementara itu, matanya tak lepas dari batu yang ditunjuk oleh kakaknya tadi. Batu itu sudah berlumut, dan biasanya memang ada udang di baliknya.
Ponirin mendekati batu itu tanpa menimbulkan suara, dan bergerak sangat hati-hati saat menyibakkannya. Matanya tampak waspada, sementara tangan kanannya sudah bersiap dengan senjata andalannya: batu bulat seukuran kepalannya. Benar saja, dilihatnya udang yang seukuran jari kelingkingnya itu sedang bersembunyi di dalam cekungan. Dan sebelum hewan bersungut itu sempat melarikan diri, cepat-cepat ditimpuknya, sekeras-kerasnya. Terdengar bunyi “plak” saat batu itu berbenturan dengan kerikil di dasar sungai. Air berkecipak, memercik ke mana-mana.
Dengan gegas Ponirin merabai air yang sudah berubah menjadi keruh itu, dan wajahnya langsung semringah. Lemparannya kena. Udang yang sudah gepeng itu segera dipungutnya, lalu dia angsurkan ke penadah kecil di belakangnya, dan Ponirah pun melonjak-lonjak.
“Dapat udang, dapat udang lagi!” serunya.
Udang itu dia masukkan ke dalam wadah daun pisang yang dijadikan corong, lalu kembali membuntuti sang kakak. Tak lupa, sesekali mulut mungilnya itu memberi instruksi.
“Batu yang itu, Mas! Yang itu, dekat kaki Mas Ponirin! Pasti ada udangnya.”
“Pon, jangan berisik! Nanti udangnya lari.”
“Lari ke mana? Udang, kan berenang?”
Namun, hari itu nasib baik sedang tidak berpihak kepada kakak-beradik tersebut. Seperti tahu bakal didatangi oleh sepasang berandal sungai itu, para udang seakan-akan bersepakat untuk menghilang, entah bersembunyi di mana. Ponirin sudah membalik puluhan batu, tetapi tidak ada lagi udang di baliknya, kecuali sampah. Juga kotoran manusia yang sudah berubah bentuk dan warnanya.
“Sudah, ah! Udangnya tidak ada. Capek! Pon, dapat berapa?”
Ponirah menunjukkan isi corong daun pisang yang masih kosong itu kepada kakaknya, baru berisi lima biji. Mata beningnya tampak kecewa; tidak bisa makan udang sepuasnya hari ini. Jika corong itu dipenuhi udang, seringnya mereka membawanya pulang, dijadikan lauk. Setelah dibumbui garam dan bawang putih, ibu mereka akan menggoreng udang yang jumlahnya tak sampai dua puluh ekor itu memakai minyak jelantah. Umurnya sebulan, dan warnanya sudah hitam pekat seperti cairan aspal.
Sambil berdiang di depan tungku dapur, mereka akan menyantap udang yang gurih itu bersama-sama. Biasanya tanpa disertai bapak mereka yang sedang pergi entah ke mana. Ditemani nasi hangat kalau pas ada. Lebih nikmat lagi jika ada sambalnya. Lomboknya dipetik dari kebun di samping rumah.
“Tidak usah dibawa pulang, Pon. Kita masak sendiri saja!“ kata Ponirin.
Ponirah mengerjap-ngerjapkan mata, dan tak membantah usul itu. Bocah perempuan berusia lima tahun itu segera membuntuti kakaknya. Mereka menuju tepian sungai. Sang kakak memilih tempat yang agak teduh. Di sana dia segera mengumpulkan ranting kering dan dedaunan yang berserakan di bawah pohon bambu.
Setelah membentuk onggokan, diambilnya korek api dari kantong celananya. Beberapa kali Ponirin mencoba menyalakan korek yang berbahan bakar bensin itu, tetapi gagal. Dia segera mencopot tutup korek, lalu meniup pantat korek itu tiga kali. Harapannya, minyak bensin yang tersimpan pada gumpalan kapas itu akan menyebar ke dalam sumbu korek. Setelah memasang kembali penutupnya, Ponirin kembali mencoba menyalakannya, dan sukses. Nyala korek api yang kuning kemerah-merahan itu membuat wajah keduanya tampak bercahaya.
Cepat-cepat Ponirin menyulut daun bambu kering yang berukuran cukup lebar itu, lalu meletakkannya di bawah tumpukan daun dan ranting. Tak lama kemudian, asap putih tipis itu pun mengangkasa, sementara lidah api itu menari-nari saat semilir angin menerpanya. Setelah menyimpan kembali korek itu ke dalam saku celananya, Ponirin memasukkan udang-udang itu ke dalam kobaran api, tanpa mengupas kulitnya.
Ponirah bersimpuh di dekat kakaknya, sementara matanya lekat-lekat memandangi udang-udang yang sedang dijilati lidah api itu.
“Sabar, ya, Pon!” ucap Ponirin
Bocah perempuan itu mengangguk-angguk. Matanya yang bening itu terus merayapi nyala api yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya. Sementara, telinganya terpaku pada desis air yang sedang mendidih, dan mematangkan daging udang. Juga pada gemeretak ranting kering saat lidah api itu mengubahnya menjadi bara, lalu menjelmakannya menjadi abu.
Tak membutuhkan waktu yang lama, udang-udang itu pun mulai kelihatan memerah kulitnya. Tak peduli terkena sambaran api, Ponirin mengambil udang-udang itu langsung dengan tangannya. Dia meletakkannya di atas daun pisang yang diserupakan dengan corong tadi.