Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #4

Jerat yang Menjerat Leher

September 1965

Ruangan remang yang terletak di bagian depan rumah itu dipenuhi oleh asap rokok. Cerobong pabrik gula pun tak mampu menyaingi jumlah asapnya. Abu dan puntung rokok tampak berceceran pada lantai tanah, berserakan. Sementara, menempel pada tiang, sebuah lampu teplok berbahan bakar minyak jarak memancarkan sinarnya yang kuning kemerah-merahan, menembus kaca semprong yang menghitam pada ujungnya.

Tujuh orang itu mengelilingi meja kayu jati. Bentuknya persegi dan belum dipelitur. Gelas-gelas yang berisi kopi itu berada di atasnya, posisinya tak beraturan. Dua piring keramik yang berisi singkong rebus terletak di tengah-tengah meja, isinya hanya tersisa setengahnya. Kopi dan gulanya dibawakan Kusno, si orang partai, sementara singkong rebus itu diambil dari kebun milik si tuan rumah.

“Pak Kusno, aku tak punya pendidikan, bukan turunan priyayi, bukan santri, hanya buruh serabutan, wong cilik. Aku merasa telah menemukan partai impianku,” kata Suro, suaranya terdengar mantap.

Kusno membetulkan letak kaca matanya, dan bibirnya tampak mengembang. Laki-laki yang bertubuh sedang dan berpenampilan tenang itu menegakkan punggungnya, dan tampak hati-hati sebelum mulai membuka mulutnya.

“Kader macam Dik Suro ini yang kami cari. Punya idealis dan tujuan, tidak sekadar ikut-ikutan. Indonesia butuh orang-orang yang berpendirian kuat seperti Dik Suro ini,” ucapnya, suaranya terdengar dalam dan berwibawa.

Yang dipuji terlihat kembang-kempis hidungnya. Matanya seakan-akan berpijar-pijar seperti nyala obor yang dibuat dari daun kelapa. Warto segera menepuk-nepuk pundak Suro, ikut bangga. Dulah mengangguk-anggukkan kepala, dan baru tahu bahwa orang yang keras kepala macam si Suro itu boleh disebut sebagai orang yang idealis. Sementara, dua orang yang datang dari desa sebelah itu tak peduli. Yang satu tampak sedang menyedot rokoknya dalam-dalam. Yang satunya lagi, bertubuh gempal dan bercodet di pipinya yang sebelah kiri, sibuk menepuki nyamuk kebun yang mengerubuti kakinya.

Perbincangan dilanjutkan dalam suasana yang santai. Di sela-sela hirupan kopi yang sudah lama dingin dan di antara gerakan mulutnya saat mengunyah singkong, Kusno terus menyelipkan ideologi partainya. Dia memberikan gambaran tentang jaman keemasan yang akan datang.

“Semua sama, semua rata. Baik pejabat, maupun rakyat. Tak ada yang lebih banyak, atau lebih sedikit,” ujar Kusno dengan suara yang dalam.

Harapan lima orang yang sedang berkumpul di rumah Suro itu pun melambung setinggi pohon kelapa, menembus angkasa raya, terutama pada diri si tuan rumah, Suro. Gagasan bahwa semua orang berkedudukan sama adalah sesuatu yang baru baginya. Hal itu memberikan cahaya bagi nasibnya yang segelap gua. Selama ini dia hanya menjadi buruh bagi para tuan tanah. Sekarang adalah saat yang tepat baginya untuk naik pangkat menjadi majikan. Dia berharap, partainya itu bisa mengubah nasibnya.

Kusno terbatuk-batuk, lalu mengatur letak kaca matanya yang melorot. Ketika semua mata sudah tertuju kepadanya, barulah dia mulai bersuara: 

“Saudara-Saudara, sebelum saya berpamitan, ada hal penting yang perlu diketahui oleh kita semua.”

Penggunaan sapaan resmi itu memberikan hasil yang semestinya, sesuai harapan si pembicara. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun seketika terdiam, lalu mengatur posisi duduknya masing-masing.

“Saudara-Saudara, saya telah mendapat informasi yang penting ini. Bapak-Bapak yang ada di Jakarta sedang merencanakan sesuatu. Negara kita sebentar lagi punya gawe. Ibarat ibu pertiwi sedang hamil, sebentar lagi bakal lahir seorang bayi, namanya revolusi. Ketika pesta itu tiba, saya harap Saudara-Saudara sudah siap dan tahu apa yang harus dilakukannya.”

Orang-orang yang berada di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala, sementara wajah mereka tampak tegang, bisa menduga-duga apa maksudnya. Bahkan, Warto menjadi tidak tenang duduknya. Dia tidak suka politik, apalagi sampai bergabung dengan partai, apa pun warna benderanya, gambar lambangnya, dan ideologinya. Menurutnya, politik selalu tentang kekuasaan, sementara dia bukan orang yang gila kuasa. Dia ikut masuk partai hanya ikut-ikutan, demi pertemanannya dengan Suro dan Dulah semata. Dan sekarang ini, dia ikut menjadi basah.

Lima belas menit kemudian, Kusno dan pengawalnya minta diri, dan menolak saat Suro menawarinya menginap. Takut membuat repot, katanya. Saya tidur di kantor partai saja. Suro dan yang lainnya mengantarkan kedua tamu itu sampai di halaman rumah. Setelah menyalami para anak didiknya, kedua orang partai itu berpamitan, dan hilang ditelan kegelapan malam. Obor kecil yang cahayanya mulai memudar itu hilang di sebuah tikungan.

Langit dipenuhi bintang. Cahaya lampu teplok di samping pintu itu tampak meliuk-liuk dipermainkan angin. Suro, Warto, Dulah, serta dua pemuda dari kampung sebelah itu melanjutkan perbincangan. Namun, bukan lagi tentang partai atau politik, melainkan kawanan celeng yang akhir-akhir ini sering menyerbu sawah dan ladang.

“Kapan-kapan kita buru ramai-ramai. Dagingnya kita sate,” kata Suro seenaknya.

“Tidak boleh, Ro! Dilarang agama!” kata Dulah.

Lihat selengkapnya