Oktober 1965
Akhir-akhir ini banyak maling. Bukan maling yang membobol rumah lalu menggasak brankas yang berisi uang atau perhiasan sebab jarang sekali orang yang memilikinya. Maling-maling itu hanya mengincar jagung atau singkong atau tandan pisang. Untuk mengatasi maling yang makin meraja lela itu, warga Desa Butuh menggiatkan kembali kegiatan ronda malam yang sempat terhenti.
Saat itu, harga bahan makanan mengalami inflasi yang gila-gilaan, resesi sedang melanda negeri ini. Beras hampir tak terbeli oleh kebanyakan orang. Hanya para saudagar dan tuan tanah yang bisa menikmati nasi putih. Tanaman palawija adalah andalan kebanyakan orang untuk mengisi perut mereka. Sementara itu, bagi orang-orang yang kurang beruntung, bonggol pohon pepaya dan pohon pisang adalah jalan keluarnya. Mereka belum ingin dimasukkan ke dalam liang kubur sebab tidak ada pintu keluarnya.
Jadwal piket meronda Dulah adalah Sabtu, dan satu kelompok dengan Siman, Darno, Kurdi, dan Pak Dukuh. Malam itu, baru tiga orang yang datang ke gardu ronda. Gardu yang berukuran cukup besar itu terletak di pinggir jalan utama Desa Butuh. Bentuknya joglo, dibuat dari kayu jati, dan dicuri dari hutan milik Perhutani. Mereka sedang terlibat pembicaraan tentang perintah Bung Karno untuk mengganyang Malaysia.
“Kalau masih muda, aku akan mendaftar.”
“Ndaftar jadi apa, Pak Kuh?” tanya Dulah.
“Ya jadi tentara, tho.”
“Tak takut ketembak?” sahut Darno. Tukang mebel kayu jati itu hanya sesekali ikut meronda, yaitu saat tak ada pesanan membuat meja, kursi, atau pintu.
“Kan bisa di belakang garis pertempuran? Pasti ada dapurnya, kan? Aku kan bisa bantu-bantu di situ.”
“Sepertinya tidak jadi perang,” kata Darno lagi.
“Kenapa?” tanya Dulah.
“Malaysia dibantu Inggris dan Amerika, Bung Karno pasti pikir-pikir.”
“Bung Karno mana ada takutnya. Inggris kita linggis, Amerika kita seterika!” Pak Dukuh menirukan slogan yang terkenal itu.
Pembicaraan tentang ‘ganyang Malaysia” itu tidak berlanjut ketika tiba-tiba Suro dan Warto datang menemui Dulah. Ada rapat anggota partai di Desa Donoharjo, lima kilo meter dari Desa Butuh. Setelah berpamitan kepada para peronda, ketiganya segera pergi. Pertemuan itu berlangsung seminggu sekali, dan tempatnya berpindah-pindah, sesuai kesepakatan. Sesekali Kusno ikut menghadiri pertemuan itu. Dengan berapi-api, dia memberikan ceramahnya, dan meracuni pikiran para peserta rapat itu dengan pandangan politiknya.
Dari ketiga orang itu, Suro yang tertua, dan dianggap pimpinan oleh dua lainnya. Badannya tinggi besar, paling berani berkelai, dan suka mengutarakan pendapatnya. Orang-orang sungkan saat berdebat dengan Suro. Omongannya tak mau kalah, suka membentak, bahkan menggebrak meja. Bila dibandingkan dengan Suro dan Dulah, sebenarnya Warto yang paling mempunyai otak. Namun, dia pendiam, bicara seperlunya saja. Badannya kecil, usianya paling muda, dan belum kawin. Warto anak tunggal, dan sawah orang tuanya luas. Sementara ini, sebagian besar disewakan kepada para penggarap. Dia sedang malas mengotori tangan dan kakinya dengan lumpur.
Sepertinya halnya Suro, Dulah sudah kawin. Istrinya orang Tulang Bawang yang dia temukan di Pasar Kemusu. Perempuan yang berkulit putih itu dikirim ke Jawa oleh orang tuanya untuk belajar ilmu agama. Namun, belum juga mendapat ijazah, dia sudah terlanjur menikah. Dulah dan istrinya sudah kawin selama lima belas tahun, tetapi dia belum pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran istrinya itu, ongkos perjalanannya tidak ada.
Peristiwa besar yang terjadi di Jakarta pada akhir September dan awal Oktober itu hanya beredar dari mulut ke mulut, tak ada yang tahu kepastiannya. Warga Desa Butuh dan sekitarnya tidak ada yang mempunyai radio. Kotak ajaib itu adalah sebuah kemewahan yang setara dengan harga delapan gram emas, atau harga satu kwintal beras. Jarang sekali yang memilikinya, satu kecamatan pun tak sampai sepuluh orang.
Suro terus gelisah. Beberapa hari ini, dia merasa sedang dimata-matai. Sudah tiga kali dia memergoki dua orang asing itu berseliweran di depan rumahnya. Gerak-gerik keduanya sangat mencurigakan, dan Suro yakin mereka bersenjata. Walau samar-samar, dia juga telah mendengar peristiwa yang terjadi di Jakarta itu. Namun, dia tidak memahami benar situasinya.
Ketika Suro sedang melamun sambil mengasah sabitnya, tiba-tiba Dulah datang menemuinya. Wajah bapak empat anak itu tampak tegang. Dia membawa tombak, ditentengnya dengan tangan kanan.
“Ro, katanya ada huru-hara di Jakarta. Partai kita disebut-sebut sebagai pelakunya. Benarkah itu?”
Suro berdiri, sementara sabit itu erat digenggamnya. “Kamu mendengar dari siapa?”
“Kata orang-orang di pos ronda tadi malam.”
“Kenapa Pak Kusno tidak memberi tahu kita? Sudah beberapa kali dia tak datang di pertemuan.”
“Barangkali sibuk.”
“Warto sudah tahu kabar itu?”
“Tidak paham, sudah seminggu saya tak ketemu.”
“Dul, hati-hati! Tampaknya situasi sedang gawat. Sementara ini, kita jangan ke mana-mana. Di rumah saja! Kita baca dulu situasinya! Semoga saja Pak Kusno segera memberikan instruksi.”
Dulah mengangguk-angguk, sementara ketegangan masih menyelimuti wajahnya. Mereka melanjutkan perbincangan tentang hal lainnya, tapi terasa hambar; masing-masing sedang larut dalam pikirannya. Seolah-olah ada duri yang sedang menusuk-nusuk telapak kakinya, Dulah terlihat tidak nyaman. Setelah berkali-kali menoleh ke belakang, merasa ada orang yang datang, Dulah pun berpamitan. Dia tergesa-gesa kembali ke rumahnya di ujung desa. Tombak warisan kakeknya itu dipanggulnya pada pundak.
Suro kembali mengasah sabitnya, tak tahu pasti untuk apa. Sabit itu jarang dia gunakan, kecuali dibawanya ke mana-mana. Pekerjaan mencari pakan buat si Kampet sudah dia limpahkan ke Ponirin. Hanya, anak sulungnya itu masih harus selalu diingatkan akan tanggung jawabnya itu, dan mesti berkali-kali, bahkan kadang dengan kekerasan. Menurutnya, mencari rambanan atau rumput tidaklah sulit. Banyak pohon nangka milik tetangga yang bisa dimintai daunnya. Di pinggir sungai ada kaliandra dan turi. Sementara, rumput lebih banyak lagi, melimpah di ladang dan di pinggir hutan jati. Hanya, anak itu bisa membagi waktunya atau tidak. Lain lagi ceritanya kalau maunya bermain-main saja. Menurutnya, anak itu perlu diajar dengan cara yang keras agar tahan banting. Tidak lembek seperti kerupuk gadung yang terendam sayur bobor. Orang-orang Jepang bisa menguasai Asia-Pasifik karena mau bekerja keras dan berdisiplin tinggi.
Suro terus mengasah sabitnya, sementara pikirannya mengembara. Kalau omongan Dulah tentang kerusuhan di Jakarta tadi benar, bisa jadi akan disusul peristiwa lainnya. Apalagi belakangan ini partainya sedang menjadi bahan omongan. Bisa jadi para anggotanya akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang. Pak Kusno pernah mengatakan bahwa partai mereka tidak berisikan para perampok dan maling. Suro mempercayai hal itu.
Ada kabar bahwa di sekitaran Gunung Merapi dan Merbabu muncul gerombolan grayak, gerakan rakyat kelaparan. Para marhaenis itu menyebutkan bahwa mereka yang sering merampoki orang-orang yang sedang lewat di tempat itu adalah anggota partai komunis. Suro ingin menyobek mulut yang tidak bertanggung jawab itu satu per satu. Fitnah itu tak boleh dibiarkan, bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap partainya.
“Saudara-Saudara, kita tidak boleh membiarkan isyu yang tidak benar itu mencemarkan nama baik partai. Suatu saat akan kita bungkam mulut-mulut itu. Kita bukan kumpulan perampok atau maling. Kita adalah teman rakyat, tak mungkin kita membuat teman sendiri cilaka dan menderita,” begitu pidato Pak Kusno saat menanggapi kabar itu.
Suro percaya gerombolan itu benar-benar ada, tapi mereka bukan anggota partai. Ibunya yang meninggal setahun yang lalu pernah keceplosan bicara: bapaknya ikut serta menjadi anggotanya.
Menurut kabar yang beredar, bapaknya pernah ikut berjuang untuk negeri ini. Dia dan pejuang lainnya pernah bahu-membahu dengan Tentara Pelajar dan pasukan Slamet Riyadi. Pasukan yang berasal dari berbagai unsur itu kompak menggempur Belanda yang sedang berlindung di Benteng Vastenburg, Gladak, Solo. Pertempuran sengit itu berlangsung selama empat hari, dan korban yang berjatuhan banyak sekali. Mayat-mayat itu bergelimpangan di tengah jalan raya, dan bersimbah darah.
“Dasar sableng! Tanpa kenal takut, saat itu Pak Slamet Riyadi petentang-petenteng di tengah jalan sambil mengatur pasukannya. Dan peluru-peluru Londo itu hanya berseliweran, tak ada satu pun yang mengenai tubuhnya.” Bapaknya pernah menceritakan hal itu di suatu masa, saat beberapa temannya datang bertamu.
Bapak dan lima temannya juga pernah menyerbu Tangsi Belanda di Desa Bangak. Namun, mereka dipergoki tentara bule yang bersenjatakan sten gun, lalu dikejar sampai di seberang Kali Pepe. Ada satu teman bapaknya yang ditembak oleh penembak jitu, peluru yang ditembakkan dari jarak dua ratus meter itu menembus belakang kepalanya.
Saat pembentukan TKR, bapaknya ikut mendaftar, tapi tidak diterima. Tentara tidak membutuhkan orang yang bertabiat seperti garong, bertindak seenak perutnya, dan tak mematuhi perintah pimpinan. Tentara yang berisikan orang-orang semacam itu hanya pemborosan, menghabiskan uang negara, dan bisa membikin kacau seluruh rencana. Begitu barangkali pemikiran panitia seleksi itu. Pada akhirnya, hanya mantan anggota PETA dan KNIL yang diterima. Orang-orang yang pernah dilatih strategi perang dan kedisiplinan oleh Jepang dan Belanda itu memenuhi syarat-syaratnya.